Akankah Gagal Lagi?

1008 Kata
Ketika menunggu Samran untuk mengantarkan pulang, Sora, Zona, Pak Fuad dan Bu Rahma, berdiri berjajar di depan halaman rumah Pak Hartawan. Pak Hartawan, Bu Harumi, Bude Pangestutik, dan Pakpuh Sumardi berdiri berjajar pula di teras rumah,mengantarkan kepergian keluarga Pak Fuad. Sementara Samran masih berada di dalam rumah. Terlihat dari kaca jendela, Samran sedang memasukkan makanan ke dalam wadah. Sora pikir, Samran sedang membungkus makanan itu untuk dibawakan kepada Sora juga. Sora pikir, Samran ini orangnya totalitas sekali. Sora tidak bisa menolak, karena posisi mereka jauh. Dan tidak mau malu juga. Jangan-jangan makanan itu bukan untuk Sora. Karena mereka sudah mendapatkan oleh-oleh cukup banyak. Berbeda dengan saat berangkat tadi, ketika perjalanan pulang, suasana lebih hidup, dan lebih meriah. Terjadi banyak obrolan antara Samran, Sora, Pak Fuad, Bu Rahma, dan pastinya Zona juga. Perjalanan sampai di rumah Sora seakan tak terasa. Samran masih sangat totalitas dengan membukakan semua pintu. Sora segera keluar, yang lain pun sama. "Pak, Bu, Sora, dan Zona ... saya langsung pamit aja ya. Soalnya sudah malam. Besok pagi-pagi harus siap-siap belanja buat resto." "Oh, iya, Nak Samran. Terima kasih, hati-hati di jalan." Pak Fuad yang mewakili keluarganya untuk menjawab. Samran langsung masuk ke dalam mobil, lalu pergi. Sora sebenarnya ingat, Samran belum memberikan makanan yang tadi ia bungkus, yang Sora ingat, diletakkan di dalam bagasi. Tapi sekali lagi, Sora tidak berani mengingatkan. Karena takut ternyata makanan itu ternyata akan diberikan pada siapa. Entah Samran lupa, atau memang bukan untuk keluarga Sora. Dan Samran pun segera pergi setelah itu. "Gimana, Pa? Tadi Bapak sudah bicara baik-baik sama Pak Hartawan tentang masalah kepastian perjodohan itu?" Bu Rahma pun langsung menanyakan perihal urgent itu. Karena memang itu tujuan utama mereka tetap pergi ke rumah Samran hari ini. Sekaligus menagih janji suaminya, yang sudah berikrar ingin meminta kepastian hari ini. Namun hening ... seketika Pak Fuad terdiam. Takut menguasai hatinya. Aduh ... bagaimana ini? Harus menjawab apa dia? Kan ... ia lupa tidak menanyakan masalah itu. Eh, tidak lupa, ding. Sebenarnya ingat, tapi karena situasi sudah baik, Pak Fuad jadi ragu untuk menanyakan hal itu. Entah lah, rasanya enggan saja untuk bertanya. Takut merusak suasana yang sudah enak. Jadi tak enak lagi nantinya. Lagi pula sambutan dan respons Pak Hartawan sangat lah baik. Membuat Pak Fuad positive thinking, bahwa tidak ada pembatalan perjodohan. Sementara yang disampaikan Bude Pangestutik tadi pagi hanya lah sebuah Informasi saja. "Uhm ... karena situasinya sudah baik, Bapak jadi nggak tanya masalah itu sama Pak Hartawan, Buk." Pak Fuad takut, tapi ia memberanikan diri untuk bicara jujur. Ya, sekalipun bohong, ia akan tetap ketahuan nantinya. Lebih baik jujur sekarang, dengan segala risikonya. Meski ia terancam akan tidur di luar nantinya, karena sudah bersikap tidak sesuai keinginan sang istri. Dan ia juga ... sudah tidak menepati janji. Benar saja, Bu Rahma langsung melotot lebar sekali. Tak hanya Bu Rahma, Sora pun sama. Hanya Zona yang bersikap bodo amat, karena ia memang tidak terlalu mengerti tentang masalah pelik orang dewasa ini. Bocah itu malah sudah melangkah masuk rumah duluan. "Gimana sih, Pak? Kok malah nggak ditanyain