1. Tante Siska
Rasanya baru saja mataku terpejam. Namun, ponselku tak berhenti bergetar seakan ingin mengusik lelapku. Aku mengutuki diri yang lupa menonaktifkan benda pipih itu.
Masih dengan mata setengah tertutup, aku meraba pucuk nakas di sebelah kanan. Dapat. Smartphone hitam berlambang apel tergigit, sudah dalam genggaman. Sedikit memicingkan mata, kuintip siapa seseorang yang berani mengusik tidurku.
Tante Siska. Wanita berkepala empat yang menghadiahi ponsel ini sebagai kado ulang tahunku tahun lalu. Bagaimana bisa aku mengabaikan panggilannya. Dia sangat royal dan selalu menuruti keinginanku.
"Pagi, Tan." Kujawab panggilan teleponnya dengan suara yang serak.
"Kamu baru bangun, Ndra?"
"Lebih tepatnya baru mau tidur, Tante." Aku bergerak sedikit. Bangkit. Menyandarkan punggung di sandaran tempat tidur.
"Duh, maafin Tante, ya ... habis, Tante udah gak sabaran mau ngasih tau kamu. Suami Tante bakal pergi keluar kota selama dua minggu," ujar Tante Siska terdengar riang dari panggilan telepon.
"Waw, asyik, dong, Tante." Nada bicaraku, kubuat seantusias mungkin. Biar dia senang dan bakal memberiku hadiah yang lebih banyak lagi.
"Makanya ... nanti kamu ikut Tante ke villa Puncak, ya. Temen-temen Tante juga bawa brondong masing-masing." Nada suara Tante Siska manja menggoda.
"Tante atur aja ... apa, sih, yang gak buat Tante."
"Kamu memang the best, Andra."
Terdengar suara gemericik air dari panggilan teleponnya.
"Tante lagi apa, sih?"
"Mandi. Kamu mau lihat?"
Tanpa sadar jakunku bergerak naik-turun. Meski Tante Siska tak lagi muda, dia pintar merawat kulit, badan, dan aset yang dia miliki. Dengan tinggi badan imut 155cm, tetapi dadanya kenyal membusung. Berukuran 38B.
Body gitar Spanyol dibalut kulit putih terawat yang sering tersentuh lulur dan mandi s**u.
Belum sempat aku menjawab, panggilan berubah. Tante Siska baru saja mengubahnya menjadi panggilan video. Lekas kugeser layar ponsel ke atas.
Pemandangan syur di depan mata. Tante Siska polos seperti bayi yang baru lahir ke dunia, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh sintalnya. Aku ketar-ketir melihatnya. Wanita itu sengaja meremas sepasang gunung kembar sembari menghadap ke kamera.
"Kamu gak kangen apa, Ndra, sama mereka berdua ini?" Tante Siska memilin tonjolan kecil yang terlihat mengeras. Bibirnya terbuka. Menikmati setiap sentuhannya sendiri.
Dadaku berdesir. Seperti ada sesuatu yang menjalar di tubuh. Membuat kejantananku terpancing. Benar saja. Milikku menegang. Mengeras seperti ingin keluar dari himpitan celana jeans ketat yang kukenakan.
"Tante jahat, ih. Lihat ini!" Kuarahkan kamera ke barang pribadiku yang menjadi perkasa. Dua detik yang lalu aku sudah membebaskannya dari cekikan resleting.
"Tante bantu, ya. Biar abis ini kamu bisa tidur nyenyak."
Aku mengangguk. Tanganku mulai memilin kepalaku yang lain. Tatapanku tak lepas dari Tante Siska yang semakin menggoda.
Lidah Tante Siska terjulur. Kudukku meremang. Sentuhan lidah itu masih membekas dan tertinggal dalam memori. Meliuk, basah, dan hangatnya Tante Siska.
Aku mempercepat gerak jari. "Tante, aku keluarin sekarang, ya, di mulut Tante?"
"Tentu, Ndra. Ayo ... hmmpf. Ah ...." Dua detik kemudian tubuhku menegang. Cairan hangat mengalir di sela-sela jari. Kuraih tisue lalu membersihkan semuanya.
Ponsel kuletakkan di atas nakas tanpa mematikan panggilan. Sehabis membersihkan diri dengan air, kukenakan saja celana boxer dan kembali rebah.
Kuambil kembali ponsel dan melihat Tante Siska sudah selesai mandi. "Bagaimana?" tanyanya.
"Aku udah ngantuk berat. Aku tidur dulu, ya, Tante. Nanti kalo bangun, aku langsung chat Tante."
"Baiklah, Sayang. Semoga mimpi indah. Muach ...!"
Panggilan terputus. Tak lupa aku mematikan ponsel agar tak ada seorang pun yang akan mengganggu tidurku lagi. Kubiarkan benda itu tergeletak di dekat bantal. Tak membuang waktu, aku terpejam dan melanjutkan tidur. Mengistirahatkan tubuh lelah yang seharian terjamah tangan-tangan wanita yang haus kasih sayang laki-laki muda seperti aku.
***
Aku terbangun di jam empat sore dengan kepala pusing dan perut yang keroncongan. Bangkit dan berjalan tertatih aku menuju kamar mandi. Mungkin jika kepalaku terguyur air dingin, rasa pusingnya akan hilang. Kuputuskan untuk mandi dan sikat gigi. Benar saja, rasa berdenyut di kepala agak berkurang.
Mengeringkan rambut dengan handuk, kubuka lemari baju dua pintu. Memilih baju kaos dan celana jeans secara asal dan memakainya. Tak lupa jam tangan mahal yang dihadiahkan Tante Silvi dua bulan lalu, menghiasi pergelangan tangan kiriku.
Aku akan mengisi perut di rumah makan cepat saji yang berada tepat di seberang apartemen ini. Turun dengan menggunakan lift, aku hanya berjalan kaki saja hingga tiba di sana.
Kupandangi wajah baru yang tak pernah kulihat. Seorang gadis bernama Anna—aku mengetahui namanya dari name tag yang dia kenakan. Wajahnya manis. Kulitnya putih. Alisnya terukir alami tanpa pensil. Hitam pekat senada dengan warna rambutnya.
"Selamat sore, mau pesan apa, Kak?" Suaranya lembut. Namun tiap kata yang diucap jelas terdengar.
"Saya pesan paket combo satu, satu paket." Aku agak gugup dipandangi terus-terusan oleh matanya yang bening.
"Baik. Paket combo satu. Ada tambahan lain lagi, Kak?"
"Enggak." Aku menggeleng cepat. Setelah Anna menyebutkan sejumlah harga dan aku membayarnya, kuraih satu nampan pesananku. Mengambil tempat paling sudut.
Aku makan dengan lahap sebab perutku sudah lapar sekali. Saat hendak berjalan ke tempat cuci tangan yang disediakan, mataku dan gadis itu bersirobok. Namun, Anna bergegas mengalihkan pandang.
Aku tersenyum tipis saat menggosok kedua jemari tangan. Mendapati fakta bahwa gadis itu sedang memperhatikan gerak-gerikku.
Mungkin dia bisa dijadikan selingan. Sedikit bosan karena hidupku selama ini hanya dikelilingi wanita-wanita haus seks dan tidak perawan.
Sebelum berjalan keluar, kutolehkan sekali lagi kepala ke arah Anna. Benar saja gadis itu sedang memandangiku. Aku tak ingin membuang kesempatan. Kukedipkan sebelah mata ke arahnya. Dia terlihat tersentak dan melongo. Lalu menunduk buru-buru.
Aku tergelak. Yes! Dia sudah masuk ke dalam perangkapku. Siapa yang bisa menolak pesona Don Juan seperti aku. Setiap gadis yang kupandang, pasti salah tingkah dan bergerak-gerak risih malu-malu.
Dianugerahi wajah tampan, hidung mancung dan bibir merah alami, kata sebagian tante-tante yang menggunakkan jasaku, wajahku mirip Lee Min Hoo. Aktor Korea Selatan yang digandrungi kebanyakan wanita di belahan dunia mana pun.
Ya. Aku adalah seorang simpanan. Karena himpitan hidup yang berat, aku menjalani hidup seperti ini.
Aku berpredikat yatim piatu saat sepasang suami istri mengadopsiku dari panti asuhan. Kasih sayang dan semua kebutuhan tercukupi oleh mereka. Namun, setelah sang istri mengandung dan mendapat anak hasil sendiri, sikap mereka berubah.
Aku layaknya pembantu hingga usia tujuh belas. Selesai tamat SMA dan punya KTP sendiri, aku kabur dari rumah. Bermodalkan wajah rupawan, aku gampang saja mendapat pekerjaan menjadi SPG sebuah produk barang-barang terkenal.
Namun, gaji yang kudapat tidak cukup untuk menutupi segala kebutuhan sehari-hari. Hingga suatu hari aku bertemu dengan Tante Siska. Kami bertemu di sebuah club di kota Jakarta. Untuk pertama kalinya aku bermabuk-mabukan karena tak kuat lagi menanggung segala nestapa.
Dalam keadaan setengah sadar, dia membawaku ke rumahnya. Dalam keadaan setengah sadar pula, dia menjamah dan bergoyang di atas tubuhku yang lunglai tak berdaya.
Namun, aku bisa merasakan nikmat tiada tara yang selama ini hanya dalam khayalanku saja. Semenjak itu Tante Siska menyuruhku untuk berhenti bekerja. Dia akan memenuhi segala kebutuhanku. Baik apartemen, pakaian, dan beberapa ATM yang tak pernah kosong saldonya.
***