Maira tampak mondar-mandir di dalam rumah. Perasaannya benar-benar tidak menentu. Sebentar lagi jam 6 pagi. Semua orang yang berkepentingan akan segera berdatangan. Beruntung kegiatan masak-memasak alias menu untuk acara setelah akad nikah dipesan dari catering jadi ia tidak perlu berusaha payah mengurus segala sesuatunya. Acaranya pun langsung diselenggarakan di depan masjid di mana akad nikah akan dilangsungkan. Jadi rumah hanya digunakan sebagai tempat berkumpul untuk orang-orang yang berkepentingan saja.
"Duh, Ma, Mama sebenarnya ke mana? Kenapa Mama pergi begitu saja? Kenapa Mama justru pergi di hari pernikahan Mama? Aku harus apa sekarang? Pasti Om Evan dan keluarganya akan benar-benar marah. Kenapa Mama tega ninggalin aku? Apa yang harus aku lakukan, Ma? Apa?"
Maira–gadis berusia 19 tahun itu hanya bisa menangis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia masih terlalu belia. Bahkan ia baru satu tahun yang lalu lulus SMA. Setelah lulus SMA, Maira tidak melanjutkan pendidikannya. Ia justru bekerja di sebuah toko kelontong di pasar. Hal itu karena ia membutuhkan uang untuk biaya pengobatan sang nenek yang dirawat di rumah sakit karena penyakit gagal ginjal yang dideritanya. Kondisi yang sering tiba-tiba drop membuat sang nenek harus tetap berada di sana.
Meskipun biaya perawatan ditanggung asuransi pemerintah, tapi terkadang ada obat-obatan tertentu yang harus ia beli secara mandiri. Karena itulah, ia memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi ibunya lepas tangan.
Yah, memang sejak dulu Renita tidak begitu memedulikan Maira. Hal itu karena Maira terlahir di luar nikah. Menurut cerita, kekasih Renita yang tak lain adalah ayah biologis Maira meninggalkan Renita begitu saja saat mengetahui kehamilan Renita. Alhasil, Renita jadi membenci Maira. Bahkan dulu ia berkali-kali mencoba mengugurkan kandungannya. Beruntung, Maira terlahir dengan sehat tanpa kekurangan apa pun.
Sejak lahir, nenek Maira-lah yang mengurus dan membesarkan Maira. Karena itu, ia takut sekali kehilangan sang nenek yang begitu disayanginya. Sementara sang ibu justru lepas tangan bahkan lebih sering meninggalkan Maira dengan dalih bekerja di luar kota. Ibu Maira juga tidak pernah menikah. Jadi seumur hidupnya, Maira tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah.
"Mai," panggil Lia gugup.
Maira yang masih mengenakan baju tidurnya pun mendekat pada Lia. "Ada apa, Tan?"
"Itu ... Anu ... Eee, calon ayah tiri kamu, dia ... dia ada di luar," ucap Lia membuat bulu kuduk Maira seketika berdiri. Ia takut sekali. Apalagi setelah mendengar bentakan Evan di telepon tadi. Terdengar jelas kalau ia benar-benar marah. Maira yang ketakutan pun reflek menutup panggilan itu.
Namun, Maira tidak menyangka ternyata laki-laki itu justru datang ke mari.
"Tan, temenin Maira, ya? Maira takut," lirih Maira yang benar-benar ketakutan.
Lia menggeleng. Melihat aura kemarahan yang terpancar dari wajah Evan saja sudah membuatnya ketakutan, apalagi kalau harus bertemu secara langsung. Jelas Lia tidak berani.
"Nggak deh, Mai. Maaf, Tante terus terang takut. Kamu sendiri aja, ya. Tante yakin deh, dia nggak akan ngapa-ngapain kamu. Kamu segera temui gih, sebelum dia semakin marah." Lia justru mendorong tubuh Maira agar segera keluar dari kamar dan menemui Evan.
Dengan jantung yang berdebar kencang, Maira pun mencoba memberanikan diri menemui Evan. Maira seketika menelan ludahnya kasar saat melihat sosok tinggi besar Evan sudah berdiri di ruang tamu sambil berkacak pinggang.
"O-Om Evan," panggil Maira dengan suara bergetar ketakutan.
Mendengar suara Maira, Evan pun segera membalikkan badannya. Lalu ia berjalan dengan gagah menuju Maira. Melihat sorot mata tajam Evan membuat Maira semakin dilanda ketakutan luar biasa. Ia bahkan reflek mundur ke belakang khawatir Evan melakukan sesuatu seperti memukulnya–mungkin.
"Jelaskan padaku, apa maksud perkataanmu ditelepon tadi? Di mana ibumu? Katakan!" tegas Evan dengan suara menggelegar.
"Maira ... Maira nggak tau, Om," cicit Maira.
"Bagaimana kamu nggak tau? Kamu itu anaknya. Cepat, beritahu di mana ibu kamu! Cepat!" sentak Evan membuat tubuh Maira seketika bergetar hebat. Ia menggeleng cepat karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.
"Apa kau bisu, hah? Aku bilang, katakan di mana ibumu! Jangan hanya menangis!" sentak Evan lagi membuat air mata Maira semakin membanjir.
"Ta---tapi Maira benar-benar nggak tau, Om. Mama ... Mama pergi tanpa pamit. Mama nggak ada bilang apa pun. Tau-tau pas Tante Lia nyariin, ternyata Mama ... nggak ada," ujar Maira tergagap. Tenggorokannya tercekat. Bahkan setiap kata yang keluar pun rasanya sulit sekali untuk terucapkan.
"Sial!" umpat Evan yang sudah menendang meja hingga terdorong kasar membentur kursi di dekatnya.
"Aku bilang, jangan bercanda! Katakan di mana Renita! Katakan!" sentak Evan lagi dengan suara menggelegar. Maira sontak menjatuhkan tubuhnya dan terduduk di lantai. Ia sesenggukan. Bagaimana caranya menjelaskan pada Evan kalau ia benar-benar tidak tahu di mana ibunya?
"Tapi ... tapi Maira benar-benar nggak tau, Om. Sumpah. Maira nggak tau. Mama nggak ada bilang apa-apa. Tau-tau udah nggak ada. Maira nggak bohong, Om. Maira aja terkejut saat tau Mama pergi tanpa pamit," ujar Maira sambil terisak-isak. Ia sesenggukan. Air matanya mengalir deras. Ia bingung, bagaimana lagi caranya untuk menjelaskan pada Evan kalau ia benar-benar tidak tahu di mana keberadaan sang ibu.
"Apa yang Maira katakan itu benar, Pak. Maira benar-benar nggak tau. Saya saksinya," sela Lia yang akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Sejak tadi ia bersembunyi di balik tirai. Ia pun takut. Namun, ia pun tidak tega melihat Maira yang harus mendapatkan makian dari calon ayah tirinya tersebut.
"Kamu siapa, hah? Jangan ikut campur urusanku!"
"Saya bukannya termasuk ikut campur, Pak. Tapi saya hanya ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Saat saya datang, Maira baru saja terbangun dari tidurnya. Dan saat ia ingin memanggil Renita, ternyata Renita sudah tidak ada. Kebetulan saya MUA yang diminta Renita membantu merias dia nanti. Makanya saya datang pagi-pagi sekali. Tapi ternyata Renita sudah tidak ada saat saya datang. Maira jujur. Dia nggak bohong. Dia benar-benar tidak tau kalau ibunya nggak ada. Sebab Renita pergi tanpa sepengetahuan Maira," papar Lia dengan jantung yang kebat-kebit.
Evan meraup wajahnya kasar. Padahal jam 9 nanti mereka akan segera menikah. Meskipun hanya pernikahan sederhana tanpa pesta pernikahan, tapi tetap saja, ia sudah menyampaikan perihal pernikahannya ini kepada seluruh anggota keluarganya. Sudah tidak ada waktu lagi. Mana mungkin tiba-tiba ia menyampaikan kalau pernikahannya batal. Apa yang akan keluarganya kelak katakan.
Evan menghembuskan nafas kasar. Ia membalikkan badannya dan menatap Maira yang masih menangis sesenggukan di lantai dengan sorot mata tajam.
Mau tak mau, ia harus membuat keputusan. Mungkin keputusan ini akan sangat mengejutkan Maira. Namun, ia sudah tidak memiliki pilihan lain. Evan harus melakukan itu.
"Ibumu sudah melarikan diri dengan membawa uangku. Karena itu, kau harus bertanggung jawab dan bersedia menikah denganku. Tidak ada penolakan kecuali kau bersedia aku penjarakan!" tegas Evan dengan suara menggelegar membuat Maira sontak mendongakkan kepalanya.
"Apa?" seru Maira yang terkejut bukan main.