Vanesha tak sengaja memergoki Sandra di sebuah tenda kamar seorang prajurit bernama Kim Taemin. Tadinya gadis itu hendak menuju tempat penyimpanan obat-obatan. Namun, dia sempat melihat pakaian kemeja putih yang tergeletak di dekat tirai masuk tenda. Gadis itu menghentikan langkahnya dan memilih untuk bersembunyi sejenak karena penasaran. Sandra terlihat sedang melingkarkan tangannya di leher kekar milik seorang prajurit yang dia kenal saat dia sedang mengintip.
"Apa-apaan mereka itu, bisa-bisanya mereka mau melakukan tindakan tak terpuji itu," gumam Vanesha yang menatap jijik, dan hampir saja dia pergi saat Tae berbicara dengan nada yang berseru. Gadis itu kembali menoleh.
"Maaf, lepaskan aku Sandra!" pinta Tae.
"Kenapa sih susah sekali menggodamu?"
Sandra lantas melepaskan tangannya dari tubuh pria itu. Dia meraih pakaiannya yang tercecer karena tadi sempat dia lepaskan sembarangan di lantai untuk menggoda Tae.
"Yakin, kau tak mau tidur denganku? Banyak loh prajurit di luar sana yang berebut menginginkan aku," ucap Sandra penuh percaya diri.
"Hmmm … itu mereka, bukan aku."
Taemin berbalik arah tak mau menatap Sandra. Pria itu tak bisa bohong kalau di pikirannya sedang menari-nari seorang gadis cantik bernama Vanesha.
"Sandra, hentikan perbuatan itu!" ucap Taemin.
"Aku hanya melakukan pekerjaanku. Aku hanya membantu mereka terbebas dari penderitaan," ucap wanita itu.
Sandra lalu melangkah menuju ke luar tenda setelah selesai mengenakan pakaiannya. Untung saja Vanesha sudah bersembunyi di samping tenda.
"Ah, sebaiknya aku tak usah ikut campur urusan mereka," gumam Vanesha.
*
Malam itu, Vanesha melihat Sandra dan seorang dokter bernama Dr. Tommy. Mereka memasuki sebuah camp tempat pasien dirawat. Gadis itu tak sengaja mencuri dengar ke dalam tenda tempat Sandra dan dokter itu sedang berada di sana.Ternyata mereka sedang bersama dengan satu pasien yang sudah dua minggu dirawat di sana.
"Bagaimana keadaan pasien ini, Sandra?" tanya Tommy.
"Entahlah, Sayang ... tak ada perkembangan darinya. Dia hanya akan menyusahkan para prajurit di sini." Sandra menyandarkan kedua tangannya di bahu bidang milik sang dokter.
"Baiklah kalau begitu, berikan aku suntikan yang seperti biasa," pinta Tommy.
Sandra lantas menuju tas hitam milik sang dokter. Sebuah tas penyimpan obat yang berisi beberapa suntikan itu tertata rapi di dalamnya. Wanita yang memakai pakaian suster super ketat itu menyerahkan satu serum suntikan ke tangan Dokter Tommy.
"Baiklah, Tuan Adhock, aku akan membuatmu tak akan lagi merasakan sakit."
Vanesha yang kebetulan sedang melintas itu jadi tidak sengaja melihat aksi Sandra dan Dokter Tommy yang mengerikan baginya. Dua orang di dalam tenda itu lantas sedang tersenyum melihat pasien yang terlihat meronta-ronta karena kesakitan. Namun, hal itu dikarenakan karena sang dokter baru saja menyuntikan sesuatu ke dalam tubuh pasien tersebut.
Akan tetapi, hal yang membuat Vanesha bergidik ngeri dan mengepal kedua tangannya dengan geram saat melihat wajah Sandra dan Dokter Tommy terlihat datar. Mereka tidak merasa panik sama sekali kala melihat pasien yang kesakitan itu. Lalu, hal yang aneh yang membuat Vanesha sangat terkejut ketika tiba-tiba pasien itu tidak bergerak di atas ranjangnya.
Suster Sandra dan Dokter Tommy malah terlihat tersenyum puas. Wanita itu menyentuhkan tangannya di lengan pasien yang sudah tidak bergerak tadi. Dia memeriksa nadi dan napas pasien.
"Dia sudah bahagia, Dokter," ucap Sandra.
"Bagus, selamat jalan Tuan Adhock. Kini kau sudah tak akan merasa kesakitan lagi," ucap Tommy dengan melukiskan senyum yang menyeringai.
