***
Bagas berjalan menuju lelaki tua yang duduk di atas batu besar dengan memegang sebilah bambu yang digunakannya untuk memancing ikan di sungai tersebut.
Langkah demi Langkah Bagas yang berjalan ke arah lelaki tersebut tak luput dari tatapan lelaki tua yang baru saja mengejutkan Bagas dengan perkataannya yang sangat tidak masuk akal.
"Kamu telah ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang bernama Gondo, dan perjanjianmu dengan siluman Raja monyet itu juga tidak seimbang, karena ternyata untuk mendapatkan sebuah ilmu kebal harus mengorbankan orang yang paling disayang dan itu sangat tidak adil.
Bagas makin melongo mendengar apa yang dikatakan lelaki tua tersebut, dia tak dapat lagi menahan rasa penasarannya sehingga dia menanyakan, siapa sebenarnya kakek itu?
"Kau boleh memanggilku dengan panggilan Mbah Wongso karena begitulah orang-orang biasa memanggilku, hanya seorang lelaki biasa yang sehari-hari hidup dari hasil berkebun, dan terkadang seperti sekarang, jika ada waktu luang aku menghabiskan waktu dengan memancing di sungai ini." Demikian jawaban yang diberikan Mbah Wonge.
"Mbah Wongso ini terlalu rendah hati, padahal baru saja Mbah menebak dengan tepat apa yang sedang saya jalani, yang saya rasakan dan apa yang baru saja kulakukan. Bagaimana mungkin Mbah mengatakan kalau Mbah itu biasa-biasa saja? dan tidak ada yang istimewa? Jujur saja, Mbah. Kalau Mbah tidak keberatan saya ingin menjadi murid Mbah Wongso."
"Aku tidak pernah mengambil murid dan sepertinya tidak akan pernah, kalaupun kebetulan aku bisa menebak apa yang sudah kau lewati itu semata karena memang ada yang menceritakannya kepadaku, karena aku memiliki banyak teman-teman dari dunia gaib."
"Kalau begitu ajarilah aku untuk bisa mengenal makhluk-makhluk dari alam gaib, Mbah."
"Untuk apa? Kamu nggak akan kuat lihat wujud mereka. Kamu akan selalu tersiksa menjalani hari-hari dalam kehidupan jika selalu melihat sosok mereka yang sama sekali jauh dari kata-kata indah. Kamu akan senantiasa merasa mual melihat penampilan fisik mereka. Maka nggak ada untungnya buatmu bisa melihat makhluk-makhluk seperti itu."
"Mbah sendiri apa tidak merasakan apa yang baru saja Mbah katakan?" Bagas sepertinya protes atas pernyataan Mbah Wongso barusan
"Justru karena aku mengalami dan merasakan apa yang baru saja kukatakan, makanya aku bisa mengatakan hal seperti itu kepadamu. Kalau kau ingin mengalahkan orang yang bernama Faqih hanya ada satu jalan."
Lagi lagi Bagas dibuat terkejut karena ternyata Mbah Wongso mengetahui soal pertikaian dirinya dengan Faqih.
"Apa itu, Mbah?" tanya Bagas yang benar-benar penasaran ingin tahu.
"Gurumu yang bernama Prayoga, dia menyimpan sebuah kitab ajian sakti, yang mana dengan ajian tersebut kamu bisa mengalahkan Faqih.
Akan tetapi gurumu sendiri jelas tidak akan mau memberikan kitab itu atau sekedar mengajarkan ilmunya kepadamu, karena dia menilaimu selama ini masih labil dan belum bisa dipercaya untuk mengemban ilmu-ilmu semacam itu.
Oh ya, karena hari sudah semakin siang aku akan pulang dulu, dan kuharap kamu tidak perlu mengikutiku. Bagaimanapun caranya aku takkan pernah menjadikanmu sebagai muridku."
Bagas benar-benar kecewa, karena sudah jelas-jelas dia melihat kalau lelaki tua yang dipanggil dengan nama Mbah Wongso itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Tapi peringatan dari Mbah Wongso barusan telah mencegah Bagas untuk mengikutinya."
Mbah Wongso kemudian membereskan alat-alat pancingnya, dan mengangkat sebuah ember kecil yang berisi beberapa ekor ikan hasil tangkapannya sejak pagi tadi. Dia berjalan menyusuri Jalan setapak dan menghilang di antara lebatnya pepohonan.
Bagas termenung sendiri di pinggiran sungai, rasa dendamnya kepada Faqih yang semakin membara mampu meredam rasa duka yang dirasakan karena kehilangan kekasih.
Sejak awal semua yang dikatakan oleh kakek itu benar tentang dirinya. Bagas sangat yakin kalau apa yang dikatakan terakhir kali oleh lelaki itu tentang sebuah Kitab ilmu pukulan sakti yang dimiliki oleh gurunya dapat membuat dia akan mampu untuk mengalahkan Faqih. Maka tak ada jalan lain dia harus mendapatkan kitab itu, karena kalau meminta langsung kepada gurunya untuk mengajarkan dirinya, ilmu tersebut sudah pasti Eyang Prayoga tidak akan pernah mau untuk mengajarkan ilmu tersebut kepadanya.
Bagas bangkit dari duduknya, berjalan kembali ke arah yang tadi dilaluinya. Semula niatnya untuk pergi jauh dari desanya kini dia urungkan. Kini dia berencana untuk kembali ke desanya, karena dia memiliki sebuah niatan buruk, sebuah rencana busuk telah tersirat di kepalanya. Dia harus mendapatkan kitab itu apapun caranya, kalau tidak bisa dengan secara terang-terangan maka dia akan berusaha dengan cara main licik di belakang gurunya.
Keluar dari gang demi gang yang tadi dilaluinya, dia pun sampai di pinggiran jalan.
Kemudian dia naik sebuah angkot yang menuju kembali ke arah desanya, ketika mobil angkot yang ditumpanginya melewati rumah makan yang tadi, tempat dia melakukan p*********n terhadap tiga orang preman, kini terlihat sudah dipasangi oleh police line atau garis polisi. Tampak orang banyak berkerumun di depan rumah makan itu. Sedangkan beberapa orang polisi berjaga-jaga, serta ada juga beberapa orang polisi yang terlihat sedang memeriksa TKP.
Mobil angkot terus berlalu dan akhirnya berhenti di depan gapura desanya, Bagas memberikan ongkos angkot lalu angkot pun berlalu.
Bagas berjalan masuk ke arah desanya dan langsung menuju ke rumahnya sendiri.
Sapaan dari kedua orangtuanya tak dihiraukannya, dia langsung bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci diri.
Dalam kamar Bagas berpikir keras rencana apa yang akan dijalankan untuk bisa mendapatkan kitab sakti yang dimiliki oleh gurunya itu?
Dan ketika dia mendapatkan sebuah ide cemerlang, dia pun bersiap-siap untuk melaksanakan idenya tersebut.
Sekitar pukul tiga sore Bagas yang tadi sempat tertidur di kamarnya lalu segera mandi untuk ke rumah gurunya, namun sebelum itu dia berangkat menuju ke arah pasar karena ada sesuatu yang akan dibelinya.
***
Padepokan Jalak Putih menjadi gaduh penuh teriakan histeris mana kala satu persatu murid di padepokan itu bertumbangan kena sabetan golok yang dipegang oleh Pranajaya.
"Hentikan! Pertarungan ini sangat tidak seimbang. Hai orang asing, lawanmu bukan murid-muridku, tapi adalah aku!" Suaranya menggema penuh amarah.
Seorang lelaki dengan kumis dan tubuh yang kekar melompat ke tengah lapangan yang ada di area Padepokan Jalak Putih. Ki Sukmo, guru dari Perguruan Jalak Putih. Yang mana Ki Sukmo sangat dihormati, baik oleh murid-muridnya sendiri maupun oleh warga desa yang berada di sekitar padepokan silat miliknya.
"Akhirnya yang aku tunggu-tunggu keluar juga. Kenapa tidak dari tadi kau keluar lebih awal? Mungkin murid-muridmu masih bisa diselamatkan." Pranajaya berputar, menghadap guru besar Padepokan Jalak Putih itu dengan menengadahkan kepalanya penuh kecongkakan.
"Tidak usah banyak bicara! kau hanyalah tamu kurang ajar yang tidak tahu etika dan sopan santun, masuk tanpa izin ke padaepokan orang lain dan tahu-tahu mengajak bertarung murid-muridku yang kemampuannya berada di bawahmu. Dasar manusia berjiwa pengecut!" Kembali Ki Sukmo mluapkan amarahnya.
"Kalau begitu apa maumu? kamu pun tidak perlu berpanjang-panjang kata, buktikan saja kau atau aku yang lebih Sakti." Penuh kesombongan Pranajaya menantang Ki Sukmo bertarung.
Sebenarnya kalau saja Pranajaya datang dengan baik-baik, mungkin Ki Sukmo masih akan berlaku baik untuk menyambutnya, bicara tentang apa maksud dan tujuannya datang ke Padepokan Jalak Putih.
Akan tetapi perbuatan yang telah dilakukan oleh Pranajaya yang telah begitu brutal itu tentu saja telah menyulut emosi Guru Padepokan Jalak Putih yang akhirnya tak sempat lagi berpikir untuk berlaku sopan santun menghadapi orang yang telah merusak padepokannya.
"Kalau begitu, bersiaplah, tapi sebelumnya katakan dulu siapa namamu? dan dari mana asalmu? jika kamu menjadi mayat di sini aku bisa mengirimkan mayatmu ke rumah keluargamu." Ki Sukmo bertanya tentang siapa gerangan adanya Pranajaya.
"Kemana saja kamu selama ini tak mengenalku? Apakah hanya makan dan tidur saja kerjamu di dalam rumah? sampai-sampai tidak mengenal siapa yang berdiri di hadapanmu saat ini." Jawaban Pranajaya malah makin menyulut emosi Ki Sukmo.
"Banyak cakap! cepat katakan! atau akan kucincang kau sekarang juga!" teriak Ki Sukmo yang sepertinya emosinya tak dapat dikendalikan lagi,dia sudah bersiap untuk menghabisi Pranajaya.
"Baiklah, aku masih berbaik hati untuk mengenalkan siapa namaku kepadamu, agar nanti kalau kau mati di tanganku maka hendaknya kau tidak akan mati dengan penasaran. Namaku Pranajaya, Aku adalah Pimpinan dari Padepokan Emperyan.
Ki Sukmo memang tak mengenal sosok Pranajaya ketika dia menyebutkan namanya, namun Ki Sukmo sedikit kaget juga, dia tidak menyangka selama ini nama Pranajaya sudah sering dia dengar. Namun yang lebih membuatnya terkejut adalah kenyataan kalau ternyata pranajaya memiliki sifat yang sangat buruk, padahal ketenaran Padepokan itu sudah cukup terkenal. Padepokan Emperyan seringkali mengirimkan murid-muridnya untuk mengikuti ajang perlombaan pencak silat dan seringkali pula meraih juara.
"Tak kusangka, besarnya nama Padepokan Emperyan ternyata memiliki pimpinan berakhlak buruk seperti dirimu. Sekarang Bersiaplah untuk menerima seranganku, karena sebentar lagi aku akan mengirimkan mayatmu ke Padepokanmu malam ini juga." Ki Sukmo menyudahi kata-katanya lagi memasang kuda-kuda tangguhnya.
Ki Sukmo kemudian membuat gerakan-gerakan aneh, yang kalau di perhatikan gerakan-gerakan itu lebih mirip dengan gerakan seekor burung yang sedang bersiap untuk bertarung. Itulah keunikan dari jurus-jurus silat Perguruan Jalak Putih.
Ki Sukmo lantas menerjang ke depan dengan kedua tangannya membentuk cakar di tiga posisi jari-jarinya, yaitu jari jempol, jari telunjuk dan jari tengah yang sangat mirip dengan jari-jari Burung Jalak.
Pranajaya undurkan kakinya ke belakang beberapa langkah untuk menghindari serangan lawan karena dia tak menyangka kalau ternyata silat Jalak Putih memiliki kecepatan serangan di luar prediksinya, kalau tadi dia menghadapi murid-murid dari Perguruan Jalak Putih yang memang kemampuannya rata-rata masih jauh dibawah Gurunya. Adalah sangat wajar jika Pranajaya mampu mengalahkan mereka semua hanya dalam beberapa kali gerakan saja namun ketika dia bertemu langsung dengan sang guru yaitu Ki Sukmo dia sekarang dapat merasakan sendiri bagaimana dahsyatnya serangan jurus Jalak Putih.
