“Nay ini rumahnya?” tanya Pitra kepada keponakannya.
Nayra mengangguk ketika memastikan kembali alamat yang sempat di kirim oleh Dokter Santoso padanya. “Iya bener, kok,” sahut Nayra.
Mereka sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup mewah dan rumah tersebut adalah kediaman dari atasan sekaligus seniornya.
“Kenapa Om juga diundang ya, Nay? Kata kamu cuma makan malam penyambutan anaknya saja,” tanya Pitra.
Sebenarnya dia agak sangsi ketika Nayra mengatakan kalau dirinya diundang makan malam oleh atasannya, namun karena akan tidak sopan menolak undangan tersebut akhirnya Pitra menerima undangan tersebut dan langsung berangkat ke Jakarta. Ketika tiba di Jakarta, dia teringat akan kerabatnya yang memang pernah tinggal bersamanya dulu di Bandung. Untungnya, alamat yang pernah dirinya dapatkan dulu masih sama dan keluarga Permana masih tinggal di sana.
“Aku juga gak tahu, Om,” jawab Nayra.
Malam Nayra tampak cantik dan anggun dengan balutan gamis abu-abunya. Ketika menyebutkan namanya, dia dan pamannya langsung diantarkan oleh satpam menuju pintu masuk rumah tersebut. Nayra dan pamannya disambut baik oleh Dokter Santoso, namun ada satu hal yang membuat Nayra tidak bisa menahan rasa sesaknya, yaitu Rama.
Rama dan Septa duduk bersebelahan, ketika mereka melihat Nayra sudah sampai dengan pamannya membuat Septa sangat antusias. Bagaimana tidak, dia hampir sebulan tidak melihat Nayra dan malam ini gadis pujaan hatinya itu sangat cantik dengan pakaian yang dikenakannya.
“Gila! Baru saja sebulan gak ketemu dia, kenapa Nayra jadi tambah cantik?” celoteh Septa kepada Rama dan mendengar hal tersebut Rama dia tidak menanggapi.
“Assalamu’alaikum, Om. Saya Septa, silakan duduk,” ujar Septa seraya menjabat tangan wali dari Nayra tersebut.
“Wa’alaikumussalam, terima kasih, Anak Septa,” balas sopan Pitra kepada Septa. Dia sekarang bisa menebak apa yang akan dibicarakan dalam acara makan malam ini, namun sebelum itu dimulai ada sosok yang membuat dirinya tertarik. Rama telah duduk di samping Septa namun rautnya tidak menggambarkan sebuah kegembiraan akan apa yang direncanakan Septa malam ini.
“Rama? Kamu juga datang?” tanya Pitra kepada Rama dan sapaan tersebut yang menyadarkan Rama dari pikirannya.
Rama menoleh ke arah Pitra yang duduk bersebelahan dengan Nayra, matanya tidak sengaja bertabrakan dengan netra Nayra. “Oh iya, Om. Maaf tadi saya tidak fokus,” jawab Rama yang sekarang harus menormalkan degupan jantungnya karena efek dari pertemuan tatapannya dengan Nayra.
“Kalian sudah saling kenal?” tanya Septa. Kenapa sahabatnya bisa kenal dengan paman dari Nayra?
“Kami baru saja bertemu kemarin malam di rumah orang tua Rama. Ternyata dunia itu sempit, dulu keluarga Rama dan keluarga Nayra tinggal berseberangan karena kami adalah kerabat,” ujar Pitra dengan senyum penuh arti pada Rama. Dia tahu raut penyesalan apa yang disimpan oleh Rama.
Hampir seluruh anggota keluarga Pak Santoso terkejut mendengar bahwa Nayra dan Rama ternyata kerabat. “Ternyata alur hidup memang tidak bisa ditebak. Lihatlah, ternyata Rama dan Nayra ternyata kerabat berarti mereka adalah saudara yang baru bertemu,” ujar Pak Santoso dengan semangat mendengar fakta tersebut.
“Kak Rama sudah tahu, Om?” bisik Nayra kepada Pitra di sampingnya, namun hanya dengan melihat raut Rama saja Nayra bisa menyimpulkan jika Rama sudah mengetahuinya.
Pitra mengangguk dengan masih menghadap ke arah Pak Santoso yang tersenyum bahagia membahas topik kedua orang di sini, namun kedua orang tersebut sibuk dengan apa yang telah terjadi pada mereka akhir-akhir ini. “Kemarin Om sempat mampir ke rumah orang tuanya Rama. Om juga bertemu dengan Rama, setelah tahu bahwa kalian tenyata sudah saling mengenal sejak dulu, Rama langsung pamit terburu-buru,” jelas Pitra mengalihkan tatapannya pada Nayra. “Apa saat Om mengabarimu sudah sampai Jakarta, Rama menelepon atau menemuimu? Karena Om kira terburu-burunya Rama ingin segera bertanya padamu,” lanjut Pitra.
Nayra menggeleng, “Bahkan sejak saat itu Kak Rama selalu menghindariku. Apa dia tidak penasaran akan masa lalu kami?” ujar Nayra sedikit kecewa.
Pitra terkekeh, “kalian akan menemukan jawabannya sebentar lagi,” ucap Pitra kepada keponakannya itu.
“Nayra,” panggil Pak Santoso kepada Nayra dan sontak hal tersebut membuat semua orang yang berada di meja makan tersebut menatapnya.
“Ada yang ingin saya sampaikan kepada kamu dan ini menjadi alasan kenapa saya meminta kamu mengundang pamanmu juga,” ucap Pak Santoso serius ditambah dengan suasana yang memang mendukung.
“Ya?” Nayra tentu bingung kenapa ucapan Pak Santoso seakan menyiratkan sesuatu yang amat penting kepadanya. Dia melirik sekitar dan menemukan berbagai raut yang berbeda-beda di sana. Pamannya yang sedang tersenyum entah karena apa, Septa yang seperti orang gugup namun antusias, dan terakhir Rama yang menyorotkan kekecewaan. Ada apa sebenarnya ini?
“Jadi saya di sini berniat untuk mewakilkan sebuah keinginan dari anak saya, Septa,” jeda Pak Santoso sembari melirik Septa yang ternyata sedang dilanda kegugupan. “Dia berniat untuk melamar kamu, maka dari itu dia ingin pamanmu juga hadir saat ini,” lanjut Pak Santoso yang sontak membuat Nayra membulatkan matanya. Dia tidak pernah berpikir sejauh ini.
“Jadi bagaimana Pak Pitra? Apa lamaran dari anak saya diterima bapak selaku wali Nayra?” tanya Pak Santoso kepada Pitra.
“Saya hanya wali Nayra di sini, jadi saya serahkan semua keputusannya kepada Nayra. Karena yang akan menjalani setiap keputusan yang dia ambil adalah dirinya sendiri,” jawab Pitra penuh makna ke arah Nayra yang saat ini masih membisu.
“Bagaimana Nayra?” kali ini suara Septa yang berbicara langsung pada gadis pujaan hatinya itu. Dia sudah lama ingin melakukan ini dan akhirnya ayahnya yang terlebih dahulu mengusulkannya.
Nayra melirik ke arah Rama, dia yakin Rama sudah tahu akan masa lalu mereka. Namun, Nayra hanya melihat sebuah ekspresi datar dari pria itu. Sebuah ingatan terlintas di kepalanya, bayangan ketika dirinya mendengar dan menyaksikan sendiri percakapan penuh makna antara Rama dengan kekasihnya kemarin di ruangan Karin.
Nayra mengambil napas dalam, dia berharap inilah cara agar dia bisa merelakan masa lalunya begitu pun Rama dengan kehidupan mereka yang telah berbeda. Nayra mengangguk, “saya bersedia menerima lamaran Dokter Septa,” jawab Nayra dengan harapan bahwa keputusannya ini adalah yang terbaik untuk dirinya. Nayra tidak akan sanggup memutus tali harapan Dokter Santoso yang telah sangat berjasa pada dirinya, itulah salah satu alasan dirinya menerima lamaran Septa.
Mendengar jawaban Nayra membuat Septa tersenyum bahagia begitu pun dengan Pak Santoso dan istrinya. “Terima kasih, Nayra,” ucap Septa dengan senyum manisnya kepada Nayra. Namun, tatapan Nayra beralih ke kursi kosong yang berada di sebelah Septa. Ke mana Rama? Bukankah sebelum Nayra menjawab lamaran Septa, pria itu masih menatapnya dengan tatapan datar di sana?
Acara tersebut berlangsung dengan lancar termasuk menyantap makan malam yang terasa sangat nikmat bagi keluarga Pak Santoso. Nayra berpamitan untuk ke kamar kecil, dirinya diantar oleh salah satu adik perempuan Septa. Ketika sampai di salah satu kamar mandi tepatnya di ujung dekat dengan kamar tamu. “Kak Nayra, Adel lupa belum kasih kabar tugas kelompok. Adel ke kamar dulu ya sebentar, nanti balik lagi,” pamit Adelia, adik perempuan Septa, hal tersebut tentu dipersilakan oleh Nayra.
Sembari menunggu Adelia, mata Nayra terpaku pada pemandangan indah sebuah taman kecil tepat di belakang rumah tersebut. Apalagi sinar rembulan sangat terang dan membuat Nayra melangkahkan kakinya menuju taman tersebut melalui salah satu pintu yang memang khusus menuju taman tersebut. Namun, langkah Nayra terhenti karena di bangku taman sedang duduk sosok yang tadi menghilang saat makan malam. Ya, Rama ternyata sedang berada di taman indah tersebut.
“Kenapa balik lagi? Bukankah kamu ingin melihat bintang dan bulan juga dari sini?” ucap Rama ketika melihat Nayra memutar haluan kakinya. Tidak ada jawaban dari gadis itu, namun Nayra masih diam di posisinya tidak melanjutkan langkahnya.
“Kamu sudah tahu, kan? Kenapa seperti orang asing ketika melihat saya?” tanya Rama. Dia sudah sangat ingin membahas ini dengan Nayra, namun sepertinya hanya ini waktu yang mereka miliki sekarang.
“Karena Dokter Rama-,”
“Kak Rama!” ucap Rama memotong ucapan Nayra. “Bukankah itu panggilan kamu kepada saya dulu. Pantas saja saya merasa aneh ketika kamu kebetulan memanggil saya dengan sebutan tersebut,” ujar Rama. Dia kecewa pada dirinya sendiri, namun dia juga kecewa kepada Nayra karena gadis itu malah ikut menyembunyikan masa lalu mereka.
Masih belum ada jawaban dari Nayra, dia masih diam di posisinya tanpa bergerak sedikit pun.
“Kenapa tidak memberitahu saya Nayra? Kenapa Nayra!” ucap Rama meninggi. Dia putus asa pada hidupnya sendiri karena memori yang hilang pada dirinya dan sekarang orang yang banyak menyimpang memori tersebut malah bersikap layaknya orang asing padanya.
“Karena memang sepertinya itulah takdir kita, Dokter Rama!” setelah mengatakan hal tersebut Nayra langsung masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Rama. Sudah cukup, dia tidak ingin tenggelam lagi dalam ketidakpastian masa lalunya. Seperti apa yang dialami Rama terhadap memorinya, Nayra pun ingin mengubur memori tersebut.
Setelah acara makan malam dengan lamaran Septa terhadap Nayra membuat perubahan pada keseharian Nayra. Fani telah mengetahui bahwa Nayra menerima lamaran Septa, orang yang disukainya, telah berubah. Nayra sempat memikirkan perasaan Fani, namun hal terkuat yang dirinya menerima lamaran tersebut karena harapan besar Dokter Santoso dan juga keinginannya mengubur masa lalunya.