Dia menggulir dan menemukan nama Levin, jarinya menekan tombol membuat panggilan. Menarik napas ketika mendengar nada sambungnya. Hanya sesaat saja, dan dia tahu telepon darinya ditolak. Alasannya sudah jelas, Levin pasti sedang bersama kekasihnya. "Sialan!" Dia membenturkan tangannya pada stang motor, membiarkan air mata menetes dari dagu ketika dia menatap ponselnya. Betapa menyebalkannya itu. Kemudian Lizzie menatap satu nama di ponselnya, keraguan muncul kepermukaan tapi jemarinya justru bergerak lebih cepat daripada pemikirannya yang saat ini sedang bercabang. Tanpa sadar dia berhasil membuat panggilan. Lizzie mendekatkan ponsel tersebut ketelinga. Menunggu dengan sabar, apakah orang itu bisa dia jangkau.
“Apa?”
“Umm … hei, Om tampan, apa kau sedang sibuk sekarang?”
Ada beberapa suara seperti kertas yang sedang diacak-acak. “Sedang membaca desposisi, minum secangkir teh, menurutmu apa itu bisa dikatakan sibuk?”
“Ingin ditemani?”
Tiba-tiba Lizzie merasa tak nyaman duduk dikursi motornya. Gugup sekali rasanya mendengar jawaban yang akan dia dapatkan. Sejujurnya dia merasa sangat konyol karena bertanya begitu pada Daxon dan lebih merasa bodoh lagi ketika dia menjadikan pria yang lebih tua darinya itu sebagai opsi kedua lantaran Levin tidak bisa dia jangkau.
“Apa tag hargamu bisa menjebol dompetku?” tanyanya dengan suara yang terdengar menggoda.
“Karena aku yang menghubungi duluan, kurasa aku akan memberikanmu diskon khusus.”
“Penawaran menarik, kurasa aku butuh teman untuk melepaskan stress.”
Dia memarkirkan motornya di dalam ketika pintu gerbang di buka secara otomatis. Ya, Lizzie ada disini lagi, melemparkan tubuhnya untuk diisi oleh afeksi dan membuang seluruh rasa frustasi.
Gadis itu mengambil napas dalam-dalam, dia keluar dan berjalan menuju ke arah pintu kayu yang besar. Sebelum mengetuk dia sempat mempertimbangkan untuk kabur dan menyudahi ini. Tapi sialnya, belum pula dia memutuskan pintu dibuka lebar oleh Daxon seolah pria itu memang sudah menunggunya di balik pintu besar itu.
“Jadi, mau curhat dulu ?” Dia menyingkir dan memberikan ruang bagi Lizzie untuk memasuki kediamannya. “Kau terdengar seperti hampir menangis putus asa di telepon.”
“Apa itu sangat penting untuk diketahui?” Lizzie menyahut, melepaskan jaket hoodie yang dia kenakan berikut pula dengan sepatu hitamnya dengan setengah ditendang. Daxon mengamati Lizzie yang sedang melampiaskan amarahnya pada benda mati. Tapi dia tidak banyak berkomentar atau bereaksi.
“Sebaiknya kau mandi dulu,” ungkap Daxon yang segera mengambil sepatu Lizzie dan meletakannya pada rak di dekat pintu dengan rapi.
“Apa? aku tidak mau mandi.”
“Kalau kau ingin bercinta, maka kau harus.”
“Kau bercanda, Om? Hari pertama kau tidak memintaku mandi dulu.”
“Itu karena aku meminum banyak alkohol sehingga aku tidak begitu peduli,” sahut Daxon santai. “Terlebih sekarang aku sadar seratus persen dan kurasa air dingin bisa membantu mendinginkan kepalamu juga. Bukankah akan lebih nyaman bila kita berdua bersih?”
“Beri aku obat kumur.”
Daxon menggeleng. “Aku bilang mandi.”
Merasa tidak bisa menang berargumentasi, alhasil Lizzie hanya bisa menghentakan kakinya seraya mengeluarkan suara dengusan. “Baiklah, aku akan mandi. Puas?”
Daxon hanya melipat kedua tangan menyaksikan amukan kecil dari sang gadis yang sepertinya tidak berada dalam kondisi emosional yang baik. “Senang mendengarnya, aku tahu kau bisa bersikap kooperatif.”
Lizzie mendekati salah satu pintu yang dia tahu adalah kamar mandi di ruangan ini. Dia melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu, jika sebelumnya dia tidak menaruh perhatian tapi sekarang dia jadi lebih sadar bahwa pria ini benar-benar sangat perfeksionis dan pecinta kerapihan akut. Semuanya sangat rapi, ada tempat khusus untuk berbagai keperluan. Penataan yang sempurna sekaligus memudahkan penggunaan, dipadukan dengan handuk bersih yang terlipat di samping wastafel mencerminkan kepribadian Daxon bahwa dia sangat teliti dan penuh afeksi terhadap hal-hal kecil.
“Ini handuk dan kain lap,” ujar Daxon yang tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu seraya meletakan benda yang dia ungkapkan di samping wastafel.
Lizzie mengangguk dan hendak melepaskan pakaiannya sampai dia sadar bahwa pria itu tidak melangkah pergi sedikit pun dari tempatnya. Lizzie berhenti mengangkat kaos oblong yang dia kenakan dan berbalik menghadap pria itu seraya menatapnya lekat-lekat. “Umm … bisa kau pergi dulu, Om?”
Daxon menaikan sebelah alisnya. “Kau sadar betul kalau aku pernah melihatmu tanpa busana, kan?”
Semburat merah menyeruak ke pipi Lizzie. Itu memang benar, dan sialnya entah kenapa dia jadi malu sendiri. Melihat Lizzie yang berdiri membeku disana, Daxon hanya terkekeh kemudian mulai beranjak dari tempatnya berdiri. “Kau sangat lucu, Lizzie. Baiklah silahkan mandi, gunakan waktumu. Kalau butuh apa-apa kau bisa berteriak. Atau kau lebih suka kita mandi bersama?”
“No thanks, Om.”
Daxon menerbitkan senyuman simpul sebelum benar-benar pergi dari sana.
Sepeninggal pria tampan itu, Lizzie langsung menutup pintu kamar mandi. Dia menarik napas panjang, dan kembali mendapati wajahnya memerah tak normal saat berbalik menghadap cermin. Rasa panas membakar yang dia rasakan membuat dia jadi canggung terhadap dirinya sendiri. Lizzie menelponnya dan melemparkan tubuhnya kepada pria itu agar mereka bisa tidur bersama, hanya karena Levin tidak bisa dihubungi dan itu membuatnya makin frustasi. Siapa sangka begitu tiba, dia malah disuruh mandi, Daxon bertingkah seperti dia adalah ayahnya.
Hanya saja pria itu lebih baik karena tidak mengeluhkan soal pilihan hidupnya yang memilih jurusan seni di kampus.
Lizzie membiarkan satu persatu kain yang menutupi tubuhnya jatuh ke lantai. Dia menyalakan shower dan berdiri di bawahnya dengan mata tertutup. Air dingin yang membasahi setiap inchi dari kulit telanjangnya membuat suasana hati Lizzie sedikit jauh lebih baik dan terlebih itu juga membuat dirinya lebih segar. Membantu mengendurkan otot-ototnya yang tegang akibat pertengkaran dengan orangtua, dan fakta bahwa Levin masih ada di otaknya. Lizzie membiarkan kepalanya tertunduk ke depan, membuat air membasahi rambutnya dan membantu mendinginkan kepala.
Dia mengambil salah satu botol yang berisi sabun cair, menuangkan secukupnya pada tangan dan mencoba mengembalikan ke tempatnya semula sebelum tiba-tiba tangannya yang licin membuat benda itu jatuh dan menimpa kakinya. “Ah! Sial sekali!” Lizzie berteriak, rasa sakit yang menyengat langsung dia rasakan di kakinya.
Tapi hanya sebentar sebelum kemudian dia tertawa sendiri. Lihat betapa bodoh kelakuannya, betapa cerobohnya dia. Untuk sesuatu yang sederhana saja dia sudah melakukan kesalahan apalagi bila dia melakukan hal yang besar kan? rasa sesak itu kembali hadir. Lizzie menggelengkan kepalanya dan memutuskan untuk melanjutkan aktivitas mandinya, dia tidak ingin membuang lebih banyak waktu untuk merenung di kamar mandi. Lagipula bukan untuk itu fungsinya dia ada dirumah besar ini.
Alih-alih memakai pakaiannya kembali, Lizzie justru hanya melilitkan handuk di dadanya. Benda itu hanya cukup menutupi bagian penting tubuhnya saja, meski bokongnya tidak tertutup sempurna karena handuknya yang kekecilan.
“Haruskah aku repot-repot berpakaian, Om?” ujar Lizzie setelah dia keluar dari kamar mandi. Sengaja dia menaikan suaranya sedikit lebih tinggi untuk menarik atensi.
Tapi sayangnya Daxon tidak ada di kamar itu. Hanya sebotol air mineral di atas nakas dan beberapa cemilan manis ada pula botol yang aneh diatas sana sangat tidak cocok disejajarkan dengan makanan. Perhatiannya kemudian tertuju pada kasur yang berseprai putih. Selimut dan bantalnya telah di tata dengan rapi membuat Lizzie tergoda untuk mengacaukannya. Ya, dia melakukannya. setengah melompat ke atas tempat tidur dan meraih bantal yang terlihat begitu bersih dan memeluknya hingga menutupi wajahnya sendiri. Begitu menarik napas dia bisa merasakan aroma wangi yang lembut dari sana. Begitu segar, harum, dan bersih, sama seperti aroma yang terakhir kali dia cium dari tempat ini. Rumah ini betul-betul cerminan diri Daxon sendiri.
“Apa kau mengalami masa yang sulit?” ujar Daxon yang melangkah menuju ke arah kasur dari pintu masuk. Membuat Lizzie agak kaget, dan buru-buru mendongak dari bantal. Menggelengkan kepalanya.
“Kita disini bukan untuk berdiskusi, Om.”
“Ya memang, kau disini untuk menemani.”
“Itu juga karena kau yang memintanya,” sahut Lizzie cepat. “Dan kenapa ada lotion? Apa Om juga bermain dengan laki-laki muda?”
“Duduk.”
“Wow, terima kasih dengan jawaban yang tidak relevan atas pertanyaanku,” sahut Lizzie main-mian tapi dia tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh Daxon. Pria itu sudah menyingsingkan lengan bajunya, dan mengambil lotion yang dibicarakan oleh Lizzie, memerasnya ke tangan dan menggosoknya ke tangan.
“Kaki.”
“Benarkah? Apa Om serius?”
“Apa kau belum pernah mendengar istilah foreplay?” sahut Daxon. “Atau kalian anak-anak muda jaman sekarang, langsung terobos tanpa pemanasan?”
Lizzie menelan ludahnya sendiri tidak mengira bahwa pria ini bisa mengatakan sesuatu yang seperti itu keras-keras tanpa dosa. “Kalau begitu jangan menghisap jari kakiku.”
“Aku tidak akan melakukannya kecuali kau meni-pedi dulu.”
Lizzie tiba-tiba tertawa, aneh sekali. Padahal Daxon sama sekali tidak sedang bercanda tapi dia tergelitik untuk menanggapinya sebagai sebuah lelucon semata. Tapi begitu tangan Daxon yang kuat meraih kakinya dan setiap jarinya mulai bergerak menekan titik-titik di ototnya. Lizzie merasa ada sengatan berbahaya. Apa ini? apakah sebuah pijatan kecil dapat berefek begitu besar pada dirinya? belum pernah Lizzie merasa sangat b*******h hanya karena disentuh kakinya saja.
“Apa ini? kau mulai b*******h, gadis nakal?”