Hal yang sama juga ternyata dirasakan oleh Ki Sukmo, dia pun cukup kagum pada gerak reflek yang dimiliki oleh Pranajaya. Untuk ukuran orang umum, siapa pun yang mendapat serangan oleh jalak putih jarang sekali ada yang bisa menghindari serangannya, karena begitu cepat dan akurat. Setidaknya dari beberapa pukulan yang dilancarkan maka akan ada satu atau dua dari serangannya yang masuk mengenai tubuh lawan. Tapi tidak demikian halnya dengan Pranajaya, semua serangan Ki Sukmo meleset hanya beberapa senti saja dari tubuh Pranajaya hingga tak satupun serangan dari Ki Sukmo ada yang mengenai tubuh Pranajaya.
Namun hal itu tidak membuat Ki Sukmo menjadi kecut hati, justru hal itu membuatnya menjadi semakin penasaran dan lebih berhati-hati lagi dalam melancarkan serangan - serangannya kepada lawan, dan itu dapat dirasakan oleh Pranajaya karena dia menjadi lebih berhati-hati menghadapi serangan lawan yang cukup mematikan itu.
Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, hingga beberapa jurus berlalu namun tampaknya belum terlihat siapa di antara keduanya yang akan memenangkan pertarungan itu. Sementara debu-debu yang ada di tanah lapang itu mulai beterbangan.
Beberapa orang murid Padepokan Jalak Putih yang berada di sekeliling area lapangan segera menyingkirkan tubuh - tubuh kawannya yang terluka. Mereka kemudian menyingkir ke pinggiran lapangan untuk menghindari cedera akibat terkena imbas dari pertarungan dua orang sakti tersebut.
Hingga dalam satu kesempatan Pranajaya mendapat celah untuk bisa melancarkan serangannya, dan itu sama sekali tidak disia-siakan oleh Pranajaya. Sebuah tendangan telak ke arah rusuk Ki Sukmo mwndarat dati tendangan Pranajaya. serangan itu dilakukan Pranajaya dengan tenaga penuh sehingga terdengar suara berkeretak tanda patahnya tulang rusuk.
Ki Sukmo menjerit keras lalu bergulingan di tanah memegangi tulang rusuknya yang patah, tidak sampai di situ saja karena Pranajaya kembali menghujani Ki Sukmo yang saat itu sudah lemah pertahanannya dengan pukulan dan tendangannya, yang mana akhirnya Ki Sukmo tak mampu lagi melakukan perlawanan dan tanpa rasa belas kasihan Pranajaya segera melibaskan goloknya ke leher Ki Sukmo, darah bemuncratan ke mana-mana, Ki Sukmo mengejang layaknya seperti ayam yang habis disembelih.
Para muridnya seketika menjadi gentar, mereka pun parasnya kini memucat tak menyangka kalau hari ini mereka akan menyaksikan sendiri kematian guru mereka di hadapan mereka, dengan kematian yang sangat mengenaskan.
"Hai kamu!" kata Pranjaya yang menunjuk pada salah seorang murid. "Ambilkan seteko air minum dan gelas dari dalam."
Orang yang dipanggil itu tampak bingung tapi dia melaksanakan saja apa yang diperintahkan Pranajaya, karena dia tidak mau nasibnya sama seperti gurunya.
Dia pun keluar dengan membawa sebuah teko berisi air putih penuh dan dua buah gelas kosong.
Saya kemudian menuangkan sebotol kecil berisi cairan ke dalam teko lalu dia meminta murid-murid Padepokan itu untuk meminum airnya, mereka semua ragu karena takut kalau minuman itu berisi racun.
"Aku tahu kalian semua ragu, kalian pikir aku akan meracuni kalian? Tidak, tapi aku justru akan merekrut kalian untuk menjadi murid-muridku, dan nanti setelah kalian meminum air yang sudah kucampurkan dengan air khusus di dalam teko itu maka kalian akan bertambah lebih sakti.
Kalian tidak punya pilihan, kalian minum maka kalian akan menjadi muridku dan tetap hidup. Atau kalian pilih untuk menolak dan kalian bisa keluar dari Padepokan ini dengan catatan kalian tinggalkan nyawa kalian di sini."
Ancaman Pranajaya ini rupanya tidaklah main-main dan mereka yang saat itu dalam posisi dilematis mau tak mau akhirnya memilih untuk meminum air yang sudah disediakan.
****