8. Kamu sangat menarik.

1749 Kata
Lania berkali-kali menghembuskan napasnya dengan kasar. Pasrah akan tingkah Vino yang mungkin tidak akan bisa ia hadapi lagi kedepannya. Ia memang tidak punya pilihan lain, pada dasarnya Vino memanglah suaminya, apa pun yang Vino lakukan sejak awal Lania ada di pihak yang kalah. Ia tidak akan bisa melawan Vino dengan benar, karena hati Lania sendiri yang tak sanggup untuk melakukan hal tersebut. Sambil menghela napasnya dan hati yang sudah mulai kembali tertata, Lania pun mencoba mengalihkan pembicaraan. "Hmm.. Mana tadi daftar titipannya?" Lania langsung mengulurkan tangannya pada Vino, meminta secarik kertas catatan yang telah Vino simpan. Catatan yang berisikan daftar makanan dan minuman titipan rekan panitia lainnya pada Vino. Vino tak menghiraukan Lania. Dia sudah merasakan kemenangannya, kali ini giliran dirinya untuk membalas mengabaikan Lania. Vino pun langsung menuju bibi pelayan kantin dan membacakan titipan rekan panitia yang ada padanya. "Aku mau roti abon dan sekaleng kopi ya, Bi!" seru Lania menyerobot. Saat Vino belum lagi usai membacakan pesanan sambil menyusunnya di atas meja kantin tersebut. Sang bibi pelayan yang sedari tadi membantu Vino mencari roti titipan itupun terlihat agak kebingungan. "Ummm.. Coba saya cari lagi ya," ucap bibi tersebut mencoba mencari roti abon yang mungkin masih tersisa persediannya. "Wah, roti abonnya habis nih, sepertinya itu stok yang terakhir, deh," lanjut sang bibi kantin sambil menunjuk pada setumpuk roti yang disusun oleh Vino sedari tadi. Tidak heran kantin kantor mereka kehabisan stok. Ini sudah jam malam dan sebentar lagi kantin tersebut juga akan tutup. Mereka bisa saja mencari toko lain. Namun, akan memakan banyak waktu dan kantin kantor mereka memang salah satu tempat terdekat dan ternyaman untuk sekadar membeli camilan. Akan tetapi, mengetahui Lania mengerutkan keningnya, hidungnya bahkan mengempis dan bibirnya mengkerut kecil. Ia diam untuk beberapa detik. Ekspresi Lania Itu tampak sangat lucu di mata Vino. Lania memanglah sangat ekspresif sehingga Vino sangat menikmati setiap ekspresi yang dibuat Lania setiap kali ia berhasil menggodanya. "Ah, istriku memang tidak pernah mengecewakan!" pikir Vino yang menikmati segala ekspresi bingung yang Lania tunjukkan. Lania tampak berpikir sangat keras. Ia masih tidak ingin menyerah untuk roti abon yang sangat ia inginkan tersebut. Ada sesuatu yang ganjil yang Lania dapatkan dari hasil renungannya itu. "Mana sini lihat catatannya?" Lania langsung merampas kertas yang sedari tadi dipegang oleh Vino. "Kopi 7 kaleng, s**u coklat 2 kotak, air mineral 1 botol. Umm... roti coklat 3, roti rasa nanas 2, rasa vanila 1, dan roti abon 4." Rania membaca ulang daftar menu tersebut. Sambil sesekali melirik kearah roti dan menggaruk kepalanya yang sejatinya tidak gatal. "Hah, 4 roti abon. Ini empat loh, Vino. Itu rotinya, kan ada 5," ungkap Lania sambil menunjuk pada tumpukkan roti abon tersebut yang seharusnya sudah lebih satu dari yang diminta oleh rekan kerja lainnya. Artinya, Lania sebenarnya memiliki jatah untuk mendapatkan roti abon tersebut. Untuk meyakinkan kembali bahwa Lania memang memiliki jatah untuk roti abon tersebut. Ia pun berinisiatif untuk menghitung kembali dengan benar, berapa orang yang menjadi panitia dalam kegiatan mereka. "Tunggu dulu, aku hitung deh. Kita ada berapa orang ya, semuanya?" Lania berpikir keras karena sangat menginginkan roti abon tersebut. Perlahan ia pun menghitung menggunakan jari-jarinya yang mungil tersebut. "Jika di tambah dengan kita berdua totalnya 12 orang Lania dan yang ada di catatan itu memang 4 roti abon." Vino memotong di sela-sela renungan Rania yang masih menghitung dengan jarinya itu. "Tapi, itu roti abonnya ada 5, kan. Berarti aku juga kebagian, dong.. Yeeee!!" Lania tersenyum cerah dan berteriak. Merebut roti abon yang ada di tangan Vino dan memeluk roti tersebut dengan sangat erat. Lania sudah girang karena mengira dia juga mendapatkan jatah roti abon tersebut. Bak mendapatkan hadiah utama dari sebuah undian. Vino yang melihat Lania kegirangan pun tersenyum dengan licik. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Lania yang masih kegirangan. "Roti abon yang ke lima ini, tentu saja untukku." Vino berbisik seraya merebut kembali roti tersebut dari genggaman Lania. Lania terdiam mematung. Ia masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Tak lama, mata Lania mulai melotot, pipinya memerah dan wajahnya terlihat kesal. "Haah!! Punyamu??" teriak Lania lantang. "Iya, ini punyaku. Kamu pilih roti yang lain sana!" Vino tersenyum nakal seraya menunjuk rak makanan di kantin tersebut. Berharap Lania dengan sukarela untuk memilih roti dengan rasa yang lainnya dan menyerah dengan roti isi abon yang kini sudah ia rebut. "Kamu saja yang memilih rasa lain Vino," ujar Lania sambil cemberut. Ia masih tidak menyerah dengan roti abon yang ada pada genggaman Vino. "Tidak mau, ah.. Siapa cepat dia yang dapat, Lania," tegas Vino yang tak ingin mengalah itu. "Roti itu untukku saja." "Ya.. ya.. ya.. Aku sangat menyukainya. Aku ingin memakan roti itu, Vino." Lania tidak berhenti merengek pada Vino. "Kamu ini, ya!" Vino terlihat tersenyum lembut seolah ia akan mengalah. Namun pada akhirnya Vino menggelengkan kepalanya. Melihat hal itu, Lania berpikir jika ia masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan rotinya. Ia kemudian menatap Vino semakin dalam. Ia pun berharap kali ini, Vino akan mengalah padanya dan memberikan roti tersebut untuknya. Tapi, apa yang bisa ia harap dari Vino. Vino mana mungkin mau mengalah padanya. "Justru karena kamu menyukainya aku jadi lebih menginginkan roti ini." Vino mengacungkan roti abon itu sambil tersenyum puas. Tidak seperti harapan Lania. Vino justru mempermainkan Lania dengan teganya. Ia tersenyum puas. Sementara Lania harus menelan kekesalannya. Lania tahu ia sedang di permainkan oleh Vino. Ia sudah cukup kesal karena kejadian sebelumnya, sehingga dia tidak punya cukup tenaga lagi untuk menanggapi godaan Vino kali ini. "Bisa-bisanya aku yang ikut membelikan roti ini justru tidak bisa mendapatkan roti yang aku mau!" gerutu Lania yang akhirnya mengabaikan Vino. Menyerah akan roti yang telah Vino rebut. Ternyata omelan Lania juga tidak berhenti begitu saja. Perasaan hampa yang ia rasakan sudah membuatnya terus teringat akan roti abon yang sangat ia sukai itu. "Peraturan dari mana, sih! mendahulukan pesanan orang lain dari pada aku yang rela pergi membelinya secara langsung?" Akhirnya meski Lania tak henti menggerutu ia pun mulai memilah roti yang sekiranya masih mau untuk dia makan, dari pada ia harus kelaparan tanpa sepotong roti pun. Walau sejujurnya, ia cukup kesal karena sejatinya dialah yang jauh-jauh datang ke kantin dan bukan mereka yang seenaknya menitip makanan. Tapi, dia pula yang harus mengalah demi mendapatkan makanan sesuai dengan pesanan rekan lainnya. Melihat Lania yang tidak menghiraukan ucapannya dan langsung memilih roti lainnya, Vino merasa sedikit kecewa. Kali ini Lania bertindak tidak sesuai dengan harapannya. Ia pun memutar otaknya untuk kembali menggoda Lania. Mencari keributan lain yang sekiranya akan membuat Lania kembali memerhatikan dirinya. Intinya di kesempatan kali ini Vino sangat ingin Lania benar-benar kesal. Ia pun seketika tersenyum lebar saat mendapati sedikit ide konyol untuk menggoda Lania. "Tapi, jika sayangku mau, aku akan berikan roti ini untukmu sayang!" Vino berbisik halus dari belakang telinga Lania. Menghembuskan napas hangatnya yang lembut, hembusan yang menggelitik daun telinga Lania. Lania tersentak kaget mendengar bisikan Vino dan tiupan napasnya yang berhembus perlahan di belakang telinga Lania. Hembusan lembut itu sontak membuat Lania bergidik. "Aaaa..." Lania langsung memegang telinganya dan menatap Vino dengan wajah yang sudah memerah. Ia langsung berlari mengambil sembarang roti di rak makanan tersebut tanpa melihat lagi rasa apa roti tersebut. "Bibi, nanti orang itu yang membayarnya," teriak Lania yang sudah di depan pintu sambil menunjuk Vino. Vino berusaha keras menahan tawanya. Ekspresi Lania sangat lucu saat itu. Ia sangat ingin tertawa setelah melihat Lania dan bahagia setelah cara yang ia gunakan itu ternyata berhasil. "Ah, syukurlah kantin tidak terlalu ramai," benak Vino yang setidaknya masih bisa menjaga wibawanya yang sudah tertawa lebar secara sembarangan tersebut. Vino akhirnya selesai membayar seluruh belanjaan dan hendak kembali menuju ruang rapat. Namun, di depan kantin Vino pun langsung melirik kesana-kemari mencari sosok Lania yang tadi kabur begitu saja meninggalkan Vino di kantin tanpa benar-benar berpamitan yang kemudian Vino yakini jika saat ini Lania mungkin sudah ada di ruang rapat terlebih dahulu jika dibandingkan dengan dirinya. "Ah.. mungkin dia sudah berlari dan tiba di ruang rapat terlebih dahulu," pikir Vino yang tak melihat sosok Lania lagi di sekitar kantin. Tak ingin membuang waktu lagi, Vino berjalan perlahan menenteng plastik makanan. Ia kembali mengingat ekspresi Lania tadi dan segaris senyum terjuntai dari bibirnya tepat saat kenangan kecil itu berhasil menyusup di dalam pikirannya. "Bisa juga ternyata wajah itu tersipu malu seperti itu. Kalau saja tadi bukan di tempat umum pasti sudah aku ... ...." Vino menghentikan perkataannya ia pun tiba-tiba berhenti berjalan. Ia sendiri tak percaya dengan apa yang dipikirkannya saat itu. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan. Wajahnya memerah dan tersipu malu. deg ... deg ... deg ... Jantung Vino berdetak lebih cepat. Ia sendiri bingung dengan apa yang ia rasakan saat ini. Perasaan baru yang sangat asing, sebuah perasaan yang tak pernah bisa ia jabarkan. Jujur saja, Vino memang sering mengganggu Lania. Tapi dia semakin menikmati menggoda Lania karena mereka sudah resmi menikah. Vino merasa dengan statusnya sebagai seorang suami membuatnya bisa dengan leluasa melakukan apapun pada Lania termasuk menggodanya. Perlahan menggoda Lania menjadi kebiasaan bagi Vino. Ia selalu puas dengan ekspresi yang dibuat Lania setiap kali sukses mengganggunya. Akan tetapi pikiran nakal Vino barusan sontak membuat dirinya sendiri terkaget. Belum lagi bayangan saat Lania mengatakan jika semalam ia tidur tidak menggenakan pakaian bagian dalam yang membuatnya terngiang dengan kejadian itu begitu saja. "Siaaaal! kenapa isi otakku kotor sekali!" umpat Vino pada dirinya sendiri. "Lania Narifa Anandari" Vino mengucapkan nama Lania dengan sangat lembut. "Semuanya menarik. Kamu sangat menarik," ujar Vino mengingat semua kenangannya bersama dengan Lania. Vino sedari awal sangat tertarik dengan Lania. Berbeda dengan wanita lain yang mendekatinya Lania tidak pernah membuatnya bosan. Lania juga selalu memenuhi harapannya dan yang membuat berbeda lagi, dari Lania Vino sama sekali tidak merasakan sebuah niatan lain saat Lania dekat dengan dirinya. Berbeda dengan banyak orang yang kerap mendekat pada Vino hanya karena statusnya atau ketampanannya. Lania benar-benar tulus berada di sisi Vino. "Ffftt... ffftt... tidak! Dia tidak tulus!" Kekeh tawa pun muncul begitu saja dari Vino. Ia kemudian sadar jika mungkin ketulusan yang Lania miliki itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk sang kakek yang selalu memanjakan Lania. "Mungkin malah aku tak terlihat di matanya!" "Bisa saja, Lania sama sekali tidak peduli padaku!" Meski pun terdengar sangat menyedihkan namun hal tersebut sungguh membuat Vino terkekeh geli. Membuktikan sekali lagi, jika Lania sama sekali tidak memiliki motif atau niatan lain saat dekat dengan dirinya. Menyatakan jika Lania memang benar-benar berbeda dari wanita lainnya. Hingga akhirnya Vino pun bertekad penuh untuk tidak akan pernah melepaskan Lania. Apapun yang akan terjadi nantinya. "Aku benar-benar tidak akan melepaskan kamu, Lania!" gumam Vino sambil tersenyum menatap roti abon yang ada di dalam kantung bawaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN