17. Perasaan Aneh.

1618 Kata
"Hai, diam bodoh, dengarkan penjelasan ku dulu. Jangan asal menyimpulkan pendapat mu sendiri seenak jidat lebar mu itu," geram Zenni. Zio menggertakan gigi-giginya, lagi-lagi ia harus kembali berurusan dengan gadis jadi-jadian ini, fikirnya. "Kenapa kau selalu saja mengumpat, hah? Sadarkah dirimu, teriakan melengking mu itu bisa membuat phonesel mahal ku lowbat." cerca nya kemudian. Zenni menggeram marah, enak saja suara merdu begini di bilang merusak phonsel. "Hih, dasar pemuda aneh, hanya dirimu yang berani menghinaku, selama ini para pemuda selalu memuja diriku, dasar kau .... atau jangan-jangan kau mempunyai kelainan, ya?" sindir Zenni kemudian. Zio meraup wajahnya kasar, merasa jengah. Kenapa ada sosok gadis yang begitu membanggakan diri nya sendiri seperti itu?. "Kau tahu kenapa para pemuda itu memujamu? Karna mata mereka semua katarak," sahut Zio, diiringi dengan gelak tawa terbahak-bahak. Zenni ingin menangis rasanya karna kalah telak berperang mulut. Ingin hati mengajak nya bekerja sama namun malah diluar dugaan mereka malah saling melontarkan umpatan. "Hah ... sudahlah terserah mu saja, padahal aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang penting kepada mu," tutur Zenni sedikit lesu. "Kau ingin bicara apa? Cepat katakan sebelum pulsaku habis," sahut Zio cepat. Yang mana membuat Zenni kembali geram. "Dasar bodoh ... aku yang menghubungi mu jika kau lupa!!" teriak nya lagi, ia begitu frustasi bagaimana bisa pemuda menyebalkan seperti dirinya bisa hidup di dunia ini. Zio diam-diam berusaha menahan tawanya, entahlah ada sepercik rasa bahagia menggoda gadis itu. Hingga ia kembali teringat ke topik pembicaraan awal. "Oh, ya ... tadi kau ingin bercerita tentang apa? Katakanlah," ucap Zio melembut. Zenni sedikit merasa lega mendengar ucapan lembut pemuda tersebut, tak sadar dirinya tersenyum-senyum sendiri. "Emm ... ini tentang Zanna," titah Zenni. Zio terperanjat dari duduknya, ia reflek berdiri dan melempar kursi kebesaran nya hingga kursi tersebut terjungkal ke belakang dengan tidak elitnya. "Hei ... kau bilang tentang Zanna? Sudahlah ... jangan bercanda," teriak Zio, melupakan fakta bahwa dirinya masih ada di dalam kantor. Zenni reflek menjauhkan phonesel nya dari telinga. "Dasar pemuda j*****m ... jangan berteriak aku tidak tuli bodoh!!" marah Zenni. "Ah ... maafkan aku, kau bilang tadi tentang Zanna? Di mana dia? Bagaimana keadaannya? Bagaimana bisa kau mengetahui nya? Apa kau bersamanya? ---" "Stoppppp!! Sampai kapan kau akan terus bertanya hah? Kau ini wartawan atau apa sebenarnya? Bagaimana caraku menjawab jika kau berbicara tanpa jeda seperti itu," emosi Zenni, merasa reaksi pemuda itu sedikit berlebihan. "Hah ... maaf, aku terlalu bersemangat ... sekarang cepat ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tutur Zio pada akhirnya. "Akan butuh waktu panjang untuk ku bercerita ku harap kau tidak tertidur jika aku sedang bercerita dan juga kau harus berjanji pada ku bahwa ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua," pinta Zenni. Zio mengernyitkan keningnya, sedikit merasa aneh. Kenapa harus rahasia? Sebenarnya apa yang terjadi. Gumamnya. "Em, baiklah sekarang ceritakan tentang rahasia yang kau maksud," pinta Zio selanjutnya. Zenni mulai menceritakan tentang semua hal yang sudah terjadi pada Zanna dan juga dirinya. dari mulai mereka di ajak Leo kabur dan juga tentang fakta bahwa kedua orang tua nya masih hidup dan sekaligus pemimpin dunia bawah, minus tentang pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga Bramasta. Zenni merasa bahwa waktunya belum tepat untuk membicarakan masalah itu. Yang terpenting sekarang Zio mau membantunya untuk