Betapa terkejutnya Vanesha kala ia merasa kalau pasien itu sudah tak bernyawa.
"Me-mereka, mereka membunuhnya," lirih Vanesha yang hendak langsung masuk ke dalam ruangan tersebut untuk berteriak merutuk bahkan mengecam Suster Sandra dan Dokter Tommy.
Namun, sesuatu menahannya dan membekap mulut gadis itu.
"Sebaiknya ikuti aku!" bisik suara seorang pria membawa Vanesha pergi dari tempat tersebut.
Pria itu membawa Vanesha menuju ke sebuah gudang senjata yang tampak sepi.
"Hmmpp! Hampir!"
Vanesha berusaha meronta agar pria itu melepaskannya.
"Aku akan melepaskanmu, tapi aku mohon jangan berteriak. Vanesha ini aku Tae, imbuhnya.
"Tuan Tae, kenapa kau malah membawa aku ke sini?" pekik Vanesha.
"Ssttt, jangan keras-keras, nanti mereka malah mendengarnya," ucap Tae.
"Tapi aku baru saja memergoki Suster Sandra dan Dokter Tommy membunuh pasien," ucap Vanesha.
"Tolong pelankan suaramu!" pinta Tae.
Akan tetapi, salah satu prajurit asal Inggris bertubuh kurus dan tinggi, memasuki gudang tersebut.
"Apa ada orang di dalam?" tanyanya.
"Hai, Mr. White! Ini aku prajurit Kim Taemin dan–"
Pria bernama Smith itu melihat sosok Vanesha di tengah temaramnya lampu.
"Oh, I see. Aku paham apa yang kalian lakukan. Kabari waktu lima belas menit untuk menyelesaikan urusan kalian. Oh iya, Taemin, kau bawa pengaman, kan?" tanya Smith yang salah sangka malam itu kala melihat sepasang manusia berada di gudang saat itu.
"Tentu, tentu saja aku bawa durex," sahut Taemin.
"Hahaha, good boy! Aku tak ingin kau mengotori lantai dengan cairan busuk kalian itu," ledek Smith seraya menutup pintu gudang.
"Cih, bisa-bisanya kalian selalu berpikir m***m seperti itu terhadap suster di sini," keluh Vanesha.
"Maaf, aku harus mengatakan itu untuk melindungimu. Panggil aku Tae, oh iya mengenai perbuatan Dokter Tommy tadi, jangan kau sebar luaskan dan cukuplah jadi rahasia," tukas Tae.
"Memangnya kenapa? Bagaimana mungkin aku menyembunyikan tindak kejahatan di sini? Aku bukan manusia serendah itu!"
"Tapi jika kau bersikeras membuka perbuatan mereka. Kau yang akan dipenjara atau malah diasingkan," ucap Tae.
"Kenapa memangnya?" seru Vanesha.
"Sudah kubilang pelankan suaramu!"
"Oke, memangnya kenapa mereka mengasingkan aku, bukankah kita hanya diutus menjadi sukarelawan untuk korban tsunami di sini?" bisik Vanesha.
"Sebagian memang diutus seperti itu Tapi dua puluh persen prajurit tidak. Mereka menjadi mata-mata negara mereka. Aku pun tak bisa membedakan mana yang prajurit relawan mana yang mata-mata," tutur pria itu.
"Jadi, yang dilakukan Suster Sandra dan Dokter Tommy itu apa?"
"Mereka melakukan itu terhadap pasien yang tak akan mungkin sembuh. Mereka berdalih jika tetap merawat pasien atau bahkan prajurit yang belum sembuh lebih dari satu minggu, jalan satu-satunya adalah suntik mati."
"A-apa? Suntik mati?" tanya Vanesha.
"Ya, untuk itulah sebaiknya kita pura-pura tak tahu dan tutup mulut. Agar cepat kita menyelesaikan tugas di sini. Dan saran dariku, sebaiknya kau jauhi Sandra!" tegas Tae.
"Tapi—"
"Tolonglah, aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku tak ingin terjadi sesuatu padamu," ucap Tae.
"Kenapa bisa seperti itu? Bukankah kita baru kenal di sini?" Vanesha mengernyitkan dahi.
"Entahlah, aku hanya tak ingin terjadi sesuatu padamu," ucap Tae.
Smith membuka pintu gudang dan meneriaki Tae serta Vanesha.
"Apa kalian sudah selesai? Cepatlah pergi dari sini! Aku akan membersihkan gudang ini!" seru Smith.
"Oke," sahut Tae yang menggandeng tangan halus Vanesha membawa gadis itu keluar dari sana.
"Wah, cantik juga suster ini. Hei, Nona! Jika kau punya teman yang ingin bercinta denganku, lekas hubungi aku! Atau bahkan kau—"
"Dia milikku!" potong Tae penuh ancaman seraya menatap pria itu tajam.
"Oke, oke. Dia milikmu," ucapnya.
Setelah Vanesha dan Tae keluar dari gudang tersebut, gadis utk segera melepas genggaman tangan prajurit itu.
"Jangan pernah sentuh aku lagi!" Vanesha bersungut-sungut seraya pergi meninggalkan Tae yang menggaruk kepalanya meski tak terasa gatal.
"Kenapa gadis itu sangat menggemaskan," gumam Tae yang masih mengamati punggung Vanesha menjauh.
*
Beberapa hari berlalu setelah kejadian Vanesha melihat Sandra yang menghilangkan nyawa pasien bersama Dokter Tommy. Namun, wanita itu tahu kalau rekannya itu melihat perbuatannya.
"Vanesha, aku tahu kau melihatku melakukan hal itu," ucap Sandra.
"Hal apa?" tanya Vanesh.
"Kau melihatku dengan Dokter Tommy, kan saat ke tenda Tuan Adhock?" tanya Sandra penuh telisik.
"Ummm … aku tak tahu apa yang kau katakan," terang Vanesha yang hendak berlalu meninggalkan wanita itu.
Sandra kemudian menarik tubuh Vanesha yang mungil sama dia berdiri di depannya. Vanesha hanya bisa menatap wajah wanita di hadapannya itu tanpa bisa mengucap sepatah kata pun.
"Aku dan Dokter Tommy mempunyai kebiasaan yang diharuskan oleh atasan kami. Kebiasaan yang kami lakukan di tenda kemarin," ucap Sandra.
"Aku tak tahu maksudmu, Suster Sandra." Vanesha memilih untuk menundukkan wajahnya.
"Kami hanya membunuh orang tertentu saja. Hanya orang sekarang yang kami bunuh agar mereka bisa terbebas dari penderitaan di dunia. Bukankah kami ini orang baik?"
"O-orang baik katamu? Membunuh pasien yang sekarang kau bilang orang baik?" Vanesha mulai terlihat naik pitam.
"Aku hanya membantu mereka segera terbebas dari rasa sakit, itu saja alasan kami menjadi malaikat penyelamat mereka," kata Sandra yang sungguh membuat Vanesha bergetar.
'Apa apaan itu, kau bilang dirimu orang baik. Kau bilang dirimu itu malaikat, iya malaikat pencabut nyawa, dasar wanita gila,' batin Vanesha.
"Vanesha, apa kau jadi takut padaku?" tanya Sandra.
"Aku hanya tak mengerti dengan yang kalian lakukan. Kalian harusnya bekerja untuk menolong orang sakit, membuat mereka menjadi sembuh. Bukannya malah menghilangkan nyawa mereka," ucap Vanesha yang menatap tajam ke arah Sandra.
"Hmmm … aku bagaikan monster, ya? Tapi itu memang sudah jadi tuntutan kerja untukku. Aku hanya harus bertahan hidup, dan jika kau ingin juga bertahan hidup maka sebaiknya kau tetap diam," ucap Sandra dengan raut wajah yang datar tetapi terkesan ada ancaman dari balik penuturannya.
Tiba-tiba, terdengar beberapa prajurit mulai gaduh. Kedua wanita itu lantas membuka tirai penutup tenda. Mereka mendapati beberapa prajurit yang sedang menandu rekannya satu sama lain.
"Tae? Buka kah itu Tae?" lirih Vanesha saat melihat salah satu prajurit yang sedang ditandu itu adalah pria yang dia kenal.
Tae terlihat kesakitan dengan luka di bagian kaki kirinya. Vanesha bergegas keluar bersamaan dengan Sandra untuk menolong para prajurit tersebut.
"Apa yang terjadi?" tanya Sandra.
"Salah satu bangunan itu runtuh, padahal masih ada korban di sana," tutur Smith.
"Ya Tuhan, lalu apa yang terjadi dengan orang-orang di dalam sana?" tanya Vanesha.
"Entahlah, sudah tak ada akses masuk ke dalam bangunan yang runtuh itu," jawab pria berambut pirang yang cepak itu.
"Vanesha, kau sebaiknya obati dia!" Sandra menunjuk ke arah Tae yang sudah dibaringkan di atas ranjang perawatan dalam tenda tersebut.
"Oke."