"Jadi kau tinggal hanya dengan nenekmu?" tanya Naysila dengan nada kurang ramah.
Kini Evan dan keluarganya memang sedang mampir ke kediaman Maira. Maira menyambut Evan dan keluarganya dengan ramah, namun sedikit canggung. Apalagi rumahnya tergolong kecil. Melihat penampilan Evan dan keluarganya, dapat Maira pastikan bukanlah berasal dari keluarga biasa. Mereka pasti merupakan keluarga berada. Maira merasa rendah diri dengan perbedaan mereka yang begitu mencolok.
Naysila tampak berjalan di tengah-tengah rumah. Memandangi foto-foto Maira dan sang nenek. Tak ada foto Renita karena memang Renita tak pernah mau mengambil foto dirinya dengan sang ibu pun putrinya–Maira.
"I-iya, Tan," jawab Maira gugup.
"Jadi di mana nenekmu? Kamu sudah tidak memiliki orang tua?"
"Nenek dirawat di rumah sakit, Tan. Kalau orang tua, masih ada Mama. Tapi ... Mama kerja di luar kota. Beliau nggak bisa pulang mendadak," ujar Maira terpaksa berbohong tentang Renita. Bagaimanapun ibunya, ia tak mau orang-orang mengecap jelek sang ibu.
"Oh, jadi nenekmu rawat? Sakit apa?" tanya Nastiti ramah.
"Nenek gagal ginjal, em ...." Maira kebingungan harus memanggil ibu Evan apa.
"Mama. Panggil Mama. Bukankah sekarang kamu sudah menjadi istri Evan. Artinya kau sudah menjadi putri Mama dan Papa juga, benar 'kan, Pa?" Nastiti menoleh kepada sang suami.
Haidar tersenyum tipis. "Apa yang Mama kamu sampaikan benar. Semoga kamu senang bergabung dengan keluarga kami, ya, Mai," timpal Haidar.
"Baik, Ma, Pa," jawab Maira lirih. Naysila yang melihatnya hanya berdecih. Entah mengapa, ia tidak suka melihat sosok Maira.
"Oh, ya, kata kamu tadi, nenek kamu dirawat di rumah sakit? Boleh Mama dan Papa menjenguknya?" tanya Nastiti.
Sontak mata Maira terbelalak. Neneknya tidak tahu apa-apa tentang pernikahan ini. Bahkan pernikahan ibunya pun ia tak tahu sama sekali. Maira takut neneknya syok mengetahui ia sudah menikah. Ingin menolak, ia khawatir kedua orang tua Evan tersinggung. Ia melirik Evan. Beruntung Evan yang paham pun langsung menyela.
"Lain kali saja, Ma. Apa Mama nggak capek? Lagipula sepertinya jam besuk sudah berakhir."
"Apa yang Evan katakan benar, Ma," timpal Haidar. "Oh, ya, Van, kau mau di sini dulu atau pulang?" imbuh Haidar bertanya pada Evan.
"Kalau Mama sama Papa mau pulang, pulang aja dulu. Aku di sini dulu. Maira juga nggak mungkin bisa langsung pindah."
"Baiklah. Kalau begitu, Mama dan Papa pulang dulu, ya."
"Aku juga. Di sini panas," sela Naysila membuat Haidar geleng-geleng kepala.
Aidil–suami Naysila pun hanya bisa menghela nafas panjang.
"Baik, Ma, Pa, Tan ...."
"Eh, kok manggil Tante sih?" Nastiti terkekeh. "Naysila itu 'kan adik Evan. Meskipun secara usia dia lebih tua dari kamu, tapi karena kamu istri Evan, statusnya sekarang adalah adik ipar. Panggil aja dia nama–Naysila," imbuh Nastiti.
"Tapi ...."
"Ma, jangan aneh-aneh deh. Masa' Mama nyuruh dia manggil nama sih?" protes Naysila. Usia mereka terpaut jauh. Jelas saja Naysila menolak.
"Sila!" tegur Haidar membuat Naysila menutup mulutnya kesal.
Akhirnya, kedua orang tua Evan pun adik dan adik iparnya pulang. Kini hanya ada Maira yang akhirnya bisa bernafas lega. Yah, meskipun belum benar-benar lega, setidaknya ia sudah tidak terlalu tertekan lagi.
Baru saja Maira menarik nafas lega, tiba-tiba matanya bersirobok dengan mata Evan yang menatapnya tajam.
"Sebaiknya kau jujur sekarang, katakan di mana Renita? Aku sangat tidak suka dibohongi. Lebih baik kau jujur sekarang sebelum kau merasakan kemarahanku," desis Evan.
Ingin rasanya Maira berteriak, ia benar-benar tidak tahu di mana ibunya, tapi kenapa Evan tak kunjung mengerti juga?
"Om, mau berapa kali lagi aku bilang sih, aku nggak tau, nggak tau, dan nggak tau. Aku benar-benar nggak tau di mana, Mama. Kalau aku tau, sudah aku kasi tau dari tadi. Tapi kenyataannya, aku benar-benar nggak tau. Kalau Om mau marah, marah aja sana. Maira capek. Dari subuh bangun, nggak tidur lagi," omel Maira kesal. Lama-lama ia bisa gila kalau terus dihantam masalah seperti ini.
"Bukankah tadi kau sendiri yang bilang kalau ibumu bekerja di luar kota?"
"Terus aku harus bilang apa? Aku bilang, Mamaku kabur karena nggak mau nikah sama anak Mama dan Papa, begitu?"
"Kau ...," desis Evan.
"Apa? Om, istirahat dulu deh. Jangan marah-marah mulu. Entar cepat tua. Ingat, perbedaan umur kita itu cukup jauh, entar Om beneran cepat tua. Ah, lebih parah lagi kalau Om mendadak hipertensi, kan berabe tuh. Yah, kecuali Om pingin cepat-cepat mati. Aku sih, nggak masalah mendadak menjanda. Jadi aku bisa nikah sama yang lebih muda nanti," cerocos Maira yang kadung kesal dengan permasalahan yang sejak pagi tiada habisnya.
"Apa kau bilang? Jadi kau ingin menyumpahiku cepat mati?" raung Evan tak suka dengan kata-kata Maira barusan.
"Aku nggak bilang gitu kok. Tapi Alhamdulillah kalau Om nyadar. Udah dulu, ya, Om, sumpah, perut aku lapar, kepala aku sakit, badan aku capek, mata aku ngantuk. Aku istirahat dulu, ya. Kalau Om mau marah, dipending dulu marahnya karena aku mau tidur," ucap Maira jujur karena memang ia sedang lapar, sakit kepala, capek, dan mengantuk. Namun, meskipun lapar, ia lebih memilih tidur dulu. Seperti kebiasaannya selama ini. Berharap setelah bangun dari tidur, ternyata semua hanya mimpi.
Baru Evan hendak membuka mulutnya marah, tapi Maira sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Evan mengumpat kesal, tapi Maira tak peduli. Tanpa melepaskan kebayanya, Maira langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang single miliknya. Perlahan, matanya terpejam.
"Semoga semua ini hanya mimpi," gumamnya sebelum benar-benar tenggelam dalam mimpi indahnya.
Sepeninggal Maira, Evan melepaskan jas yang membalut tubuhnya dan merenggangkan dasi. Sungguh, ia bingung dengan apa yang terjadi padanya kini. Pernikahannya kacau balau. Meskipun ia akhirnya tetap menikah, tapi ia tetap saja kesal karena Renita sudah mempermainkan dirinya. Padahal mereka terikat perjanjian kontrak pernikahan, tapi setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, Renita justru menghilang dengan membawa semua uang dan perhiasan yang akan dijadikannya mahar.
Kontrak pernikahan. Ya, sebenarnya Evan dan Renita tidak pernah menjalin hubungan. Karena tuntutan keluarga yang ingin agar ia segera menikah, akhirnya Evan pun membuat rencana mencari seseorang untuk menikah kontrak dengannya. Pertemuannya tanpa sengaja dengan Evan membuat Evan akhirnya menjatuhkan pilihan dengan mengajak Renita bekerja sama menikah kontrak dengannya. Renita setuju. Bahkan mereka sudah menandatangani perjanjian kontrak pernikahan. Akan tetapi, Renita tiba-tiba menghilang entah apa sebabnya membuat Evan kebingungan bukan main. Tak terima dengan apa yang Renita lakukan, Evan lantas memanfaatkan Maira menjadi pengantin penggantinya. Ia berencana membalas perbuatan Renita melalui putrinya.
Hanya saja, mungkinkah rencananya itu berhasil? Bagaimana bila Maira tahu rencana Evan tersebut?