HAPPY READING
***
Tok … tok … tok
Veronica membuka hendel pintu, ia memandang mas Andre berada di depan daun pintu. Mereka saling menatap satu sama lain. Karena sejujurnya, jarang sekali mas Andre menemuinya.
Andre menatap sang adik mengenakan dress berwarna hitam. Dia sudah tampak rapi, dan sudah berdandan sangat rapi. Ia tidak tahu adiknya itu mau kemana.
“Ada apa mas?” Tanya Vero, melihat Andre mengenakan jaket kulit dan tas kerja di tangannya.
“Kamu mau ke mana?” Tanya Andre memperhatikan Vero.
“Mau main sama temen,” ucap Vero, padahal ia ingin menghabiskan waktunya di club bersama teman-temannya, karena ia sudah janji dengan beberapa sahabatnya di kampus dulu untuk reuni, sambil menikmati malam Minggu.
“Kenapa mas?” Tanya Vero lagi, masalahnya tidak biasanya mas Andre ke sini menemuinya.
“Mas, ada kerjaan di luar kota mendadak, mas mau ke Sulawesi.”
“Terus.”
“Kamu gantiin mas ke acara pernikahan ya.”
“Kan, mba Feli ada,” Vero tahu bahwa saudaranya itu memiliki kekasih yang super cantik bak model.
“Mba Feli juga ikut mas ke Sulawesi, nggak bisa. Mas mau kamu gantiin mas ya, bentar aja sih, acaranya cuma dua jam aja.”
“Enggak ah, males banget ke acara pernikahan, apalagi nggak kenal.”
“Ayolah Ver, mas kalau nggak ada kerjaan, enggak mungkin nggak datang. Masalahnya yang nikah ini orang penting, mas nggak bisa kalau nggak datang.”
“Ih, ogah ah, nggak kenal. Apalagi temen mas Andre. Enggak, nggak, nanti pelenga-pelengo lagi di sana. Suruh siapa kek gitu, pokoknya jangan Vero.”
“Tolong lah, Ver. Kan kamu satu-satunya saudara mas, nggak bisa wakil kan lagi selain kamu.”
“Ih, nyebelin banget deh. Vero nggak bisa, Vero mau pergi mas,” rengek Vero.
“Kamu mau ke mana?”
“Ya, mau main sama temen kampus dulu. Udah janjian ketemuan.”
“Emang jam berapa perginya?” Tanya Andre lagi penasaran.
“Jam delapan.”
Andre melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 17.00, “Masih jam lima, masih ada waktu kok pergi ke acara pesta. Acaranya jam enam sampe jam delapan.”
“Ih, mas Andre. Emang siapa sih yang nikah.”
Andre menarik nafas, ia menatap Vero, “Ini yang nikah CEO nya Mayapadi Group, mas nggak bisa kalau nggak datang. Kamu perwakilan mas, ya.”
“Haduh, gimana ya,” Vero tadi sudah mengucapkan penolakan keras kepada Andre, namun sepertinya suadaranya itu sedikit memaksa, membuatnya resah.
Andre lalu menyerahkan paperbag berisi kado pernikahan kepada Vero, “Ini gift dari mas buat Eros sama Kenny. Kamu pergi ya sekarang.”
Bibir Vero maju satu senti, ia mau nggak mau mengambil paperbag yang sudah tersemat di tangannya.
“Di mana sih pestanya?” Ucap Vero dengan nada penekanan, agar mas Andre tahu kalau ia tidak berniat untuk pergi ke acara pesta tersebut.
“Di Gunung Pancar.”
“HAH! Gunung Pancar? Sentul? Bogor?” Vero nyari memekik.
“Iya, di sana. Rame kok. Kamu kalau ke sana, pasti bakalan ketemu sama orang-orang penting dan berkualitas.”
“Ih, jauh banget. Ogah ah, males banget,” rengek Vero.
“Kayak nggak ada kerjaan aja deh buat pesta di tengah hutan,” rengek Vero.
“Namanya juga forest wedding, kayak di film Twilight, keren kok pestanya.”
“Ih, ogah ah, banyak nyamuk.”
“Enggak ada. Acara pesta kayak gitu, pasti sudah di kasih pawang nyamuk sama yang punya acara.”
“Mas, ih. Males banget Vero mau ke sana,” dengus Vero.
“Ayo lah, mas minta tolong kamu, ini juga jarang-jarang pestanya.”
“Nanti kamu perginya naik tol aja. Ini hari Sabtu nggak terlalu macet, kalau weekday pasti macet sama orang jam pulang kantor.”
“Habis acara jam delapan atau jam sembilan gitu. Kamu masih bisa ketemu temen-temen kamu kan. Mas cuma minta perwakilan aja dari kamu Ver.”
“Ih, mas.”
Andre melirik jam melingkar di tangannya, “Yaudah, mas pergi dulu ya, soalnya mas mau flight.”
“Gitu deh, ih sebel,” dengus Vero.
“Nanti bilang aja ini dari mas Andre, mereka pasti kenal sama mas.”
Vero memandang Andre menuruni tangga, yang berlalu meninggalkannya. Oh God, ia sejujurnya paling malas pergi ke acara pernikahan, apalagi yang nikah itu orang yang tidak ia kenal. Mana jauh banget lagi di Sentul.
Pergi ke undangan mepet kayak gini sungguh menyebalkan. Ia mengambil tas Hermes nya di nakas, ia lalu bergegas menuruni tangga. Ada beberapa alasan yang ia benci pergi ke acara pesta seperti ini, karena tempatnya yang terlalu jauh, pasti yang punya acara, mencari tempat yang eksotis dan jauh dari peradaban.
Emang di Jakarta enggak ada lagi tempat yang lebih oke. Hotel-hotel bintang lama bertebaran dan jauh lebih oke, dibanding di tengah hutan sana. Apaan yang dicari tengah hutan belantara. Kalau bukan mas Andre, ia bakan ogah mau datang.
Vero memakai high heels nya, ia memandang mama dan papa, yang baru keluar dari mobil Alphard. Sang mama tersenyum kepada putrinya.
“Hai sayang, mau ke mana?” Tanya mama.
“Tadi mas Andre nyuruh pergi ke undangan temennya, padahal Vero ada acara sama temen.”
“Yaudah kamu pergi sana cepet, dianter sama pak Irwan.”
“Tapi ma.”
“Tadi mas Andre nelfon mama, katanya yang nikah itu temennya yang punya Mayapadi Group. Enggak enak kalau nggak datang.”
“Tapi males ma.”
“Pergi aja, nongolin muka. Asal hadir aja bentar.”
“Ih, mama gitu deh.”
Papa menatap Vero putrinya, “Udah pergi aja, lagian mas Andre banyak kerjaan. Jarang-jarang juga mas kamu, minta tolong sama kamu, Ver.”
“Ih papa. Tapi Vero mau pergi main sama temen.”
“Cuma bentar aja sayang. Sana pergi.”
“Tapi Vero nggak kenal,” rengek Vero.
“Nanti juga kenal.”
“Udah sana pergi, acaranya jam enam kan.”
Mama menatap pak Irwan yang masih di kemudi setir, “Pak Irwan, antar Vero ya ke Gunung Pancar.”
“Baik bu.”
“Hati-hati bawa mobil.”
Vero lalu masuk ke dalam mobil ia memandang pak Irwan sedang fokus dengan kemudi setirnya. Ia bersandar di kursi. Semenit kemudian mobil meninggalkan area rumah, mobilpun membelah jalan, melawan angin.
Baginya pergi ke acara undangan pernikahan sendirian itu berasa mendekati gunung Himalaya, dingin dan beresiko kehilangan arah. Apalagi ia pergi sendiri tanpa gandengan, harusnya ia mengajak Ester. Vero merogoh ponsel di dalam tas nya, ia ingin memberi tahu Ester kalau ia pergi dulu ke acara pernikahan temennya mas Andre.
Vero mencari nomor Ester, setelah itu ia menekan tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga. Ia menunggu sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Beberapa detik kemudian ponselpun terangkat.
“Iya, halo Ver,” ucap Ester di balik speaker ponselnya.
“Es, gue kayaknya nanti pergi agak telat deh,” ucap Vero.
“Kenapa?”
“Gue mendadak gantiin mas Andre ke acara wedding party nih, males banget gue sebenernya. Soalnya nggak kenal, yang ada gua pelenga-pelengo di sana, kayak orang tersesat, enggak kenal.”
Ester yang mendengar itu lalu tertawa geli, “Emang di mana sih, acara pestanya?”
“Di Gunung Pancar.”
“HAH! Di Gunung Pancar?”
“Iya, di gunung. Parah nggak sih di gunung, tengah hutan gitu.”
“Ih, kayak nggak ada hotel aja deh, di Jakarta.”
“Maklum katanya pengen forest wedding gitu. Katanya yang nikah ini yang punya Mayapadi Group.”
“Wih, keren gila, tajir abis pasti tuh orang.”
“Iya, keren tema forest wedding, kayak intimate gitu. Tapi nikah di tengah hutan kayak ganggu gimana gitu. Ngapain coba nikah di hutan? Emang nggak takut hujan apa? Bogor kan kota hujan. Mana jauh pula. Gue males banget.”
“Kenapa nggak ngajak gue,” ucap Ester, masalahnya lumayan kalau pergi ke acara seperti itu, ia bisa mencicipi makanan enak, dan kemungkinan besar bisa kenalan dengan orang-orang hebat.
“Yah, mepet banget mau jemput lo di PIK. Ini aja buru-buru ngejar waktu, keburu nih. Mendadak gitu ngasih taunya. Kalau mas Andre ngasih taunya tadi sore nih, gue jemput lo pakek mobil kali.”
“Sekarang lo di antar?”
“Iya, gue pakek driver. Ini udah di tol sih, pak Irwan udah ngebut juga. Karena acaranya, jam enam, ngejer waktu juga.”
“Lo hati-hati ya, Ver. Nanti gue bilang temen-temen yang lain deh, lo datangnya telat.”
“Makasih ya Ver. Enggak telat-telat banget sih, gue palingan ngasih gift terus balik. Ngapain lama-lama di sana.”
“Iya, sih bener. Kalau yang nikah itu yang punya Mayapadi Group, kemungkinan besar sih, orang-orang yang di undang, orang hebat-hebat semua.”
Vero mematikan sambungan telfonnya, ia bersandar di kursi menunggu hingga tiba di tujuan. Ia penasaran, hadiah apa yang diberikan mas Andre untuk temannya itu. Ia memandang paperbag berwarna putih, di dalam sana terdapat kotak berwarna merah. Ia hanya mengira-ngira isi dalam itu, karena bentuknya kecil. Ia menggoyangkan, terasa ringan dan tidak bersuara. Biasanya gift seperti ini, yang paling mahal.
“Apa di dalamnya kunci mobil? Cincin permata? Perhiasan?” Ucap Vero dalam hati. Namun ia membiarkan begitu saja. Ia memilih bersandar di kursi sambil menatap ke arah jendela. Sambil menunggu tiba di tempat tujuan.
***