Musuh dalam Selimut #2

1131 Kata
Nota yang akan diterima oleh Fakih adalah nota tagihan, sementara Developer tahunya pasir sudah dibayar lunas, dan karena Faqih sendirilah yang ke tempat itu dan nama dalam nota adalah namanya maka dialah yang akan menjadi tersangkanya. Saat itu Mandor Salman puas karena rasanya tidak akan mungkin Faqih bisa lolos dari rencana busuknya kali ini, bencana yang akan membuat Faqih keluar selamanya dari proyek yang dijalankannya.  Selama ini Mandor Salman selalu berusaha bersikap keras kepada Faqih tidak lain adalah agar Faqih tidak betah dan memilih untuk keluar, sehingga dia tidak lagi dekat dengan Pak Sofyan, Developer proyeknya. Entah apa alasan Faqih hingga saat ini dia masih bertahan untuk tetap bekerja dalam tekanan dari Mandor Salman yang ada tak henti-hentinya itu.  Sore harinya seperti yang telah dijanjikan sebuah mobil truk besar bermuatan pasir datang untuk membongkar muatan pasirnya di tempat proyek Mandor Salman, ketika sopir truk mencari Mandor Salman maka Faqih menjawab kalau Mandor Salman sudah tidak enak badan dan sedang beristirahat di rumahnya.  Pemilik truk memberikan nota tagihan kepada Faqih yang mana Hal itu membuat Faqih bingung karena dia memang tidak dititipi uang oleh Mandor Salman untuk membayar pesanan pasir yang sudah diturunkan dari truk itu.  “Jadi bagaimana ini? Kami tidak mungkin pulang lagi tanpa membawa uang p********n dari pasir ini,” kata Sopir truk berkeras meminta Faqih untuk membayarnya.  “Mau bagaimana lagi, Pak. Saya sendiri memang tidak dititipi uang oleh Mandor Salman untuk membayar pasir-pasir ini. Kalau Bapak tidak percaya, Bapak datang langsung saja menemui rumah Mandor Salman.  “Halaah! Bertele-tele kamu!” kata Sopir truk kesal.  “Saya bukannya bertele-tele, Pak tapi memang saya tidak pegang uang untuk bayar pasir ini.”  “Kalau begitu, sekarang bagaimana? Kan tidak mungkin pasir ini diangkat kembali ke atas truk.”  Pada saat itu tiba-tiba sebuah mobil sedan memasuki area proyek, pemilik sedan itu ternyata adalah atasan dari Pak Sofyan. Melihat ribut-ribut yang terjadi antara Faqih dan Sopir truk dia langsung turun untuk mendekat. Niatnya datang ke proyek itu semula adalah untuk meninjau, sudah sejauh mana proyek berjalan.  “Ada apa ini ribut-ribut? Bukanya bekerja malah bertengkar mulut!”  “Ini, Pak. Pasir sudah kami turunkan tapi dia tidak mau membayar,” kata Sopir truk ngotot.  “Saya Bukannya tidak mau membayar, Pak. Masalahnya saya memang tidak punya uang. Saya waktu itu hanya diminta oleh Mandor Salman untuk memesan pasir, dan tadi siang ketika Mandor Salman pulang saya sama sekali tidak dititipi uang untuk p********n pasir.”  “Pasir untuk apa? Kamu tidak lihat di sana pasir masih banyak? Buat apa pesan lagi?” kata Sang Bos.  “Saya memang tidak tahu, Pak. Saya hanya disuruh Mandor Salman.”  “Dari tadi kamu bilang Mandor Salman. Mandor Salman. Kamu sudah berapa lama bekerja sebagai kuli bangunan, sehingga tidak tahu barang-barang yang diperlukan atau tidak?”  Faqih terdiam, kini dia sadar dengan siapa dia berhadapan.  “Untung saya datang sendiri ke sini, sehingga saya bisa melihat bagaimana kerja kalian semua di sini. Asal kalian tahu, Pak Sofyan Developer kalian ini saya yang membayar, proyek perumahan ini adalah proyek saya!  Jadi gaji-gaji kalian juga itu dari saya semua. Maka kalau saya lihat kerja kalian tidak becus hanya dan hanya membuang waktu, saya tidak akan segan-segan untuk memecat kalian dari proyek ini!”  Para pekerja yang saat itu sedang bekerja pun akhirnya terhenti mendengar ocehan dari sang Bos Besar.  Lelaki yang turun dari dalam mobil sedan itu kembali menghadap ke arah Faqih dan sopir truk yang tadi ribut, “Mana sini, saya mau lihat notanya, atas nama siapa. Karena biasanya nota-nota ini selalu atas nama Mandor di sini.”  Faqih bingung, karena dalam nota yang ada pada sopir maupun yang dipegangnya tertulis atas namanya, dan itu semua atas perintah dari Mandor Salman sendiri.  Aqih dan Sopir pun menyerahkan nota itu kepada Bos Besar yang langsung memperhatikan isi nota tersebut, selanjutnya dia berkata, “Mandor di sini bernama Faqih?”  “Salman, Pak,” jawab beberapa orang pekerja yang lain.  “Waktu itu saya, Pak, yang ke tokonya memesan pasir. Menurut Mandor Salman, karena saya yang pesan, dia bilang tulis saja atas nama saya.”  “Lagi-lagi Mandor Salman. Mandor Salman. Mau belajar korupsi ya kecil-kecilan? Di sini tugasmu sebagai apa?”  “Saya hanya tukang di sini, Pak.”  “Baru tukang saja bertingkah, sekarang kelihatan ya kalau kamu ternyata sering mainin nota seperti ini.”  “Pak, ini Ini baru pertama kalinya saya disuruh. Lagi pula Demi Allah, saya tidak sepeserpun memegang uang untuk sepeserpun untuk membayar pasir ini.”  “Kalau memang kamu tidak punya uang dan kamu tidak mau mengakui kalau ini adalah kesalahanmu, kamu juga tidak mengaku kalau kamu sudah mengambil uangnya, maka sekarang juga kamu angkat kaki dari sini dan jangan pernah injakan kaki Lagi di proyek ini!”  Faqih kaget bukan main mendengar kata-kata sang Bos Besar.  “Tapi, Pak. Saya memang tidak bersalah!” Faqih mencoba untuk membela diri.  “Jangan banyak bicara lagi, pergi kamu dari sini! Sekarang!”  Para pekerja yang saat itu melihat ketidakadilan yang harus dipikul oleh Faqih tak berdaya untuk menolong, mereka hanya bisa melihat ketika Faqih pergi dari tempat itu, berganti pakaian lalu berjalan dengan gontai meninggalkan lokasi proyek. “Berapa yang harus dibayar?” tanya sang Bos Besar.  “Sesuai nota saja, Bos,” kata Sopir truk tadi.  Sang Bos Besar pun membuka dompetnya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu yang lantas diberikannya kepada Sopir truk.  “Ambil saja sisanya. Anggap saja sebagai biaya ganti rugi karena kamu sudah berlama-lama di sini dan hanya meladeni orang yang tidak becus itu.”  “Wah, terima kasih, Bos. Kalau begitu kami pamit sekarang juga.”  Sopir truk itu berikut keneknya yang tadi menurunkan pasir dari atas mobil truk langsung masuk kembali ke dalam mobil truk dan perlahan mobil truk itu berlalu meninggalkan area proyek.  “Kalian semua dengar ya, saya tidak mau lagi mendengar seperti ini. Kalian bekerja yang baik, maka lancar gaji kalian dibayar. Tapi kalau kalian bekerja sembarangan kalian akan sama seperti orang tadi yang baru saya usir dari sini.”  “Ya, Bos,” kata beberapa orang pekerja yang sejak tadi memperhatikan sang Bos Besar.  “Sudah. Kembalilah kalian bekerja, besok saya akan kembali lagi untuk meninjau hasil pekerjaan kalian.”  Tanpa menunggu jawaban sang Bos Besar kemudian berbalik badan dan masuk kembali ke dalam mobilnya, dan membanting pintu mobil dengan keras sebagai ungkapan luapan kekesalannya. Mobil pun berputar dan meninggalkan area proyek.  Para pekerja di proyek itu memang rata-rata adalah tukang dan kenek baru, sebab yang lama telah lebih dulu keluar karena tak tahan dengan perlakuan Mandor Salman.  Sekalipun baru bukan berarti mereka tak tahu kedekatan Pak Sofyan dengan Faqih, serta kedengkian Mandor Salman pada Faqih, dalam benak masing-masing saat itu yelah bertekad akan mengadukan hal ini kepada Pak Sofyan agar Faqih setidaknya bisa mendapatkan keadilan.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN