Pagi-pagi, Maira tampak sudah rapi dengan setelan blouse berwarna biru dan celana kulot berwarna hitam. Rambutnya yang hitam dan panjang diikat ke belakang plus dengan make up minimalis membuatnya terlihat segar dan sedap dipandang.
Saat ia keluar kamar hendak menyiapkan sarapan, tampak Evan sudah duduk di sofa keras ruang tamunya. Sofa keras sebab sofa itu hanya sofa murahan yang busanya saja hanya alakadar. Raut wajah Evan terlihat menyeramkan dengan mata panda menghiasi wajah tampannya.
"Eh, Om sudah bangun," ujar Maira. Tadi saat ia hendak mandi, Evan masih tertidur.
Evan melirik tajam. Wajahnya jadi terlihat begitu menakutkan karena mata pandanya itu.
"Kau membuka peternakan nyamuk di sini?" tanya Evan membuat Maira kebingungan.
"Peternakan nyamuk? Kayak nggak ada hewan lain aja, Om, yang lebih baik diternak. Emangnya nyamuk laku ya dijual sampai diternak? Om ada-ada aja," ucap Maira sambil terkekeh geli.
"Tapi kenyataannya begitu. Kau tau, aku sepanjang malam tidak bisa tidur karena nyamuk banyak sekali. Aku baru bisa tidur hampir jam lima pagi, tapi baru saja tertidur, suara tukang sayur sudah rame sekali. Astaga, pokoknya hari ini aku mau kamu pindah ke apartemenku. Titik."
"Om, Om nggak bisa begitu. Ambil keputusan sendiri seenaknya," kesal Maira.
"Lalu kau mau aku harus bagaimana? Tidur di kamarmu, tak boleh. Apa kau mau aku setiap malam tidur di sini? Bisa-bisa baru tiga hari, aku sudah di opname karena terkena penyakit demam berdarah atau darahku habis karena diserang ternakmu itu," omel Evan tak kalah kesal.
"Siapa pula yang ternak nyamuk, Om. Ya, salah Om sendiri kenapa tidur di sana sudah tau banyak nyamuk."
"Lalu aku harus tidur di mana, hah?" Lama-lama Evan bisa darah tinggi menghadapi Maira yang menyebalkan.
"Ya ngapain tanya aku? Om punya tempat tinggal sendiri 'kan? Kenapa nggak pulang aja sana? Daripada tidur di sini nyamukan."
Evan menggeram kesal. Apa perempuan itu lupa kalau mereka sudah menikah? Memangnya suami istri mana yang tinggal di rumah berbeda? Kecuali salah satunya harus kerja di luar kota, bolehlah tinggal di tempat berbeda. Lah mereka saja tinggal di kota yang sama, masa' tinggal terpisah.
"Kamu ngusir aku?"
"Aku nggak usir, ya. Tapi bagus kalau Om sadar dan mau pulang."
"Maira Sabila binti Renita Citra, apa kau lupa kita sudah menikah?"
"Aku nggak lupa, Om. Nggak."
"Kalau kau nggak lupa, kenapa kau malah bilang begitu, hah? Kau ingin membawa laki-laki lain ke mari? Iya?" sentak Evan emosi.
"Om, jangan bicara sembarangan! Aku mengatakan itu demi kebaikan kita. Aku sudah memenuhi permintaan Om untuk jadi pengantin pengganti Mama. Sekarang tugas aku udah selesai dong. Jadi Om pulang aja. Atau kalau Om mau ceraikan aku sekarang juga, aku nggak masalah. Yang penting, urusan aku udah selesai. Aku sudah bertanggung jawab jadi semuanya selesai," jawab Maira tak kalah emosi.
"Kau pikir hanya dengan menjadi mempelai wanita pengganti, semua selesai? Jangan mimpi!" ucap Evan sinis.
Maira terkesiap.
"Om, kenapa ...." Belum sempat Maira menyelesaikan kata-katanya, Evan sudah lebih dulu mengangkat tangan membuat Maira terpaksa kembali menutup mulutnya. Ia ingin mendengar apa yang ingin Evan sampaikan.
"Pokoknya sore nanti saat aku jemput, semuanya sudah siap. Tak ada penolakan kecuali kau mau mengganti semua kerugianku," tegas Evan sebelum akhirnya beranjak dari kursi. Ia berjalan menuju pintu, namun karena kurang tidur, Evan sedikit sempoyongan dan ujung kakinya pun terantuk kaki meja. Evan nyaris tersungkur kalau tidak tangannya segera meraih kursi yang ada di depannya.
Maira yang tadinya ingin marah, justru menahan tawa. Evan yang merasa malu pun segera menegakkan tubuhnya dan berlalu dari sana dengan melangkah sok cool.
Sesampainya di mobil, ia mengumpat dan memakai kecerobohannya sendiri.
"Sial! Apa-apaan tadi? Memalukan," umpatnya sambil segera menyalakan mesin mobil. Setelah beberapa menit kemudian, mobil pun melaju keluar dari pekarangan rumah Maira yang tak berpagar.
Setelah kepergian Evan, Maira menghela nafas berat. Dipandanginya rumah tempat tinggalnya sekarang. Rumah itu memang tak besar dan sudah cukup tua. Dindingnya sudah banyak yang bolong, rapuh, bahkan ada beberapa bagian yang sudah rusak. Termasuk genteng. Saat hujan deras pasti mereka akan sibuk mencari wadah untuk menampung air yang merembes dari celah-celah genteng. Namun biar begitu, ia tetap menyayangi rumah masa kecilnya itu. Rumah tempat ia dibesarkan sepenuh hati oleh kakek dan neneknya. Tapi sayang, kakeknya harus tutup usia saat ia masih sangat kecil membuat sang nenek harus banting tulang untuk membesarkannya.
"Kalau aku pergi, bagaimana dengan rumah ini?" Maira tampak berpikir. "Ah, nantilah. Masalah itu bisa aku pikirkan lagi. Yang penting saat ini turuti saja perintah Om Evan. Daripada dia menuntut ganti rugi uangnya yang dibawa kabur Mama. Mama juga, ke mana sih sebenernya? Sampai kapan Mama akan bersikap semaunya seperti ini," ucap Maira yang sebenarnya sudah sangat lelah menghadapi segala rintangan hidup.
"Kau harus kuat, Mai. Yakinlah, badai pasti berlalu," ucap Maira mencoba membangkitkan semangat diri.
Maira yang rencananya ingin menyiapkan sarapan akhirnya memilih menunda sarapan sebab waktunya sudah tak banyak lagi.
"Ck, semua gara-gara Om galak nih. Jadi nggak sempat sarapan 'kan," omel Maira seraya mengunci pintu rumah. Setelahnya, ia membuka garasi khusus motor miliknya. Setelah memanaskannya sejenak, Maira pun segera melajukan motornya membelah jalanan menuju toko kelontong tempatnya bekerja.
Toko kelontong itu tidak hanya menjual sembako, tapi juga aneka sabun, perlengkapan kebersihan, alat tulis, dan obat-obatan yang kerap dijual di warung. Memang para pembeli pun rata-rata pemilik warung. Mereka sengaja membeli barang dagangan mereka di toko tempat Maira bekerja sebab harganya yang jauh lebih murah.
Pelanggan pagi itu tampak ramai. Keringat Maira sampai bercucuran karena kelelahan dan kepanasan. Belum lagi perutnya yang lapar membuat Maira terlihat begitu lemah.
"Maira, ambil ini," ujar seseorang membuat Maira pun sontak menoleh. Ia pun tersenyum.
"Bang Jaki. Apa ini?" tanya Maira saat melihat Jaki menyodorkan sebuah kantong yang entah apa isinya.
"Makanan. Makanlah biar bertenaga. Nggak lemes banget kayak gitu," ujar Jaki yang tak lain adalah anak pemilik toko kelontong itu.
"Ih, Bang Jaki tau aja aku lagi laper. Makasih, ya," ujar Maira yang kemudian menerima kantong berisi nasi Padang tersebut. Jaki pun tersenyum.
"Makanlah. Biar aku yang packing ini."
"Makasih banyak ya, Bang. Maaf sudah ngerepotin."
Jaki pun tersenyum seraya menatap kepergian Maira menuju dapur kecil khusus para pegawai membuat kopi dan makan.
***
Sore harinya Maira pun segera pulang ke rumah. Ia harus membereskan barang-barangnya terlebih dahulu sebelum pindah ke apartemen Evan. Maira tak mau membawa banyak barang. Ia harus membawa barang seperlunya saja. Apalagi Maira masih berpikir pernikahan ini hanya pernikahan sementara. Ia yakin, cepat atau lambat, mereka akan berpisah. Apalagi setelah ibunya kembali. Maira masih mengira, Evan dan ibunya saling mencintai. Oleh sebab itu, ia harus membentengi diri agar tidak sampai jatuh pada pesona suaminya itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara mobil Evan berhenti di depan pekarangan rumah. Maira pun gegas membuka pintu.
"Sudah siap?" tanya Evan saat melihat Maira sepertinya sudah mandi.
"Ya," jawab Maira singkat. Jujur saja, Maira rasanya berat meninggalkan rumah itu. Evan dapat melihatnya.
"Nanti sesekali kita akan tinggal di sini. Tapi sebelum itu, peternakan nyamuk di sini harus dibersihkan. Aku tidak mau mati karena kehabisan darah setiap menginap di sini," ucap Evan datar, tapi mampu membuat Maira mengembangkan senyumnya.
"Wah, makasih banyak ya, Om. Aku emang rasanya berat banget pindah. Kalau bukan karena Om yang terus ngancem, mana mau aku ikut sama Om," ucap Maira santai. Evan melirik kesal. Padahal ia tahu Maira memang terpaksa ikut dengannya, tapi mendengar sendiri penjelasan Maira entah mengapa membuatnya kesal.
Kini keduanya sudah berada di dalam mobil. Evan pun melajukan mobil dengan kecepatan standar.
"Kita mampir ke rumah orang tuaku dulu. Mama mengundang makan malam bersama," tukas Evan membuat mata Maira seketika terbelalak.
"Apa? Om kenapa nggak bilang dari tadi sih?" pekik Maira kesal.
"Ini sudah bilang. Mau dari tadi, sekarang, atau nanti 'kan sama aja," jawab Evan santai.
"Ya bedalah, Om. Aduh, Om ini, bikes banget sih."
"Bikes?" beo Evan sambil mengemudikan mobilnya.
"Iya, bikes. Bikin kesel."
"Emangnya kenapa sih? Kamu nggak mau?"
"Bukan nggak mau, Om," jawab Maira geregetan.
"Ya, terus?"
"Ih, Om apa nggak liat baju yang aku pake?"
"Liatlah. Aku belum buta. Emang kenapa?"
Maira rasanya ingin menangis mendengar pertanyaan Evan. "Aku pikir Om langsung ajak pulang ke apartemennya, Om, makanya aku langsung pake daster ini. Apa kata Mama Om dan yang lain kalau liat aku kayak gini? Dikiranya entar Om abis culik anak-anak, tau nggak sih," pekik Maira kesal. Bagaimana tidak, ia sekarang sedang memakai daster hello kitty yang membuatnya persis seperti anak kecil.
Tawa Evan akhirnya meledak. Sejak tadi ia sudah menahan tawanya itu. Maira benar-benar persis anak kecil memakai daster hello kitty seperti itu. Namun, Evan pura-pura tidak tahu. Ia justru suka melihat kesederhanaan Maira.