Dia Si Gunung Es
"Berharap kau berbicara padaku, itu, ibarat sedang berharap unsur golongan gas mulia dapat bereaksi dengan unsur lainnya. Sukar."
***
SYIFA
***
Mataku melirik ke arah jam dinding yang setia bertengger di dinding kamar, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun mas Ridwan belum pulang juga. Baiklah, ini bukan pertama kalinya, entah sudah berapa kian kalinya dia pulang ketika larut malam, atau bahkan tidak pulang sama sekali, sampai keesokan paginya. Aku mengerti bahwa aku memang bukanlah perempuan dewasa yang dapat memahaminya, dan menjadi istri yang soleha seperti yang didambakannya selama ini. Sebab di matanya, aku hanyalah seorang gadis kecil manja yang tidak- akan-bisa menjadi istri seperti yang ada di benaknya. Walaupun statusku sekarang telah menjadi istrinya, namun baginya, aku hanyalah seorang gadis kecil.
Ya aku sekarang telah menjadi istrinya, tapi dia masih menganggapku gadis kecil yang belum dewasa. Itulah fakta yang sebenarnya.
Aku menghelas nafas berat, sebentar, sebelum akhirnya beranjak ke kamar yang aku tempati bersama mas Ridwan- ah tepatnya hanya aku yang tidur di kamar ini. Aku merebahkan tubuhku sebentar sebelum akhirnya aku beranjak untuk mangambil wudhu dan memutuskan untuk sholat malam.
***
Matahari pagi yang menerobos ke jendela kamarku membuatku refleks menyipitkan mataku degan cepat. Ini pagi Minggu, namun-- Astaghfirullah! aku ketiduran setelah solat subuh. Sekarang pun aku masih mengenakan perlengkapan solat. Aku tak ingin membuang waktuku lebih lama lagi, aku pun bergegas menuju kamar mandi dan setelah selesai aku memutuskan untuk beraktivitas di dapur.
Jarum jam di dinding sudah menunjukkan jam delapan pagi, tapi belum juga ada tanda-tanda bahwa mas Ridwan akan pulang, membuatku menghela nafas berat dan lelah. Padahal aku sudah mencoba menelponnya puluhan kali dan mengirimkan pesan singkat belasan kali namun, tak satu pun usaha ku membuahkan hasil.
Aku tidak tau di mana dia berada sekarang, apa dia menginap di kantornya, atau di rumah mas Robi atau kemana aku tak tahu. Tak terasa bulir air mataku pun berhasil lolos dari pelupuk mata. Membayangkan bagaimana dia tak pernah mau memandangku, berbicara padaku, dan berada di tempat yang sama denganku pun dia tak sudi.
Suara kode pasword apartment yang berasal dari luar berhasil membunyarkan lamunanku. Segera ku seka air mata (yang entah sejak kapan terus berjatuhan) agar tak terlihat bahwa, aku baru saja menangis.
Terdengar seseorang mengucapkan salam, suara laki-laki. Mas Ridwan? Aku mulai beranjak menuju ruang tamu, dan membukakan pintu seraya menjawab salam.
"Wa'alaikumussalam."
Ternyata benar mas Ridwan, syukurlah dia pulang juga akhirnya. Jujur aku sangat mengkhawatirkan nya, tapi seperti biasanya, mas Ridwan hanya berlalu melewatiku dan melangkahkan kakinya menuju kamar. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Seolah aku ini hanyalah seonggok daging hidup, dan tak lebih dari itu.
Aku tau mas. Berharap kau berbicara padaku, itu, ibarat sedang berharap unsur golongan gas mulia dapat bereaksi dengan unsur lainnya. Sukar. Bahkan mungkin impossible.
Sebagai seorang istri bukankah aku hanya bisa berpikir positif, dan berkata pada diriku sendiri bahwa "Mungkin mas Ridwan lelah karena kerja setiap harinya, kecuali weekend saja. Aku tidak boleh membuatnya tambah lelah dengan terlalu banyak bertanya".
Aku mencintaimu mas, Insyaa Allah aku akan bertahan di sisimu, bahkan saat kamu tak menganggap aku ada.
***
Setelah berkutat di dapur selama beberapa puluh menit, akhirnya aku selesai memasak beberapa menu makanan.
Hari ini aku memasak tumis bayam, ikan nila goreng, lalu ada lalapan kesukaan mas Ridwan, yaitu pete, aku tau mas Ridwan suka pete dari mama Lira-mertuaku. Dia sangat baik kepadaku, baginya aku sudah seperti anaknya sendiri bukan hanya sekedar menantu.
Aku belum melihat mas Ridwan keluar dari kamar, dia sudah bangun atau belum ya? Sebab yang aku tahu mas Ridwan tertidur setelah selesai mandi. Sekarang sudah hampir pukul 10 pagi. Aku berjalan menuju kamar yang kami tempati, namun aku tidak mendapati mas Ridwan disini. Ponselku pun bergetar dan langsung ku buka, ternyata pesan singkat dari mas Ridwan.
From: Suamiku ❤
"aku buru-buru karena ada janji sama teman. Maaf aku tidak bisa makan dirumah bersamamu"
Aku tersenyum miris setelah membaca pesan singkat darinya. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi sahabatku-Loly. Dia mungkin sedang sibuk dengan drama Korea-nya itu, karena dia seorang K-drama lovers akut , sebaiknya aku tidak menghubunginya, karena mungkin itu akan menganggu hari liburnya yang cerah.
Aku beralih menuju dapur dan memandangi makanan yang sudah mulai dingin dengan tersenyum lirih akupun duduk di salah satu kursi, dan mulai menyantap makanan yang tadinya aku persembahkan untuk suami tercintaku.
Sudah hampir dua minggu kami menikah, tapi tetap tak ada yang berubah darinya. Dia masih bersikap dingin dan tak acuh seperti sebelumnya.
Dia seolah membangun gunung es begitu tinggi yang terlalu dingin untuk ku dekati. Entah kapan gunung es itu akan mencair atau entah kapan aku akan berakhir dengan beku di sampingnya..
***
Jangan lupa tersenyum:)
Tbc....