Mobil berwarna hijau metalic itu melaju memasuki pelataran rumah Sora. Samran kemudian turun dari sana, berdandan rapi, terlihat sangat tampan. Ia tersenyum, meski terlihat tegang di saat bersamaan pula. Ia berjalan mendekati Sora, Bu Rahma, Pak Fuad, dan Zona, yang berdiri berjejer di teras.
"Assalamualaikum," ucapnya.
"Waalaikum salam," jawab mereka serempak.
Samran pun segera menjabat dan mencium tangan Bu Rahma dan Pak Fuad. Kemudian bersalaman dengan Zona dan Sora.
Ia kemudian lanjut membukakan pintu mobil. Semua pintu ia buka. Pintu bagian depan, di mana sora nanti akan duduk -- di sebelah Samran. Dan juga kedua sisi pintu belakang, yang akan digunakan oleh Pak Fuad, Bu Rahma. Dan Zona akan diapit kedua orang tuanya.
"Kita langsung berangkat saja ya, Sora, Pak, Bu!" Samran sedikit canggung, namun ia berusaha tetap bersikap biasa saja. Bermaksud supaya suasananya cair.
Armosfernya terasa berbeda, dibanding dengan terakhir kali mereka bertemu. Biasanya semua ceria, memperlakukannya dengan hangat. Tapi kenapa malam ini semua terlihat berbeda? Sora bahkan sejak tadi tidak mau menatap Samran sama sekali.
"Iya, langsung aja." Pak Fuad lah yang menjawab. Nada bicaranya sedikit dingin. Sangat berbeda dengan Pak Fuad yang biasa ngobrol dengannya.
Sebenarnya ada apa? Samran benar-benar bingung.
Samran melirik Sora di sampingnya. Sora malah sibuk memainkan pencetan jendela naik dan turun. seakan sengaja melakukan itu agar Samran merasa tak suka.
Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Apa itu? Samran mana tahu!
Kalau tanya sekarang, pasti nanti Samran malah diserang, dikeroyok oleh tiga orang sekaligus. Zona tidak dihitung, karena pasti anak itu tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Buktinya sejak tadi ia tetap banyak bertanya pada Samran.
"Wuih ... ternyata di Kediri udah ada ayam goreng FCK ya? Kapan-kapan makan di sana ya, Mas Sam!"
Tuh kan, Zona sudah bicara lagi.
"Iya, Zon. Insya Allah," jawab Samran.
Sebenarnya Samran agak kesal setiap kali Zona memanggilnya dengan sebutan Mas Sam. Seperti nama Samran diganti jadi Samsul, atau Samsuri. Kan kesannya jadi seperti nama jadul. Padahal kan nama Samran keren begini. Karya kedua orang tuanya.
Tak lama kemudian, ketika melewati sebuah coffee shop ternama.
"Wuih ... ternyata di Kediri juga udah ada kopi Starstruck, ya. Beuh, pengen ke sana tapu mahal-mahal amat. Masak kopi doang satu gelas lima puluh ribu. Mending buat beli baju aja deh. Setidaknya masih ada bekasnya. Lah, kopi, bakalnya cuman jadi pipis sama tai!"
Samran tertawa terpaksa. Ya begitu lah, guyonan khas anak milenial seusia Zona itu. Suka agak nyeleneh guyonannya. Seperti tidak sesuai dengan usianya.
Ya seperti itu lah situasi perjalanan mereka, hingga akhirnya sampai di rumah Samran.
Sesuai dengan apa yang Samran pernah jelaskan, bahwa rumahnya terletak dekat dengan markas militer Kediri, masuk gang kecil sedikit. Dan akhirnya sampai sudah di sana.
Rumah Samran berukuran besar, dengan desain yang bagus. Nuansanya hijau, sesuai dengan selera ibu-ibu gaul. Dilihat dari desain dan tema warnanya saja, sudah terlihat jelas, bahwa ibu Samran lah yang menjadi penguasa dalam mengantur setiap tata ruang yang ada di rumah ini.
Untuk ukuran rumah yang berada di dalam gang kecil, dan berada di wilayah desa, rumah Samran ini termasuk sangat mewah dan bagus.
Kalau dibandingkan dengan rumah Sora ... ya jauh lah. Rumah Sora juga besar. Tapi tidak bagus. Sora bukannya insecure. Dia hanya realistis. Rumah itu adalah warisan dari kakek dan neneknya, ayah dan ibu dari Bu Rahma. Dan belum banyak direnovasi sejak diwariskan. Bentuknya masih asli rumah lawas, sudah bocor di sana sini, rusak di sana sini, sudah hampir rubuh.