masalah yang paling penting itu?" Bu Rahma tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Emosinya sedang berada di ubun-ubun. Sementara Sora hanya diam, karena seluruh emosinya sudah diwakili oleh ibunya. Ia juga takut kualat kalau berkata tidak sopan, dan bernada tinggi pada ayahnya sendiri. "Pikir Bapak, karena respons mereka baik, jadi perjodohan itu otomatis dilanjutkan. Sesederhana itu, Buk." Pak Fuad tetap berusaha menjelaskan walaupun terbatas-bata dan masih dikuasai rasa takut. "Bisa-bisanya Bapak menyederhanakan masalah penting seperti itu. Ini urusan hati anak kita lho, Pak. memangnya bapak tega ketika nasib anak bapak terombang-ambing dalam ketidak jelasan? Semua harus segera dipastikan dong, Pak! Biar nasib anak kita jelas. Kalau ada yang deketin dia selain Samran, jadi bisa membuka hati. Nggak terikat lagi sama rencana perjodohan yang nggak jelas!" Bu Rahma benar-benar emosi. Pak Fuad langsung menunduk dalam. Ia juga menyesal sih. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya kan sudah telanjur. Mereka juga sudah ada di rumah sekarang. "Iya, Bapak ngerti, Buk. Uhm ... ya kita lihat aja ke depannya gimana. Hubungan Sora dan Samran juga baik-baik aja, kan? Tadi di sana semua juga baik-baik saja, kan? Pak Hartawan, Bu Harumi, Samran ... semuanya baik-baik saja. Cuman Budenya aja yang sinis. Tapi budenya kan nggak ada urusan. Kita kan mau berbesan sama keluarga Pak Hartawan. Terlepas dari yang mengenalkan Samran dan Sora awalnya adalah sang bude." Pak Fuad merasa jenius setelah mengatakan hal itu. Semesta ada di pihaknya, karena sudah memberi inspirasi dengan memberikan jawaban yang bagus. Ia yakin, dengan alasan yang ia berikan, istrinya akan segera luluh. "T-tapi kan ... tetep aja, Pak. Tujuan kita ke sana apa. Sekarang dapatnya apa." "Gini lho, Buk. Anggap aja apa yang disampaikan sama Bu Pangestutik tadi adalah salah satu cobaan yang menghalangi ketika akan adanya sebuah momen penting. Sekarang semuanya sudah jelas kan, Samran, dan anggota inti keluarga semuanya baik-baik saja. Kalau Bapak ngomongin masalah apa yang dikatakan sama Bu Pangestutik, malah jadinya merusak suasana. Malah nggak enak. Sekarang semuanya biar berjalan mengalir seperti air aja, deh. Samran sama Sora biar pendekatan dulu. Kalau jodoh nggak ke mana. Dan kalau Samran mau serius, pasti dia akan berusaha Segers mengikat Sora. Selama Sora dan Samran belum ada ikatan apa-apa, Sora kan masih bebas mau kenalan dan deket sama cowok lain juga. Jadi, nggak ada masalah lah sebenarnya. Kecuali soal plin-plannya Bu Pangestutik!" Sora terdiam mendengarkan penjelasan sang ayah. Benar juga sih apa katanya. Toh ia masih bebas menjalin hubungan perkenalan dengan laki-laki mana pun. Ia belum terikat hubungan apa pun dengan Samran juga. "Tapi, Pak ...." Bu Rahma yang masih terlihat tidak terima. "Sst ... udah lah, Buk. Udah. Bapak ngerti ibuk khawatir, tapi juga jangan jadi terlalu parnoan. Udah, ayo buruan masuk. Dingin lama-lama di luar." Pak Fuad merangkul istrinya itu masuk ke dalam rumah. Bu Rahma mau tak mau ikut melangkah. Bu Rahma sebenarnya masih trauma dengan gagalnya perjodohan yang Sora alami selama beberapa kali perjodohan. Apa iya, dalam perjodohan kali ini juga akan gagal? Wanita itu pasrah melangkah meskipun enggan. Dan Sora membuntut di belakang kedua orang tuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN