Bab 3
Ami menjadi teman pertama Deby juga rekan sebangkunya. Gadis bertubuh gempal bulat, berpipi tambun dengan kacamata lensa minus tebal yang terlihat jelas. Ami memiliki penampilan dan postur yang cukup kontras dengan Deby bila mereka bersanding. Deby memiliki postur tubuh yang cukup kecil namun proposional. Karena ukuran tinggi badannya itu membuat Deby selalu berdiri di barisan depan tiap kali upacara bendera.
“Minggu ini kita harus pilih ikut ekskul apa, tapi gue belum tentuin pilihan.” Ekskul a.k.a Ekstrakurikuler adalah kegiatan atau aktivitas tambahan yang dilakukan di luar jam pelajaran sekolah. Pihak sekolah mengharuskan setiap siswa setidaknya mengikuti satu ekskul di sekolah.
“Sama aku juga belum, tapi jangan cemas. Hari ini kakak kelas akan tampil, demo kegiatan ekskul masing-masing di Malabar. Kita pergi bareng yaa...” Ajak Ami pada Deby.
“Hari ini? Sepulang sekolah?” Deby terkesan, dari mana juga informasi itu Ami ketahui.
“Iya... Kita ke sana pakai bemo.” Ami tersenyum polos. Benar, ke mana pun mereka pergi transportasi umum yang menunjang dari lokasi sekolah di Ciremai yang terpelosok ini hanya ada bemo. Hari di mana jadwal kegiatan ekskul diadakan, kelas satu harus berpindah lokasi dari Ciremai ke Malabar. Bemo menjadi pesona pribadi sekolah tersebut karena trayek bemo khusus hanya dari Ciremai ke Malabar, dan sebaliknya.
Tidaklah berlebihan jika Deby menyebut lokasi sekolahnya sebagai pelosok, karena tempat itu bagai daratan antah berantah. Atau mereka menyebutnya sebagai Kerajaan Penguin di kutub Antartika. Berkat lokasi bangunan yang terpisah dari para senior, siswa baru bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah dengan cepat. Tanpa harus memperhatikan bagaimana mereka bersikap dan berperilaku agar tidak ditandai lalu menjadi incaran kakak senior.
***
Di hari ini semua kegiatan ekskul sekolah melakukan demo untuk menarik dan merekrut anggota baru. Yang paling menarik perhatian adalah tiga ekskul peringkat teratas di sekolah. Yaitu Paskibra, PMR dan Pramuka. Penampilan demo ketiga ekskul tersebut mendapat sambutan paling meriah. Masing-masing ekskul memiliki ciri khas tersendiri.
“Udah tentuin pilihan?” Tanya Salman.
“Lo sendiri?” Fahri malah balik mengajukan pertanyaan bukan menjawab.
“Ya, udah gue putusin masuk Paskibra.” Ucap Salman yakin.
“Oke! Sama kalo gitu.” Kata Fahri merasa tak salah pilih setelah tahu keputusan mereka satu suara.
“Ah! Paskibraka itu buat yang berbadan tinggi aja atau―” Salman meragu apakah dirinya akan diterima bila mendaftar dengan tinggi badan yang ia miliki.
Seseorang di samping Deby bersuara cukup keras menarik perhatiannya. Karena pikiran itu persis seperti apa yang terlintas dibenak Deby sehingga membuatnya menyimak pembicaraan mereka dengan seksama. Dari pengamatan Deby, sepasang teman itu cukup menonjol karena perbedaan tinggi badan yang kontras. Satu orang tinggi semampai dan seorang lagi memiliki postur tubuh sebelas-dua belas dengan dirinya. Mengingatkannya pada duo pelawak asal jepang ‘Hanshin Kyojin’
“Gak apa. Enggak ada larangan atau batasan tinggi badan kok, jadi kita tetap bisa satu ekskul.” Tegar bergabung dalam pembicaraan Fahri dan Salman.
“Tapi tujuan utama gue masuk OSIS!” Sekali lagi Salman bicara dengan suara cukup keras juga memberi ketegasan dalam kalimatnya. Riuh suasana sekitar mengharuskannya meninggikan volume suara.
“Iya paham,” Fahri meraih pundak temannya, sedikit menunduk untuk bicara lebih dekat agar terdengar jelas. Karena sorakan dan tepuk tangan masih susul-menyusul. “OSIS dan juga ekskul Paskibra. Oke?”
Tegar tersenyum senang melihat semangat kedua temannya, tujuannya pun sama dengan mereka yaitu masuk OSIS dan juga Paskibra.
“OSIS?” Target yang besar sebagai tujuan pikir Deby ketika mendengar kata OSIS. “Tidak sembarang orang bisa menjadi OSIS dan―”
“De, Deby kamu dengar aku ‘kan?” Panggil Ami.
“Ya? Sorry?” Deby sama sekali tidak mendengar Ami bicara apa padanya. Ia terlalu larut dalam menguping pembicaraan orang di sebelahnya.
“Kamu mikirin apa?” Ami melambaikan tangan di wajah Deby, memastikan kesadaran temannya sudah kembali. “Aku bilang, aku udah putusin buat ikut Paskibra. Kamu?”
Deby tidak tahu harus memberi jawaban apa. “Eum...” Ia sama sekali belum memutuskan.
“Paskibra juga ya, kita bisa sama-sama. Ya-ya?” Deby hanya bisa menanggapi permintaan Ami dengan senyuman canggung karena masih belum bisa menentukan pilihan. Andai sekolah punya ekskul atau club yang sesuai dengan minatnya, seperti comic cafe, perkumpulan gemar membaca manga dan sejenisnya. Sayang itu hanya impian yang muskil. Pada akhirnya Deby bergabung dengan ekskul Paskibra karena diseret rekan sebangkunya, Ami.
Dari sekitar 300 orang siswa baru, lebih dari 120 orang diantaranya bergabung dengan ekskul paskibra. Sesuai dugaan dari reaksi hangat yang mereka terima saat demo, penampilan mereka dengan formasi baris-berbaris berhasil menarik perhatian dan merekrut paling banyak anggota baru.
Beberapa wajah teman sekelas dapat Deby temukan di sana tapi teman dekat dan akrab baginya tetap hanya Ami seorang, untuk saat ini. Deby cenderung memiliki karakter pendiam dan pasif, butuh waktu lama untuknya bersikap biasa dan nyaman dengan teman sekelas.
“Apa masih lama selesai?” Deby mulai tidak sabar menunggu pertemuan ekskul berakhir. Mereka hanya dikumpulkan dalam ruangan tanpa melakukan aktivitas spesifik, menunggu giliran untuk mendaftarkan diri dalam ekskul. Anak-anak lain memang merasa antusias bersosialisasi mengakrabkan diri. Penuh suara obrolan terdengar di mana-mana, suasana tampak ceria. Tapi Deby tidak merasa seantusias yang lain.
“Kenapa? Udah ada rencana lain? Harus cepat pulang ke rumah?” Ami merasa sedikit bersalah karena pertemuan ekskul berjalan lebih lama dari perkiraan. Antusias dan minat yang tinggi dari anggota baru membuat kakak senior cukup kewalahan mengatur dan mengorganisir pertemuan perdana itu. Sampai kakak senior harus menggunakan tiga ruang kelas untuk menampung siswa baru yang ingin mendaftarkan diri.
“Enggak juga, tapi gue mau mampir ke manga cafe tadinya.” Wajah Deby terlihat kecewa karena hari tidak berjalan sesuai rencana. Apa boleh buat, karena peraturan mengikuti kegiatan ekskul adalah wajib dari sekolah.
“Oalah... Kirain apa!” Ami sudah cemas tanpa alasan. “Eh, bukan kemarin udah ke sana sewa?” Ami masih ingat betul itu yang Deby katakan ketika menolak ajakan berkunjung ke rumahnya.
Deby tersenyum menampakkan jajaran giginya. “Iya, udah selesai gue baca! Hari ini mau kembaliin terus pinjam lagi. Ehehe...”
Ami hanya bisa berdecak heran, mencoba memahami sahabatnya yang mana ditarap ini sudah tidak bisa disembuhkan lagi tingkat kegilaannya pada hobi pribadi. Kalau boleh diceritakan dari pada bergaul dengan anak lain, Deby lebih nyaman dan memilih menyendiri di sudut ruang kelas membaca manga. Buku bacaan komiknya beratus kali lipat dari jumlah buku pelajaran sekolah. Ketekunan minat membaca itu tidak diragukan lagi, sayangnya hanya sebatas bacaan hiburan.
Saat dirinya sedang terobsesi pada suatu cerita, Deby tidak segan membaca manga ditengah pelajaran kelas berlangsung. Dengan berbagai cara menyiasati perhatian guru agar tidak tertangkap. Manga tidak pernah tertinggal dalam tas sekolah yang selalu dibawanya. Sebagai teman, Ami berpandangan selama Deby tidak merugikan orang lain dengan hobinya maka itu adalah kebebasannya.
“Kalau manga club atau perkumpulan gemar membaca manga ada, kamu pasti yang menjadi ketua De.” Tutur Ami amat yakin.
“Jelas dong! Udah pasti...” Deby dengan senang hati meladeni candaan Ami. Beruntungnya Deby masih memiliki Ami di sana. Kalau tidak, entah dengan siapa Deby harus bicara mengikis waktu.
***bersambung