menyatukan kembali Dareen dan Zanna. Sekaligus memastikan bahwa Dareen benar-benar sembuh dan menyesali semua perbuatannya. Zenni telah selesai bercerita tanpa tertinggal sedikitpun. Zio menelan ludah nya kasar mengetahui fakta mengejutkan ini, untung saja dia tidak mempunyai riwayat penyakit jantung, jika iya sudah di pastikan pemuda itu sudah mati di tempat. Bagaimana tidak? Jika dia baru saja mengetahui bahwa sekretaris yang selama ini setia menemani Dareen bahkan sudah ia anggap sebagai sahabat ternyata seorang mata-mata. Zio bisa gila rasanya, ingin sekali menghajar pemuda tersebut jika saja ia tak harus menjaga rahasia. Tiga bulan kemudian, kini kedua tuan rumah Takkeru benar-benar sudah pulih sepenuhnya. Jujur mereka terlihat begitu tegas, itu alasannya kenapa Zanna takut membantah ucapan ke dua orang tua nya. Tapi semua itu tidak berlaku bagi Zenni. Gadis itu tetap lah gadis pembangkang yang tidak tahu aturan. Tuan Daisuke dan Nyonya Hikari terlihat lebih muda jika di lihat dari segi umur, keluarga itu terkenal dengan aturan prinsip hidup nya yang terlalu tinggi. Tidak ada yang berani menentang keputusannya. Semua yang mereka inginkan harus terlaksana. Jika tidak, mereka tidak akan segan-segan memberikan sanksi yang begitu berat. Katakanlah jika mereka kejam, tapi memang itu kenyataanya. Zanna, dia sudah melahirkan satu bulan yang lalu, ia melahirkan dua bayi kembar tidak identik. Begitu menggemaskan. Kini keluarga Takkeru sedang berkumpul di ruang utama mansion nya. Zanna sedikit merinding melihat tatapan tajam kedua orang tua nya, namun tidak untuk Zenni, gadis itu terlihat acuh sambil memakan buah apel merah di tangan kanannya. Masa bodoh dengan tatapan tak suka dari mamanya, tapi untuk Tuan Daisuke dia lebih terlihat santai. "Zenni, jaga sikap mu Sayang ... kau adalah putri dari orang terpandang, Mama rasa sikap seperti itu tidaklah cocok untuk mu," tegur Hikari dengan nada dinginnya, sembari menyesap teh hijau dari cangkir nya. Zenni merolling bola matanya, dia benci aturan jika kalian lupa. "Aku begini adanya Ma," sahutnya singkat. Zanna menyikut lengan Zenni seraya berbisik. "Jaga ucapan mu, Zen ... dia orang tua kita." Zenni hanya berdecih malas, jika di suruh memilih ia lebih memilih hidup bebas di luaran sana, ketimbang hidup di dalam sangkar emas begini. Hidup penuh aturan itu memuakkan, batinya. Leo juga ada di situ, sedang Lisa dia sedang mengasuh kembar kecil di kamarnya. Sebenarnya hari ini ada yang ingin di sampaikan oleh Nyonya Hikari, selaku Nyonya besar di mansion itu. "Leo ... kau sudah tau apa yang harus kau lakukan?" tanya Hikari dengan menatap tajam ke arah Leo. "I-ya Nyonya," jawab pemuda itu gugub. "Tunggu ... apa yang Mama maksud? Kak Leo harus melakukan apa?" tanya Zenni penuh selidik, menatap nyalang kearah orang tua nya. "Tentu saja untuk membalas dendam pada keluarga Bramasta itu," sahut Nyonya Hikari begitu enteng nya. Sontak saja membuat Zenni dan juga Zanna tersentak kaget. "Kenapa Mama dan Papa tidak menyelidikinya terlebih dahulu," usul Zenni, berharap keduanya orang tua nya mempertimbangkan keputusannya. "Apa yang harus di selidiki lagi? Semua sudah jelas bahwa mereka yang memulai peperangan," sahut Nyonya Hikari selanjutnya, merasa geram dengan anak-anak nya yang seolah tidak mendukung tindakan nya. "Aku tidak ingin ada pertaruhan nyawa lagi, tolong jangan lanjutkan balas dendam kalian," lirih Zanna. Nyonya Hikari berdecih remeh tak habis fikir dengan pemikiran kedua anak kembarnya. "Zanna ... Zanna! Mama tidak menyangka kau punya hati selembut salju, ku ingatkan sekali lagi padamu, putra dari keluarga Bramasta sudah menghancurkan hidup mu, menghancurkan masa depan mu sayang, sadarlah ... kenapa kau masih berbaik hati kepadanya? Jangan terlalu menjadi orang baik ... karena orang baik hanya akan di rendahkan, ingat itu baik-baik," ucap final Nyonya Hikari dan melenggang pergi meninggalkan ruangan itu. Tuan Daisuke masih terdiam, biarlah dia menjadi penengah di perdebatan antara anak-anak dan istri nya. "Kenapa kalian membela keluarga itu, hm? Apa kalian menyukai putra mereka?" tanya Daisuke sabar, ia tidak mau terlalu kasar dengan kedua anak-anaknya. Mengingat mereka sudah dewasa, pasti sudah bisa membedakan mana yang buruk dan mana yang baik. "Aku hanya tidak ingin ada pertumpahan darah lagi Pa." tutur Zenni lesu. "Baik jika itu mau mu ... Papa akan mengabulkan nya untuk mu, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah berhubungan dengan keluarga Bramasta untuk selamanya." putus Tuan Daisuke mutlak. Membuat gadis kembar itu terkejut dan mendongak kan kepalanya menghadap ke arah sang papa dengan mata berkaca-kaca. "Pa ... apa tidak ada persyaratan yang lain?" tanya Zenni berharap papa nya mengubah keputusannya. "Semua sudah impas bukan? Papa mengabulkan permohonan kalian dan kalian mematuhi persyaratan Papa," ucapan Tuan Daisuke sembari menyunggingkan sebelah bibir nya. Gadis kembar itu sudah tidak bisa berkutik lagi, tak di sangka mereka semakin terjebak di dalam permasalahan yang begitu rumit ini. Mereka sempat berpikir mungkin dengan perginya mereka ke Negara Jepang, akan mengubah alur cerita hidup mereka menjadi lebih baik. Namun salah besar nyata nya mereka semakin tersiksa dengan aturan-aturan yang di terapkan di keluarga Takkeru. Zenni begitu emosi, di lema, gelisah tak menentu. Ia sendiri juga tidak tau mengapa. Yang jelas ia merasa tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh keluarga nya. Di tambah lagi, Zio tidak menghubungi nya dalam beberapa hari ini. Membuat nya semakin kalut dalam kegelisahan, ia bingung dengan dirinya sendiri. Zio bukan siapa-siapa nya, tapi mengapa jika pemuda itu tak menghubungi nya, ia begitu marah dan tak terima. Seolah ada yang kurang jika pemuda itu tak memberi nya kabar dalam sedetik saja. Ada apa dengan dirinya? Zenni pun bertanya-tanya. Jujur beberapa bulan terakhir ini memang hubungan Zenni dan Zio semakin dekat, tanpa adanya percekcokan lagi, dekat dalam artian sebagai teman baik. Namun entah lah Zenni merasa begitu nyaman saat menjalin hubungan pertemanan jarak jauh begini, tentunya tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya dirinya, Zio dan Tuhan yang tahu. Selang beberapa menit kemudian, yang ia tunggu-tunggu pun akhirnya panjang umur. Phonesel nya ternotis, terlihat tertera pesan chatting dari Zio. Dengan cepat Zenni menyambar phonselnya yang tergeletak di meja nakas, sembari terburu-buru membuka pesan tersebut dengan hati gembira seakan telah memenangkan undian lotre. Zenni terkikik geli membaca pesan dari Zio yang isinya menanyakan kabar dirinya dan juga Zanna. Hatinya bergejolak tak karuan hanya dengan perhatian kecil di tulisan layar phonesel nya itu. Padahal itu hanya lah pertanyaan yang biasa saja. Zenni tak lupa membalas pesan itu, mengatakan bahwa dirinya dan Zanna sedang baik-baik saja, dia juga mengirimkan foto kembar kecil kepada pemuda tersebut. "Lihatlah Zio ... mereka sangat lucu, aku jadi ingin memilikinya sendiri," kode nya. Namun balasan pemuda itu membuatnya merasa sebal, lagi-lagi pemuda itu tak peka. "Benarkah? Jika kau ingin memiliki baby, maka cepatlah menikah. Jangan lupa memberikan undangannya untuk ku," isi pesan Zio. Zenni menghela nafas sebal, seraya menidurkan tubuhnya di kasur king size nya, malas membalas pesan Zio.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN