"Kamu masih ingat saya?" ujar pria yang didepannya terpampang nama Dalian Zarkris yang membuat Ayana makin panik.
"Maaf, memangnya kita pernah bertemu pak?" tanya Ayana mencoba mencari cara agar tidak mendapat masalah.
Lian mengusap dagunya dengan tampang berpikir menatap Ayana yang seolah mengelakkan pandangan dari dirinya, "benarkah? Apa kamu lupa? Ayo maju, mungkin kamu tidak melihat wajah saya dengan jelas,"
Ayana meringis sendiri sambil menggigit bibir bawahnya, "aish, maunya apa sih?!"
"Ayo, kenapa berdiri jauh sekali??" Lian kembali bersuara yang otomatis membuat Ayana mau tak mau harus melangkah lebih dekat kearah pria yang tengah bersandar di kursi miliknya dengan begitu nyamannya.
"Tadi pagi untuk pertama kalinya saya harus menggeser-geser motor karyawan saya sendiri, wah...., bukankah itu luar biasa?" Lian tertawa sendiri yang membuat Ayana makin panas dingin.
"Wah, bapak bos yang luar biasa ya," Ayana ikut tertawa garing menutupi rasa kikuknya.
"Bukankah karena kamu? Bukannya kamu yang berani menyuruh-nyuruh saya?"
Dan disinilah puncak kecemasan Ayana, "hah? Kapan? Saya saja baru bertemu bapak pertama kali," elak Ayana walaupun terdengar bodoh.
"Hm..., benarkah?"
"Aaahhh! Mungkin bapak ketemu kembaran saya, wah dia emang suka cari gara-gara, nanti deh pak saya bilangin dia," sebuah ide cemerlang hadir dibenak Ayana.
"Kembaran??"
Ayana mengangguk yakin dengan wajah pura-pura kagetnya itu.
"Anak ke-3 dari tiga bersaudara, memiliki satu kakak perempuan dan kakak laki-laki, dari data ini tampaknya kamu tidak memiliki kembaran," ujar Lian membaca isi map yang tadi diberikan Ayana.
Ayana beku seketika, dia seolah tengah mempermalukan dirinya sendiri. Ayana tak sanggup lagi untuk buka mulut, "sial sial sial!!! "
"Maaf pak," akhirnya hanya kata itulah yang bisa keluar dari mulut Ayana, untuk saat ini ia tak peduli lagi perihal kemungkinan dirinya dapat diterima bekerja di perusahaan ini.
Lian tertawa melihat ekspresi panik dan takut Ayana, "kamu mau bekerja disini bukan?"
"Tapi kalau gak jadi ya gak masalah pak," timpal Ayana putus asa.
"Ayolah, bukankah kamu punya prestasi kerja yang luar biasa dan kamu juga perlu pekerjaan untuk bertahan hidup bukan?"
Ayana melirik wajah Lian yang tampak tersenyum sombong sekaligus merendahkan, sial! Ia benar-benar benci dengan tipikal bos seperti ini.
"Silahkan duduk, saya yang akan mewawancara kamu langsung," Lian mengisyaratkan Ayana untuk duduk di kursi dihadapannya.
"Gak usah pak, sepertinya saya tidak jadi melamar kerja disini. Saya izin keluar,"
"Saya pastikan tidak ada satupun tempat yang mau menerima kamu bekerja jika kamu tak menuruti ucapan saya untuk disini," ucapan Lian berhasil menghentikan langkah Ayana yang tadinya sudah berbalik.
Ayana menatap Lian dengan tampang tak percaya, "maksud bapak apa? Saya kehilangan niat saya untuk bekerja disini, lalu apa hak bapak melarang saya?"
"Entahlah, saya hanya ingin, lagian jika tidak percaya, kamu bisa buktikan kalau ucapan saya benar adanya," Lian menopang dagu sambil memainkan pena ditangannya.
Sempurna, Lian benar-benar membuat Ayana yakin jika dia adalah tipikal bos yang paling ingin Ayana musnahkan dari atas dunia ini.Ayana menghembuskan nafasnya kasar, dia tak ingin menghancurkan hidupnya hanya karena tidak bisa menahan diri untuk tidak berlari kearah Lian dan menjambak pria itu.Dengan kesabaran yang luar biasa Ayana berjalan mendekat dan duduk tepat dihadapan Lian yang membuat Lian tersenyum menang.
"Baiklah, mari kita mulai," Lian menepikan seluruh barang yang ada diatas meja sehingga tangannya bisa bebas bergerak diatas meja yang ada antara dirinya dan Ayana.
"Saya penasaran, kenapa kamu bisa keluar dari tempat kerja kamu sebelumnya padahal kabarnya prestasi kamu lumayan disana,"
Ayana memutar bola matanya malas, "bapak mau jawaban pencitraan atau jujur?"
"Jujur tentu lebih baik,"
"Saya berantem sama atasan saya, dia itu kerjanya cuma pencitraan doang, kerjanya gak seberapa, dan gayanya itu sok kuasa banget. Ditambah lagi saya gak suka rekan saya yang kerjanya di kantor cuma pacaran doang," dan Ayana bercerita dengan emosi yang meluap-luap, lagipula ia tidak peduli mengenai sopan santun dihadapan Lian. Ia tak berharap bisa bekerja di kantor ini.
Lian mengangguk paham mendengar penuturan Ayana, "kamu tidak suka dengan atasan sok kuasa?"
"Walaupun mereka memang punya kuasa, tapi tak seharusnya mereka bisa berlaku seenaknya kan!? Orang juga punya hidup, jangan seenaknya aja ikut campur!"
"Kamu lagi mengatai saya?" tanya Lian karena Ayana bicara penuh amarah padanya.
"Syukurlah kalau bapak merasa," timpal Ayana cuek.
Lian tertawa miring, "apa kamu punya pacar?"
Dahi Ayana berkerut heran karena pertanyaan yang muncul sama sekali tidak masuk akal untuk ada disaat seperti ini, "tidak,"
Lian tertawa dengan nada meledek, "pantas kamu kesal dengan rekan kerja kamu, kamu nggak tahu asiknya pacaran di kantor,"
Ayana tersedak ludahnya sendiri mendengar penuturan Lian, "jadi bapak seneng kalau liat karyawan bapakseperti itu!?"
Lagi-lagi Lian tertawa sambil bersender santai dikursinya, "saya tentu tidak menyukai jika ada karyawan saya yang demikian, tapi saya pribadi mengakui jika kantor merupakan salah satu tempat yang menyenangkan dengan pasangan,"
Ayana bergidik ngeri mengetahui pemikiran Lian yang tentu makin membuat rasa bencinya makin besar pada pria itu.
"Kenapa kamu berekspresi demikian? Apakah kamu belum pernah merasakannya? Aahh, kamu pasti hanya sibuk bekerja tanpa pernah memikirkan pasangan bukan?"
Darah Ayana rasanya mendidih mendengar Lian yang tampak terus merendahkannya, "bapak jangan asal bicara, saya juga pernah punya pacar dan kami bisa bersifat professional, mungkin dia bukan orang seperti bapak,"
"Oh ya? Apakah ada pria yang demikian??"
"Tentu, saya tidak akan menerima dia sebagai kekasih saya jika dia bukan orang baik, jangan pernah berpikir jika semua orang itu sama," Ayana mulai tak bisa menahan emosinya berhadapan dengan Lian.
"Pria baik? Lalu jika memang dia sebaik itu kenapa sekarang kamu tak lagi bersamanya?"
Ayana diam, dia benci saat ia harus kembali teringat perihal Randy, hatinya sakit, sedangkan Lian tengah tersenyum menang melihat Ayana yang tak bisa menjawab ucapannya.
Ayana menatap Lian dengan tatapan penuh kebencian, "mau bapak sebenarnya apa? Saya tidak ingin berlama-lama disini hanya untuk meladeni kegilaan bapak,"
"Saya hanya ingin bermain,"
"Maaf pak, saya tak bisa meladeni permainan bapak lebih jauh lagi," Ayana langsung berdiri dan pergi begitu saja tanpa peduli apa lagi ancaman yang akan diberikan Lian padanya.
"Datang lagi lusa, kamu sudah bisa bekerja," ujar Lian sebelum Ayana meninggalkan ruangannya.
Ayana menghentikan langkahnya dan menatap Lian malas, "bagaimana jika saya tidak ingin?"
"Kamu ingat ucapan saya tadi kan? Lagipula kamu tahu sendiri gaji disini lumayan besar, jangan sia-siakan kesempatan ini,"
Ayana terdiam, berbagai hal kini tengah berputar-putar didalam benaknya.
"Silakan keluar, setelah ini saya ada urusan penting,"
***
Ayana yang tengah asik menonton dikagetkan dengan Gea yang masuk tiba-tiba tanpa basa-basi terlebih dahulu dan kini telah ikut duduk disampingnya, "gak baca salam atau ketuk pintu dulu, main masuk aja, kebiasaan banget nih bocah!" ujar Ayana sambil menjewer daun telinga Gea yang akan meraih makanan di atas meja.
"Aduh!! Ih Ayana, palingan kamu juga nungguin aku dari tadi," Gea berusaha melepaskan tangan Ayana dari telinganya lalu mengusap-usapnya sekilas.
"Iuh, kepedean banget!"
"Kamu udah siap-siap buat kerja besok kan?"
"Siapa bilang aku mau kerja disana?"
Mata Gea membesar sambil memperbaiki posisi duduknya menatap Ayana, "udah diterima juga, ngapain gak mau sih!?"
"Aku gak suka banget sama bos kamu itu, aku yakin dia cuma mau mempermainkanku,"
"Tapi kamu sendirikan yang bilang kalau dia ngancam kamu? Gak takut apa??"
Ayana memutar bola matanya malas, "peduli apa??"
"Wah wah!! Kamu sih gak tahu Pak Lian, kata-katanya gak pernah main-main, hidup kamu beneran bisa hancur kalau cari lawan sama dia, untung dia ganteng,"
"Serius Ge??" Ayana kini mulai penasaran dengan kebenaran ucapan Gea.
Gea menghela napas panjang, "udah banyak kok contohnya, intinya kalau kamu udah kerja disana, jangan cari masalah lagi, berlaku baik-baik aja, dia pasti gak bakalan ingat buat gangguin kamu,"
"Kamu yakin??"
Gea mengangguk yakin, "lagian baru digituin aja kamu udah ngalah, kemana Ayana si pemberani selama ini??"
"Ini bukan masalah beraninya! Tapi aku udah bertekad untuk berubah, aku pengen jadi lebih kalem dan gak cari lawan lagi,"
Gea tertawa mendengar penuturan Ayana, "hahaha, tobat nih ceritanya?? Udah lelah jadi pemberontak dan pembela kebenaran??"
Ayana memanyunkan bibirnya dengan wajah malas, "hidupku jadi ribet, persetanlah dengan tingkah buruk orang, aku gak bakal peduli lagi!"
"Eh, loh kok ini wallpaper ponsel kamu masih ada Randy sih?" Gea kaget saat meraih ponsel milik Ayana dan hendak memainkannya.
"Emang kenapa?" jawab Ayana enteng memperhatikan televisi dihadapannya.
"Sumpah heran banget aku sama kamu, kalau aku jadi kamu udah benci banget sama dia yang mutusin tanpa ada alasan yang jelas begitu, gak ingat apa waktu dia mutusin kamu?? Malam itu kamu sampai ngehabisin hampir delapan kilo tepung buat dimasak,"Gea greget sendiri melihat sikap tak masuk akal Ayana.
"Aku yakin dia punya alasan," balas Ayana datar.
Gea mengusap wajahnya kasar, mendadak ia membuka ponsel miliknya kemudian membuka salah satu sosial media miliknya.
"Apa yang kamu maksud alasan itu ini?" Gea memperlihatkan layar ponsel miliknya tepat dihadapan Ayana.
Tubuh Ayana kaku seketika melihat foto yang terpampang dihadapannya, itu foto Randy bersama seorang wanita cantik disampingnya, terlebih saat mata Ayana menangkap caption penuh keromantisan yang mengiringi foto tersebut, Ayana sama sekali tidak mengetahui nama pemilik akun tersebut, namun yang bisa ia pastikan ialah, jika pria itu benar Randy.
"Aku awalnya gak niat liatin ini ke kamu, tapi liat kamu yang selalu ngeharepin Randy, aku gak bisa cuma diam," lanjut Gea meletakkan ponsel miliknya lagi.
Ayana membisu, untuk saat ini ia tak tahu harus bertingkah seperti apa, ia hanya merasakan matanya sangat panas dan ada sesuatu yang menggenang sehingga menghalangi pemandangannya.
"Lupain dia, kamu mesti lanjutin hidup kamu dengan lebih baik lagi,"
"Aku gak percaya Randy bisa berbuat seperti ini padaku," dan kini air mata telah mulai membasahi pipi Ayana dan langsung membuat Gea merangkul sahabatnya itu.
"Aku yakin kamu bisa lewati semua ini, ada banyak pria lain diluar sana,"
"Pria yang sebaik dia aja bisa berlaku seperti ini padaku Ge, gimana aku mau percaya sama pria lain??" dan isakan semakin terdengar jelas dari arah Ayana didalam rangkulan Gea.
"Kamu gak boleh ngomong gitu, kamu cuma perlu buka hati kamu,"
Ayana bangkit dan menghapus air matanya sambil menggeleng, "aku gak bakalan bisa percaya lagi,"
Tak ada yang bisa Gea katakan lagi, jujur saja ia juga tidak percaya tentang perubahan sikap Randy, sejauh yang ia tahu Randy memang pria yang paling baik yang pernah ia lihat.
"Udah ah, kalau begini nanti mataku bengkak, besok kan hari pertama kerja," Ayana mengusap wajahnya sambil tersenyum.
Mata Gea langsung berbinar menatap Ayana dengan girang, "Waaahhh!! Akhirnya, gini dong dari awal, kan aku senang lihatnya!!"
Ayana ikut tersenyum melihat kegirangan Gea yang luar biasa.
***
Ayana menghela nafas panjang, hari pertama bekerja tidak seburuk apa yang ia pikirkan, tak ada hal aneh terjadi sampai detik ini, saat Ayana sudah berjalan keluar dari kantor untuk pulang.
"Bagaimana?"
Ayana terkaget saat mendapati suara ditempat yang lumayan sepi ini, Ayana melihat ke sekitar namun tak ada satupun manusia yang ia lihat, tapi tidak saat ia memalingkan wajahnya kebelakang.
Seorang pria tengah tersenyum miring kearahnya sambil perlahan mendekat.
Ayana menghirup napas dalam, ia hanya berharap bisa melalui hari ini tanpa ada masalah.
"Menyenangkan bukan bekerja di perusahaan ini?" lanjut Lian lagi berhenti dihadapan Ayana.
Ayana mengangguk ringan tanpa ada berniat bicara lebih lanjut.
"Apa kamu menemukan sesuatu yang aneh selama bekerja, yaaa seperti sesuatu yang membuat kamu ingin keluar dari kantor ini,"
"Sejauh ini tidak pak, maaf saya ingin pulang sekarang," elak Ayana dengan sopan mengingat yang dihadapannya kini ialah bosnya sendiri, jujur saja Ayana sangat malas berbicara dengan Lian, bahkan untuk sekedar melihat wajahnya.
"Eits," dengan cepat Lian menahan pergelangan tangan Ayana yang tentu membuat gadis itu kaget dan menatap Lian tak percaya.
"Mau bapak apa sih!?" Ayana mulai jengah sambil melepaskan tangannya dari Lian secara kasar.
"Aku tahu semua tentangmu, termasuk usia kamu, jangan panggil bapak," lanjut Lian semakin membuat Ayana bosan.
Ayana menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, "aku benar-benar tidak ingin lagi memiliki masalah, aku harap kamu bisa paham untuk tidak mencari masalah denganku,"
Lian tertawa melihat Ayana yang semakin risih, "tidak tahu kenapa aku hanya ingin mengganggumu," Ayana mendecak kesal mendengar alasan tak masuk akal tersebut.
"Kenapa? Kamu tidak senang didekati olehku?" lanjut Lian lagi memperdekat jarak antara dirinya dan Ayana.
"Kamu pikir wanita bodoh mana yang senang diganggu pria gila sepertimu?"
"Wah, kamu satu-satunya wanita gila yang berani mencaciku saat wanita lain bahkan memohon untuk kulirik,"
Ucapan Lian sontak membuat tawa Ayana pecah, "hahahah, bualan gila macam apa itu?”
Dan tanpa aba-aba Lian langsung memperdekat jarak wajahnya yang spontan saja membuat Ayana menahan nafasnya saat mata Lian beradu dengan sepasang manik miliknya.
"Kamu yakin takkan luluh dengan wajah yang kumiliki ini?"
Masih dengan napas tertahan tanpa sadar Ayana menyadari ketampanan milik pria itu yang jujur saja memang tak bisa dipungkiri. Namun dengan cepat Ayana sadar dan mendorong tubuh Lian untuk menjauh darinya.
"Apa maumu!?" hardik Ayana benar-benar muak.
"Jadilah pacarku,"
Mata Ayana membulat sempurna menatap Lian yang tersenyum bak setan dihadapannya,
"b******k!!"
***
Mata Gea terlihat takjub melihat setumpuk kue baru matang tersedia dihadapannya, baunya sangat enak sehingga mengundang tangannya untuk mencomot satu kue dan memasukkannya kedalam mulut.Tak mengecewakan, rasa kue ini sangat enak, Gea bisa pastikan jika tingkat kekesalan Ayana sang pembuat kue sangat tinggi.
Gea mendapati sang koki yang baru saja menyelesaikan aktivitasnya karena baru saja mematikan panggangan.
"Kamu kenapa? Lagi kesel banget ya??" tanya Gea melihat wajah Ayana masih tertekuk.
"Keseeellll bangeeeeettttt!!!" jawab Ayana dengan ekspresi benar-benar kesal.
"Ada apa lagi sih?" Gea membawa piring kue tadi sambil mengikuti langkah Ayana keluar dapur menuju ruang tengah.
"Kamu kok punya bos begitu banget jenisnya sih!?"
Dahi Gea berkerut heran, ia tidak tahu ke arah mana pembicaraan Ayana saat ini, "bosku yang mana? Perasaan sekarang bos kita sama deh,"
"Bosnya bosnya lagi yang ngebossy banget!"
"Ih apa sih?? Pak Lian?? Dia masih gangguin kamu?"
"Itu makhluk makannya apaan coba? Kok jadi cowok b******k banget?" racau Ayana menjadi-jadi.
"Dia ngapain??"
"Dia ngeganggu aku tanpa alasan yang jelas, dan seenak jidat nyuruh aku jadi pacarnya! Gila gak sih?!"
Tawa Gea langsung pecah mendengar amarah tetangganya itu, "trus kamu terima?"
"Ya enggaklah! Emang aku udah gila mau nurutin permintaan orang gak waras begitu?"
"Nih ya dengerin, Pak Lian itu playboynya udah terkenal banget, siapa yang gak bakal terpikat sama wajah tampannya, pintar, kaya dan berkuasa,"
"Tapi b******k! Aku yakin banget malam ini pasti dia lagi main sama cewek-cewek gak bener, ish!" Ayana bergidik ngeri sendiri membayangkan bagaimana atasannya itu.
Gea mengangguk setuju dengan ucapan Ayana, "hum, tapi aku gak yakin kamu bisa bertahan deh,"
"Maksud kamu?"
"Emang kamu kuat bertahan buat gak ngacuhin godaan seperti Pak Lian? Emang iman kamu gak terusik apa?"
"Aku tahu banget sama cowok sejenis dia, bagi mereka cewek cuma mainan dan setelah bosan pasti bakal dibuang gitu aja, jadi jangan harap dia bisa jadiin seorang Ayana mainan juga,"
Gea mengangguk-angguk saja mendengar ucapan Ayana, "hati-hati aja deh, gak ada cewek yang gak luluh sama dia, lagian kalau terperangkap ya pasrah aja, kan cakep," Gea tertawa sambil mulutnya tak henti mengunyah.
*
Ayana mengeringkan wajahnya di tepi ranjang untuk bersiap-siap istirahat malam ini. Perlahan ia berbaring sambil menatap langit-langit kamar seraya menghembuskan napas santai.
Namun tepat saat ia akan menutup mata, perhatiannya teralih pada dering ponsel miliknya yang menampilkan nomor tak dikenal.
"Halo..," Ayana menerima panggilan itu.
"Halo,"
"Maaf, ini siapa ya?"
"Pasti kamu ingat suaraku, temani aku malam ini,"
Ayana langsung terduduk menyadari suara siapa yang kini tengah bicara padanya, "kamu ngapain nelfon aku!?"
"Aku sudah katakan bukan? Untuk menemaniku,"
"Tidak,"
"Jangan matikan! Berani kamu akhiri panggilan ini maka hidupmu yang indah juga akan berakhir,"
Ujaran Lian membuat niat Ayana yang memang ingin memutuskan telfon itu terhenti, "mau kamu apa sih!?"
"Kamu hanya harus menemaniku,"
"Maksudnya apasih?? Minta temani saja dengan wanita lain dasar aneh!" rutuk Ayana.
"Apa salahnya membiarkan ponselmu hidup, aku butuh teman untuk menyelesaikan seluruh kertas menyebalkan ini!" Lian terdengar bosan dan kesal dengan urusannya,"jika ingin bersenang-senang pasti aku sudah meminta wanita lain yang lebih cantik untuk menemaniku," lanjut Lian lagi membuat Ayana bergidik ngeri saat paham apa maksudnya.
"Ck! Apa-apaan maksudnya itu?"
"Kenapa? Kamu juga ingin bersenang-senang denganku di malam lain? Baiklah, kapan kamu mau sayang? Jangan malam ini ok? Aku terlalu sibuk,"
Telinga Ayana serasa terbakar mendengar ucapan menjijikkan dari seberang itu, "hentikan ucapan gilamu itu! Selesaikan saja semua pekerjaanmu!"
Terdengar tawa dari arah Lian mendengar ucapan muak Ayana, "baiklah, jangan matikan panggilan ini ok? Awas jika aku tahu kamu mematikan panggilan ini,"
Ayana mengusap wajahnya sekilas karena tidak percaya dengan sikap tak masuk akal bosnya itu, "bagaimana jika aku ketiduran? Aku benar-benar mengantuk,"
"Setidaknya aku bisa dengar pergerakan kamu, atau sekedar mendengar napas kamu,"
"Hah!? Apa kamu maniak!?" hardik Ayana makin tidak percaya.
Lian hanya tertawa menanggapi hal tersebut, "terserah apapun katamu, semakin kamu ribut aku jadi semakin semangat menyelesaikan ini,"
Tak ada lagi jawaban yang diberikan Ayana, kini ia hanya mendengarkan suara lembaran kertas dan sesekali deheman Lian yang mungkin semakin sibuk. Ayana menghela napas panjang, baru kali ini ia melakukan hal aneh seperti ini.
"Kalau aku bertanya sesuatu padamu apakah itu akan mengganggumu?" akhirnya Ayana bersuara karena mulai bosan sekaligus memastikan apakah pria itu masih ingat keberadaannya saat ini.
"Tentu tidak, itu gunanya aku minta ditemani," balas Lian cepat sambil terus bekerja, Ayana bisa tahu karena ada suara kertas berpindah.
"Aku dengar kamu punya darah campuran, benarkah?"
"Hum.., bagaimana ya menjelaskannya? Sebenarnya yang campuran itu mommy dan daddyku,"
"Maksudnya?" tingkat ingin tahu Ayana mulai tinggi.
"Mommy campuran Indonesia Jepang, sedangkan daddy Indonesia Amerika. Bagaimana menurutmu jadinya aku?"
Ayana mencoba memikirkan bagaimana bisa Lian memiliki orang tua yang sama-sama blesteran, "berarti di kamunya campur aduk dong?"
Kontan saja Lian tertawa mendengar respon yang diberikan Ayana, "mungkin, tapi jadinya cakepkan? Ahahahah,"
Ayana hanya mendecis malas karena Lian yang seolah memuji dirinya sendiri, "kamu pernah tinggal di luar negeri?"
"Aku kuliah di Amerika, dan lagian keluargaku umumnya tinggal di Amerika sekarang,"
Ayana mengangguk paham mendengar jawaban Lian, "terus kenapa disini sendirian? Mending barengan keluarga ya kan?"
"Ah, tinggal di Indonesia lebih menyenangkan, lagian disana aku tak bisa bebas, walaupun di Amerika tapi keluargaku benar-benar menggunakan prinsip budaya timur,"
"Jadi maksudmu kamu bisa tinggal disini dengan praktekin kebebasan layaknya budaya barat?"
"Lebih kurang seperti itu, lagipula wanita disini lebih menarik dan menyenangkan,"
Ayana memutar bola matanya malas mendengar alasan Lian, "ternyata rumor yang mengatakan kamu playboy mengerikan memang benar adanya,"
"Kamu banyak tahu tentangku ternyata,"
"Wah, kamu terdengar bangga dengan gelar itu?" Ayana tidak percaya Lian malah senang dengan ucapannya.
"Bukankah itu hebat? Lagian wanita-wanita itu tampak senang saat bermain denganku, kamu belum merasakannya, lain kali oke?"
"Ish! Jangan merasa semua wanita akan takluk padamu, dan kuingatkan berhenti menganggap wanita sebagai mainan,"
Tak ada tanggapan yang diberikan Lian selain tawa kecil yang malah membuat Ayana kesal, "dan berhenti juga untuk menggangguku,"
"Jangan salahkan aku, salahkan dirimu yang punya sifat dan wajah minta diganggu,"
"Hah!? Baiklah, katakan sesuatu agar kamu berhenti menggangguku,"
Tak ada suara yang menanggapi ucapan Ayana, beberapa saat ia menunggu, Lian tak kunjung juga bersuara.
"Kenapa diam!??"
"Karena tak ada yang bisa kukatakan,"
"Ya ampun, kamu benar-benar menyebalkan! Baiklah, akan ku matikaaann!!"
"Jangan matikan! Awas kalau kamu berani,"
Tidak ada menurut Ayana aktifitas paling tidak berguna selain meladeni kegilaan Lian. Bahkan sekarang ia tidak boleh mematikan telfon padahal mereka tidak bicara apapun, hingga sudah beberapa kali Ayana menguap saking mengantuknya.
"Aku sedang susah payah bekerja, kamu jangan seenaknya tidur!"
"Hm....," balas Ayana seadanya karena matanya yang memang sudah tak bisa dipaksakan lagi untuk terbuka, lagian jika Lian tidak tidur semalaman apa urusannya dengan Ayana?
"Hey??"
"Ayana!"
"Ayana Maurelin!?"
"Kamu berani tidur hah!?"
"Sayaaannggg??"
"Wah kamu benar-benar berani tidur ternyata," setelah sibuk berkali-kali memanggil Ayana yang memang sudah tertidur, Lian tertawa sendiri entah dengan alasan apa.
"Baiklah, terima kasih untuk malam ini, good night and have a nice dream baby,"