***
Air matanya adalah air mata kepalsuan, Pranajaya berurai air mata sejak dia sampai di rumah hingga jenazah Istri dan kedua anaknya dimakamkan di pemakaman Kampung Jengkol. Demikian Pranajaya menutupi dosanya agar tak ada yang mencium kalau dialah sebenarnya yang menjadi penyebab kematian bagi istri dan kedua anaknya.
Rupanya kambing dan dua anak kambing itu adalah perwujudan dari istrinya dan kedua anaknya, maka saat kambing dan dua ekor anaknya itu mati akibat di sembelih oleh Pranajaya pada saat bersamaan di rumahnya, istri dan kedua anaknya ikut mati juga.
Acara tahlilan pun yang biasanya sudah umum digelar di Kampung Jengkol dan diadakan sejak malam pertama sampai malam ke tujuh. warga yang menghadiri cukup banyak juga, dan salah satu yang hadir dalam acara tahlilan itu adalah Prayoga, teman kecilnya. Selalu bersama dalam satu sekolah sejak SD hingga SMA. Dua sahabat yang layaknya sudah seperti saudara kandung sendiri.
Para tamu di acara tahlilan itu satu persatu pulang setelah acara selesai. Sampai yang tersisa tinggallah Pranajaya selaku tuan rumah dan sahabatnya, Prayoga.
"Seminggu lamanya kamu pergi, dan tidak biasanya kamu pergi lama tanpa mengabariku, ke mana sebenarnya kamu, Prana?" Prayoga menatap wajah sahabatnya dan menunggu jawaban, tangannya meraih gelas berisi kopi yang panasnya sudah mulai berkurang, lantas meminumnya beberapa tegukan.
Seminggu? Betapa kagetnya Pranajaya mendengar penuturan sahabatnya, karena dia merasa pergi pagi dan keesokan siangnya baru pulang setelah sehari semalam berada di dalam kerajaan jin yang tinggal di Gunung Lawu.
Tetapi Pranajaya tentunya tak mungkin mengatakan yang sebenarnya, mungkin saja dia keluar dari kampungnya dan kembali setelah seminggu lamanya, karena dia pernah mendengar kalau di alam jin memiliki perbedaan waktu dengan alam manusia.
"Aku ke rumah saudara di Kebumen, bosan di desa, siapa tahu ada pekerjaan di kota untukku, namun nyatanya selama seminggu tetap tak kudapatkan pekerjaan yang tepat untukku, maka kuputuskan untuk kembali saja."
Pranajaya akhirnya memilih mengarang cerita sendiri untuk menutupi kenyataan kalau dia telah terlibat persekutuan dengan jin penunggu Gunung Lawu. Bukankah untuk menjadi yang terkuat dan terhebat setanah Jawa adalah impiannya, dia tak ingin jika temannya itu kelak menjadi penghalang dari ambisinya, bahkan kalau perlu Prayoga bisa diajaknya bekerja sama untuk memuluskan rencana tersebut. Rasanya tak apa jika dia harus berbagi kekuasaan dengan sahabatnya, akan tetapi untuk saat-saat ini dia belum akan menceritakan impiannya itu, tentu Prayoga akan menaruh kecurigaan kalau kematian istri dan kedua anaknya ada sangkut pautnya dengan dirinya, dengan kepergiannya selama seminggu seperti yang dikatakan Prayoga tadi.
"Seandainya kamu pulang lebih cepat, mungkin musibah yang menimpa keluargamu bisa dicegah. Tapi yaah ... Semua sudah kehendaknya, apa pun bentuk takdir yang terjadi memang sudah terjadi, tinggal bagaimana sikap kita dalam menghadapi musibah yang sudah terjadi ini."
"Kamu pasti tahu kejadiannya, bisakah kamu ceritakan bagaimana kejadiannya sampai istriku dan kedua anakku menjadi korban keganasan seekor harimau?" tanya Pranajaya, sekalipun dia sebenarnya sadar kalau kematian istri dan kedua anaknya adalah kesalahannya sendiri, namun dia ingin tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya.
Prayoga mulanya enggan untuk menjawab pertanyaan sahabatnya, dia merasa khawatir jika dia menceritakan kejadian sebenarnya hanya akan membuat sahabatnya itu kembali bersedih. Namun Pranajaya tampaknya serius dan tak main-main dengan apa yang ditanyakannya itu, Pranajaya menatap Prayoga dengan tatapan tajam penuh rasa ingin tahu. Akhirnya Prayoga menyerah, dia meneguk kembali kopinya sebelum memulai bercerita.
"Kemarin malam, aku memang sedang bertugas jaga malam, jadwal rondaku memang semalam, sesuai jadwal yang dibuat oleh Pak RT kita.
Tetapi ronda dimulai tepat pukul sebelas malam, jadi sejak sore hari aku di rumah saja. Rasa bosan menghinggapiku, lantas kuputuskan untuk keluar rumah menuju rumah Dipo yang kebetulan jadwal rodanya sama denganku, maka kupikir tak ada salahnya aku menemuinya, berbincang-bincang di rumahnya hingga pukul sebelas, lantas kami berdua bisa bersama menuju pos ronda.
Dan semalam kisaran pukul sepuluh, aku dan Dipo yang saat itu masih asyik bercakap-cakap mendengar suara teriakan seorang perempuan, mulanya aku terpana, tak menyangka kalau itu adalah suara jeritan istrimu.
Akhirnya aku dan Dipo yang penasaran segera berlari ke arah suara teriakan itu, selama berlari itulah aku mulai sadar kalau suara itu adalah suara istrimu, aku dan Dipo mempercepat lari. Sesampainya di rumahmu ini kulihat sudah ada beberapa orang tetanggamu yang berdiri di depan rumahmu.
Terang saja aku mendamprat mereka, buat apa mereka hanya berdiri di depan rumah tak memberikan pertolongan?
Mereka menjawab kalau mereka sebenarnya mau menolong, tetapi mereka mendengar suara auman harimau. Siapa orangnya di kampung ini yang berani menghadapi seekor harimau? Apalagi mereka tak memegang senjata, mereka tak mau mati konyol.
Aku hendak kembali memaki mereka, tetapi datu bayangan yang memang seperti seekor harimau melompat keluar dari jendela rumahmu, walaupun dia melompat begitu cepat tetapi aku berani bersumpah kalau harimau yang kulihat itu bukanlah harimau dengan bulu yang loreng atau putih, tetapi itu adalah harimau dengan bulu-bulunya yang berwarna hitam pekat.
Rasanya andai aku coba mengejarnya sekalipun harimau itu takkan bisa kukejar. Jadi kuputuskan bersama Dipo dan para tetanggamu yang tadi berdiri di depan rumahmu untuk memasuki rumahmu, berharap tak terjadi apa-apa dengan anak dan istrimu.
Tetapi apa yang kulihat benar-benar membuat kedua kakiku menjadi lemas, saat itu aku, Dipo dan tetanggamu melihat istrimu dan anak-anakmu sudah tergeletak di lantai dengan leher sobek berlumuran darah.
Kami semua akhirnya kembali keluar dari rumahmu, dipukullah kentungan, hingga akhirnya banyak warga yang datang berduyun-duyun ke rumahmu.
Malam itu juga banyak warga yang begadang di sekitar rumahmu, berjaga-jaga kalau-kalau Harimau itu akan datang kembali.
Tetapi hingga hari menjelang shubuh tak ada tanda-tanda kalau Harimau hitam itu akan datang kembali. Semua yang semalam begadang akhirnya pulang ke rumah masing-masing termasuk aku, karena kami sudah sangat mengantuk. Dan kudengar siang harinya kamu datang."
Prayoga mengakhiri ceritanya. sekalipun dia sendiri tahu kejadian yang sebenarnya bagaimana anak dan istrinya meninggal, tetap saja mendengar cerita sahabatnya membuat hatinya sakit, Pranajaya merasa dirinya telah ditipu oleh Jin penguasa Gunung Lawu itu, seharusnya tak ada perjanjian yang mengatakan kalau dirinya diminta untuk memberikan tumbal, apalagi kalau ternyata yang jadi tumbal justru adalah keluarga yang paling dicintainya sendiri.
Tetapi memang begitulah golongan Jin, mustahil membantu manusia tanpa meminta imbalan, tujuannya sendiri jelas agar yang bersekutu dengan mereka menjadi semakin jauh dari cahaya kebenaran dan semakin tenggelam dalam kegelapan dosa.
Dan nasi sudah menjadi bubur, anak istrinya telah jadi tumbal dari ambisinya, untuk mundur rasanya tidak mungkin, lagi pula apakah dengan mundur bisa menghidupkan kembali anak dan istrinya? Tidak!
Pranajaya tak punya pilihan lain saat ini selain terus maju untuk menuntaskan apa yang menjadi ambisinya.
Bulan demi bulan berlalu, tahun demi tahun berganti, kepandaian bela diri Pranajaya dan Prayoga semakin mumpuni dan kian disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Keduanya memutuskan untuk mendirikan Padepokan silatnya sendiri. Pranajaya mendirikan perguruan Silat Emperyan, sedangkan Prayoga sahabatnya mendirikan Padepokan Silat Sentinel.
Awal-awal berdirinya kedua Padepokan itu sempat jadi pergunjingan beberapa Padepokan Silat lain yang meragukan kemampuan silat Pranajaya dan Prayoga.
Beberapa kali kedua Padepokan itu harus mengalami tantangan baik secara langsung secara terbuka maupun dengan cara sembunyi-sembunyi, yaitu beberapa muridnya diteror dan dikeroyok di jalan.
Namun Prayoga dan Pranajaya sudah memperhitungkan betul risiko apa yang akan mereka hadapi jika mereka hendak mendirikan Padepokan Silat di daerah mereka yang notabene telah lebih dulu beberapa Perguruan Silat lain yang telah memiliki murid dari yang jumlahnya sekitar puluhan sampai ada padepokan yang muridnya sudah sampai ratusan orang.
Pranajaya dan Prayoga benar-benar memiliki persiapan matang, semua tantangan lawan baik yang terang-terangan datang ke padepokannya untuk menantang, maupun yang mengeroyok dengan sembunyi-sembunyi semuanya bisa dengan mudah dikalahkan oleh perguruan mereka bersua, murid-murid didikan mereka berdua jauh lebih tangguh dibandingkan murid-murid dari Padepokan Silat lainnya yang lebih dulu berdiri.
Seiring berjalannya waktu kedua padepokan silat mereka semakin maju dan berkembang, sementara Padepokan Silat lainnya mengalami penurunan drastis jumlah murid-muridnya yang rata-rata akhirnya memilih pindah, kalau tidak di Padepokan Silat Emperyan di bawah kepemimpinan Pranajaya ya ke Perguruan Sentinel milik Prayoga.
Untuk tetap menarik minat para calon murid baru, di Kampung Jengkol sering kali diadakan lomba antar perguruan, dan biasanya murid-murid terbaik dari masing-masing perguruan diutus untuk mewakili perguruan silatnya bertanding, tak terkecuali padepokan Emperyan dan Sentinel yang dalam beberapa perlombaan selalu meraih juaranya, dan yang paling sering meraih juara adalah dari padepokan Emperyan, sementara itu Padepokan Silat Sentinel lebih sering menempati urutan kedua.
Malam itu Prayoga ingin mendatangi Padepokan Silat Emperyan untuk menegur Pranajaya yang dinilainya telah melakukan bentuk kecurangan selama perlombaan.
Suasana halaman Padepokan Emperyan tampak sepi, namun Prayoga mencium aroma yang tak lazim di area Padepokan Emperyan.
Aroma bunga yang bercampur dengan aroma kemenyan, perasaan Prayoga mulai tidak enak. Saat itulah dia mulai mencium ada yang tidak beres dengan Padepokan Silat Emperyan.
Kalau di luar tampak sepi, tidak halnya dengan bagian dalam Padepokan Silat Emperyan, lamat-lamat Prayoga seperti mendengar suara auman harimau, si pun berjalan pelan mendekati bangunan itu, dicarinya celah untuk mengintip, dan Prayoga amat terkejut saat dilihatnya beberapa murid Padepokan Silat Emperyan saat itu tengah merangkak seperti harimau, dari mulut-mulut mereka itulah ternyata asal suara harimau yang didengarnya tadi.
"Jadi selama ini Prayoga memakai bantuan jin dalam mengajari ilmu silat pada murid-muridnya, tetapi dapat dari mana dia ilmu harimau seperti itu, bukankah selama ini dia selalu berada di kampung dan tak pernah keluar dalam beberapa tahun ini, terakhir dia keluar setahuku adalah waktu dia bilang pergi ke rumah saudaranya di Kebumen. Apakah saat di sana dia sebenarnya belajar ilmu lain dan bukannya mencari kerja?" Prayoga berkata lirih berbicara pada dirinya sendiri.
"Aku penasaran bagaimana sebenarnya wujud asli makhluk yang kini masuk ke dalam tubuh murid-muridnya itu, aku akan mengerahkan ilmu mata batinku."
Ketika Prayoga mengerahkan mata batinnya untuk melihat wujud asli makhluk yang merasuk dalam tubuh murid-murid Pranajaya sahabatnya itu, betapa terkejutnya Prayoga saat menyadari kalau makhluk-makhluk yang dilihatnya ternyata berwujud harimau hitam, sama persis dengan wujud harimau yang dulu pernah dilihatnya keluar dari dalam rumah Pranajaya, sosok harimau yang membantai anak dan istri Pranajaya.
Prayoga sampai terjengkang ke belakang dan menimbulkan bunyi yang membuat Pranajaya sadar kalau saat itu ada orang lain yang tengah mengintip dirinya dan murid-muridnya, bergegas dia berlari ke luar untuk melihat siapa kiranya orang yang telah mengintipnya.
Sesampainya di luar, Prayoga sudah berlari menjauh agar tak ketahuan, namun Pranajaya sempat melihatnya meskipun hanya dari punggungnya saja.
"Celaka! Aku kenal betul sosok itu walau tak melihat dari depan, untuk apa Prayoga datang dengan sembunyi-sembunyi? Jangan-jangan dia telah mengintip ke dalam dan melihat kalau dalam tubuh murid-muridku kini bersemayam Khodam Harimau Hitam?"
Dengan perasaan tak karuan Pranajaya masuk kembali ke dalam, sementara itu murid-muridnya semua telah kembali ke kesadarannya.
"Siapa yang mengintip latihan kita, Eyang?" tanya salah seorang murid.
"Entahlah, mungkin orang iseng saja, berhubung hari sudah semakin larut malam sebaiknya kalian semua pulanglah dan latihan akan kita lanjutkan kembali besok malam."
Semua murid-murid Pranajaya pun bubar dan pulang ke rumahnya masing-masing. Kini tinggallah Pranajaya seorang.
"Aku tak ingin berlarut-larut, malam ini juga saat yang tepat aku mengajak Prayoga untuk ikut bergabung dengan impianku, menjadi penguasa tanah jawa.
Malam itu juga Pranajaya berangkat ke rumah Prayoga, yang membukakan adalah istrinya.
"Apa suamimu ada?"
"Sebentar, akan kupanggilkan." Istri Prayoga menutup kembali pintu dan memanggil suaminya
Tak lama berselang Prayoga sudah keluar dari balik pintu, ekspresi wajahnya dingin dan datar, tak ada lagi senyum seorang sahabat di sana.
"Duduklah dan ada keperluan apa malam-malam begini bertamu ke rumahku?" tanya Prayoga.
Pranajaya pun duduk di kursi yang tadi ditunjuk oleh Prayoga.
"Seharusnya aku yang bertanya. Bukankah barusan kamu baru dari Padepokanku dan mengintip kegiatan berlatih murid-muridku?" Pranajaya malah bertanya balik.
Prayoga tak bisa lagi mengelak, dia pun memang tak mau berkata bohong apalagi setelah ketahuan.
"Mulanya aku mau berbicara tentang kecurangan muridmu siang tadi di perlombaan. Tapi kuurungkan, karena dengan mata kepalaku sendiri aku telah melihat bukti-buktinya. Tapi ah sudahlah, membahas hal itu tak lagi penting. Saat ini aku hanya ingin kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur, kalau memang kamu masih menganggapku sebagai sahabat."
"Apa yang mau kamu tanyakan?"
"Kamukah yang menjadi pelaku pembunuhan atas anak dan istrimu sendiri?"
Cukup lama Pranajaya terdiam, dia tahu kalau dia pun sama, tak bisa berbohong lagi, tapi dia bingung bagaimana menyampaikan pada Prayoga kalau semua itu sama sekali bukan kemauannya, semua di luar kendalinya.
"Kematian istriku memang aku ikut andil di dalamnya, tapi percayalah aku sendiri tak menghendaki hal itu. Aku dijebak."
"Kamu sendiri yang datang meminta bantuan jin, bisa-bisanya bilang dijebak. Sekarang kamu pulanglah. Kita sudah beda jalan, Pranajaya."
Belum lagi Pranajaya mengutarakan niatnya mengajak Prayoga untuk menjadi sekutunya, kini dia malah diusir secara terang-terangan.
"Kamu mengusirku, sahabatku?"
"Jangan sebut aku sahabat. Kamu sudah tersesat terlalu jauh, dan jangan coba-coba mempengaruhiku untuk menjadi bagian dari kesesatanmu.
Pranajaya terdiam. Dia kehabisan kata untuk menjawab omongan Prayoga. Rasa kecewa yang menyesak di dadanya saat itu terasa begitu sakit.
"Baiklah kalau itu kemauanmu, mulai sekarang kita tak ada hubungan apa pun lagi." Pranajaya berbalik dan melangkah pergi.
Peristiwa malam itu pun menjadi awal dari peristiwa-peristiwa lain yang lebih mengerikan lagi dan penuh dengan darah antara Prayoga dan Pranajaya. Dua orang sahabat yang dulu sama-sama saling mengasihi, berganti menjadi musuh besar yang sama-sama saling benci.