Samran kembali sangat sibuk, membukakan pintu depan dan belakang. Sora sebenarnya bisa saja membuka sendiri. Tapi belum juga ia bergerak untuk membuka pintu, Samran sudah membukakan duluan.
"Mari ... silakan masuk."
Sora, Pak Fuad, Bu Rahma, dan Zona hanya langsung ikut saja. Deg-degan juga sebenarnya. Karena akan terjadi pertemuan antar kedua belah pihak keluarga, setelah adanya berita mencengangkan dari Bude Pangestutik mengenai pembatalan perjodohan antara Sora dan Samran.
Tapi yang membingungkan adalah ... jika memang benar dibatalkan, lantas kenapa keluarga Samran tetap lanjut meminta keluarga Sora untuk datang?
Mereka tidak sedang akan memutuskan hubungan perjodohan secara terang-terangan, dan mempermalukan Sora beserta keluarganya, kan?
Pak Fuad tampak menghela napas berat. Ia adalah kepala keluarga di sini. Ia bertanggung jawab untuk menyelamatkan keluarganya dari pahitnya tercoreng muka. Maka ia akan berdiri dalam garda terdepan, untuk melindungi keluarganya. Terutama anak gadisnya, yang hampir menjadi korban perjodohan tidak jelas.
Mereka masuk sembari mengucap salam. Harusnya mereka membawa banyak hidangan dan oleh-oleh homemade. Tapi akibat ulah Bude Pangestutik, Bu Rahma jadi batal masak besar.
Eh, sebenarnya sebagian sudah dimasak, tapi tidak jadi berniat membawa. Kecuali sudah ada kejelasan status perjodohan antara Sora dan Samran.
Terlihat di sana ... Bu Harumi, Pak Hartawan ....
Eh, ada Bude Pangestutik juga di sana. Berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki berdandan necis. Sepertinya itu suami Bude Pangestutik yang entah siapa namanya.
Mereka berempat berjajar di ambang pintu masuk, untuk menyambut kedatangan keluarga Sora.
Makin aneh, kan?
Tadi Bude Pangestutik terang-terangan menyatakan bahwa setelah diperiksa, ternyata Weton Samran dan Sora itu tidak cocok. Yang secara tidak langsung, ia membatalkan perjodohan antara Sora dan Samran. Padahal ia sendiri yang menjodohkan pada awalnya.
Eh, sekarang Bude Pangestutik malah ikut nimbrung di sana. Menyambut kedatangan Sora dengan senyuman. Senyuman palsu pastinya.
Pasti dalam hati ia sedang kesal, kenapa Sora dan keluarganya jadi datang. Padahal tadi sudah di kode untuk tidak datang.
Mereka pun saling bersalaman, saling cipika dan cipiki, dan saling tersenyum. Pak Fuad dan Bu Rahma terpaksa ikut senyum, karena bingung harus bagaimana. Sebab Pak Hartawan dan Bu Harumi juga tersenyum dengan begitu bahagianya menyambut kedatangan mereka. Entah bahagia itu palsu atau tidak ... tak ada yang tahu.
"Mari, silakan duduk ...." Bu Harumi mempersilakan mereka semua untuk duduk di ruang tamu yang tertera rapi nan cantik.
Set sofa terlihat klasik, dengan warna hijau emerald. Banyak pajangan dinding seperti kaligrafi, dan juga ornamen unik. Yang paling mengundang perhatian adalah, adanya pajangan yang berupa gambar ka'bah dikeliling jamaah haji. Memiliki speaker di dalamnya, yang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Menggambarkan sisi agamis dari kelurga Samran.
Di meja sudah terhidang banyak sekali makanan.
Ada lapis kukus mix taro dan vanila, cokelat dan red velvet, cokelat pandan, semua memiliki toping keju extra banyak. Ada kurma, kismis, kacang-kacangan. Sudah mirip ketika sedang melakukan hormat haji, atau hormat umroh.
Pak Fuad duduk di sebelah Pak Hartawan dan suaminya Bude Pangestutik.
Bu Rahma duduk bersama Zona, dan Sora di sofa panjang.
Sementara Bu Harumi duduk bersebelahan dengan Bude Pangestutik.
Mereka pun saling membuka obrolan ringan, sedikit bercanda. Terlihat wajah Bude Pangestutik seperti menahan sesuatu yang tak terungkap. Sementara Bu Harumi malah tampak tersenyum tulus.
Membuat Sora semakin bingung sebenarnya dengan situasi yang sedang mereka hadapi ini.
Dan Samran ... ia malah tidak kelihatan batang hidungnya. Akibat terlalu sibuk salaman dan cipika cipiki tadi, ia tidak terlalu memperhatikan ke mana Samran pergi.