Lelaki Yang Kau Tolak Jadi Suami Ternyata Seorang Milyarder Tampan
#TERIMA_KASIH_TELAH_MENCINTAIKU (5)
Selamat Membaca!
Ahsan berjalan lunglai. Setelah diparkirkan sepeda motornya di halaman rumah dua lantai milik orang tuanya. Dia menuju ke dalam dengan perasaan tak karuan. Pikirannya masih tertaut pada Sukma. Kenapa perempuan itu sama sekali tidak ingin menemuinya, padahal dirinya sudah menurunkan harga diri dengan menghubungi nomor Sisil. Mendekatinya hanya untuk mencari alasan bertemu Sukma.
“Baru pulang, San? Habis dari mana?” Bu Emilia---ibu Ahsan bertanya ketika anak bujangnya baru saja masuk.
“Tadi ada perlu sebentar ke depan, Bu!” jawab Ahsan datar.
“Duduk dulu, San! Ibu mau bicara!” ujarnya. Dia masih duduk bersandar pada sofa sambil menonton acara kesukaannya di televisi.
Dengan malas, Ahsan menjatuhkan bobotnya pada Sofa di samping Bu Emilia. “Ada apa, Bu?” tanyanya dengan sorot mata pensaran.
“Ibu tahu kamu habis dari mana?” ujarnya datar. Lalu menatap wajah putranya yang tampak tiada semangat itu.
Ahsan berdecak sambil memalingkan muka.
“Kalau Ibu mau bahas itu, aku ke kamar saja, Bu! Gak usah ada yang dibahas lagi. Mending aku urus skripsi!” ucapnya sambil berdiri.
“Ibunya Sisil tadi telepon Ibu. Katanya kamu sudah mulai mau dekat dengan Sisil, ya? Ibu sih gak akan melarang, San! Asal kamu jangan lagi dekati Sukma. Dia sudah mau menikah. Jangan merusak kebahagiaan orang dan citra keluarga kita!” Tanpa diduga Bu Emilia berkata panjang lebar.
“Sudahlah, Ibu gak tahu apa-apa. Aku dan Sukma sudah berjanji akan menikah. Dia pasti dipaksa, Bu! Karenanya aku hanya ingin meminta kepastian dan mendengar dari mulut Sukma sendiri.” Ahsan akhirnya buka suara.
“Ahsan! Ibu gak akan pernah merestui hubungan kamu jika caranya seperti ini. Lagian kata Bu Amijah---ibunya Sisil. Sukma itu hanya lulusan SMP. Ibu gak yakin dia memiliki attitude yang baik juga. Ibu minta kamu lupakan dia! Sepertinya Sisil lebih baik dari pada Sukma. Atau kamu bisa cari wanita lain.”
“Sudahlah, Bu! Aku gak mau bahas tentang itu, aku mau urus skripsi dulu!”
Ahsan tak menanggapi ocehan panjang lebar sang Ibu. Rupanya Ambu alias Bu Amijah bergerak cepat. Selain memangkas jalur komunikasi Ahsan dan Sukma. Dia pun langsung menerobos lapisan berikutnya yaitu berbicara pada Ibunya Ahsan. Memperkenalkan Sisil sebagai sosok sempurna dan Sukma sebagai sosok hina.
Ahsan masuk ke dalam kamar. Tidak seperti apa yang diucapkan. Laptop dan beberapa bahan skripsi yang berserakan dia abaikan. Jemarinya kembali menggulir layar. Mencari kontak bernama masa depan yang masih dia simpan.
Diteleponnya berulang. Ahsan masih akan terus berusaha sebelum janur kuning benar-benar berkibar. Namun panggilannya lagi-lagi diabaikan.
“Apa aku harus mendekati Sisil untuk membuat Sukma cemburu dan kembali padaku dan sadar jika dia sebetulnya tidak bisa melepasku?” gumam Ahsan dalam d**a.
Disimpannya gawai keluaran terbaru itu di atas nakas. Dia duduk termenung sambil menyugar rambutnya. Berkali-kali menarik napas kasar. Begitu tinggi tembok yang dibangun Sukma untuknya kali ini.
“Dek … Sukma!” ucapnya sambil memejamkan mata dan menarik napas panjang. Membayangkan seraut wajah cantik itu diingatannya. Senyuman, tawa, canda sederhananya semua terbayang kembali. Berputar-putar dalam memori.
***
Di salah satu bilik sempit di mana Sukma tengah menyibukkan diri dengan tulisan dalam sebuah buku diary. Menuangkan cerita anak-anak yang gembira. Cerita yang akan dibacakan untuk anak-anaknya kelak agar tak kesepian. Tidak sepertinya yang sejak kecil merasakan kosong dan kehilangan kasih sayang. Sukma bertekad ingin menjadi orang pertama untuk membahagiakan putra-putrinya kelak. Menemaninya bermain, menggambar, masak-masakan, main mobil-mobilan. Setiap sebelum tidur mengajarkannya doa dan membacakan cerita-cerita anak penuh hikmah yang ditulisnya. Dirangkainya dengan indah meski ternyata kini jodoh berkata lain. Dia harus menikah dengan orang asing.
Derit pintu terbuka. Sisil datang sambil duduk di tepi tempat tidur Sukma. Sukma hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada buku tulisnya.
“Tadi Ahsan ke sini!” ujar Sisil.
“Hmmm!” Sukma hanya berdehem.
“Dia ngajak aku jadian, gimana ya menurut kamu?” ucap Sisil berbohong.
“Terserah!” jawab Sukma tak acuh.
“Kamu cemburu?” Sisil menelisik wajah Sukma.
“Bukan urusan kamu, Sil! Sudah sih pergi dari kamarku, jangan ganggu!” Sukma melirik sekilas lalu fokus kembali pada bukunya.
“Ih baperan! Bilang aja cemburu!” ucap Sisil sambil terkekeh. Dia berdiri lalu membungkuk sambil mengucapkan kalimat singkat tapi menyebalkan.
“Tadi Ahsan nyium aku, rasanya deg deg ser!” ucapnya. Lalu Sisil melangkah meninggalkan kamar Sukma.
Goresan tangan Sukma terhenti. Moodnya mendadak berantakan mendengar kalimat terakhir yang Sisil ucapkan.
“Mas Ahsan? Apakah benar semudah itu dia berpaling? Bahkan sampai hal sejauh itu?” lirih Sukma. Tetap saja sisi nuraninya masih menaruh rasa besar pada lelaki yang nyaris sempurna itu.
“Lalu apa urusanku jika benar. Toh, aku pun malah sudah jauh mengambil keputusan. Aku ini calon istrinya orang. Tidak pantas jika masih harus memikirkan Mas Ahsan.”
Sukma membaringkan tubuh. Ditutupnya buku itu dan disimpan. Sudah tidak ada lagi selera untuk meneruskan tulisan.
***
Waktu berjalan terasa cepat. Dua minggu sebelum menikah, keluarga Pak Bagas akan datang lagi. Membawa putra dan cucu kesayangannya katanya untuk dikenalkan pada Sukma.
Dari semenjak hari kedatangan Pak Bagas waktu itu. Sukma sudah tidak diijinkan lagi untuk menjaga toko sembako. Pak Bagas memberi Ambu sejumlah uang untuk melakukan perawatan terbaik bagi Sukma karena sebentar lagi akan jadi calon pengantin.
Sebetulnya Ambu merasa sayang akan uang itu. Namun mendengar saran Sisil, akhirnya dia mau menggunakan uang itu untuk perawatan Sukma. Sisil takut, jika Sukma tampil jelek, maka calon suaminya yang duda dan cacat itu tidak mau dan membatalkan pernikahan.
Selama itu pula, Ahsan selalu datang setiap weekend. Sisil akhirnya dijadikan alasah Ahsan untuk berkunjung. Meskipun tak sekalipun Sukma keluar dan menyapanya. Namun Ahsan tidak patah semangat.
Sisil menjadi semakin besar kepala. Dia mengira Ahsan sudah mulai tertarik padanya. Bahkan dia sudah semakin berani meminta di antar ke sana dan ke mari oleh Ahsan.
“Ma, ini pakaian untuk ketemuan nanti sama anak Pak Bagas. Hari minggu mereka akan datang. Nanti pagi-pagi kamu siap-siap untuk ke salon, ya! Tapi Sisil gak bisa nganter kamu karena ada janji mau pergi sama Ahsan. Kamu berangkat sendiri saja naik ojek. Salonnya sudah tahu kan? Tempat biasa kamu pergi itu!” Ambu menyodorkan dua baju baru pada Sukma.
“Iya, Ambu! Makasih!” Sukma menerima pakaian itu. Dua buah dress minimalis sama dengan yang Sisil punya.
“Ambu, aku tapi gak mau model seperti ini! Terlalu terbuka. Aku pakai baju bekas yang Ambu kasih saja. Itu masih lebih sopan.” Sukma menatap mini dress dengan belahan d**a terbuka itu.
“Ya ampuuun , Sukma! Kamu itu harus tampil maksimal! Ambu mau kamu tampil sempurna. Jangan sampai anak Pak Bagas mundur ketika melihat penampilan kamu yang kumal! Raga akan datang juga katanya.” Ambu mendelik kesal.
Sukma menarik napas kasar. Namun dirinya memang benar-benar tak nyaman. Sekali lagi menggeleng dan memberikan kembali dress itu pada Ambu.
“Aku akan berdandan terbaik, sesuai jati diriku. Ambu jangan khawatir, dia tidak akan menjadikan Sisil korban. Ambu tenang saja. Aku tahu diri. Aku akan balas budi. Ambu jangan khawatir …,” lirih Sukma dengan hati gemetar.
Rasa sedih itu bukan karena baju yang tak sesuai, tetapi lebih pada alasan Ambu yang ketakutan jika Sisil yang akan jadi korban.
"Ya sudah terserah kamu! Nanti Ambu kasih uang buat kamu beli baju baru. Beruntung Pak Bagas ngasih banyak. Kamu itu sudah Ambu belikan malah banyak alasan. Awas saja kalau sampai anaknya Pak Bagas itu membatalkan pernikahan dan minta nikah sama Sisil. Kamu Ambu sumpahin jadi perawan tua!"
Sukma menunduk. Lalu menatap punggung Ambu yang berjalan menjauh.
"Ibu ... Sukma butuh Ibu ... Bapak ... Peluk Sukma, Pak! Kuatkan Sukma!" lirihnya sambil menyeka air mata.
"Ingin rasanya aku berlari meninggalkan rumah ini! Pergi bebas memilih hidup sendiri, tetapi ke mana? Bahkan hanya Abah sama Ambu yang selama ini peduli? Ya Allah, semoga pernikahan ini adalah jalan terbaik yang Kau berikan untukku!" Sukma kembali menguatkan hati.