Lizzie keluar dari apartment-nya dengan mengendarai motor tanpa tujuan, bermaksud menghilangkan seluruh penat dan rasa stress yang menjemukan. Dia menemukan sebuah toko buku dan tanpa pikir panjang dia masuk ke dalamnya. Melihat jejeran apik seluruh buah pikiran dari pengarang besar disana dan betapa indahnya cover yang dibuat untuk menunjukan isi dari bukanya membuat Lizzie sedikit lebih tenang. Meskipun dia tidak terlalu suka membaca, tapi dia bisa menemukan kembali kedamaiannya dengan sebuah buku-buku tentang fotograpi dan beberapa buku seni yang dipajang disana.
“Hei, Lizzie, apa yang kau lakukan disini? seingatku kau bukan kutu buku.”
Lizzie mendongak dan mendapati wajah Levin yang menyeringai padanya di ujung rak. Gadis itu mengangkat bahu membuat ekspresi arogan diwajah si pemuda terpaksa memudar. Levin mendekat dan mengintip dari belakang bahu si gadis, mencari tahu buku apa yang membuat dia tidak fokus pada eksistensinya.
“Menyingkir dari bahuku, kau berat,” ujar Lizzie sambil mencoba mendorong muka pria itu menjauh dari bahunya. Tapi Levin jauh lebih keras kepala sehingga dia bahkan tidak bergeser seujung centi-pun setelah Lizzie berusaha menyingkirkannya.
“Semuanya baik-baik saja? mood-mu sangat tidak karuan padahal aku tidak melakukan apa-apa,”
Lizzie tidak menjawab, tapi dari ekspresi mukanya Levin sepertinya bisa menebak masalah gadis itu. “Bad art week?”
“Ya,” sahut Lizzie seraya menghela napas, Levin kemudian beringsut dari posisinya yang menaruh dagu dibahu Lizzie. Memilih menatap gadis itu lekat-lekat. “Aku merasa tidak ada perkembangan, dan Professor Pixys juga mengatakan hal yang sama.”
“Kau mengambil hati perkataan si gondrong itu?” sahut Levin tidak percaya, tapi berkat komentarnya Lizzie malah cemberut. Levin rasa dia salah berkata sehingga mesti memutar otak untuk kembali memberikan gadis itu susana yang baru. Dia lalu membungkuk untuk kemudian melihat buku yang dipegang Lizzie. “Mungkin kau bisa mencari hobby baru untuk sementara? Memotret misalnya seperti isi buku ini?”
Lizzie menaikan sebelah alis. Levin mengatakannya dengan sangat mudah seolah-olah membeli kamera adalah sesuatu yang nihil. Kamera adalah benda mahal dan bukan sesuatu yang bisa dibeli satu kedipan mata. Jangankan untuk membeli kamera, uang yang Lizzie dapatkan dari Daxon saja dia sedang hemat mati-matian.
“Kau benar-benar buruk dalam menghibur orang ya,” sahut Lizzie sebal kemudian dia mengedarkan pandangan ke segala arah. “Apa Marie bersamamu?”
“Tidak.”
Lizzie menelan ludah dan menyadari bahwa kini wajah pemuda itu terlalu dekat, bahkan hidung Levin telah menyentuh bibirnya. Lizzie langsung beringsut dari posisinya, menarik diri pada batas aman. “Hei, kita tidak berciuman. Kau ingat perjanjiannya? Just f**k buddies.”
Levin setengah tersenyum dan tertawa getir. “Aku tahu itu, aku tidak bodoh.” Dia kemudian menatap Lizzie lagi. “Tapi aku lebih suka melupakannya. Pernah dengar quarter life crisis? Kita semua sesungguhnya depresi di usia ini.”
“Ngomong-ngomong soal depresi,” sahut Lizzie yang menutup buku yang dia pegang keras-keras seperti mencoba untuk mengeluarkan amarahnya dengan itu. Dia kemudian mengembalikan buku tersebut kembali ke rak. “Bagiku kau tidak berhak mengeluh di depanku seperti itu. Sejauh yang aku tahu, apa yang kau lakukan hanyalah duduk dan merasakan dirimu dihisap dibawah sana. There’s literally no work in it for you.”
“Kau membuat sebuah argumentasi yang layak. Kau bawa mobil?”
“Hanya motor, dan aku parkir di tempat yang lumayan jauh dari sini.”
“Mobilku diparkir di belakang.”
Lizzie tahu bahasa tubuh ini. Mungkin kontak fisik bisa membantu. “Baiklah, kita ke mobilmu.”
***
Lizzie duduk di kursi mobil kembali setelah berlutut nyaris setengah jam, dia menyeka mulutnya dengan punggung tangan sementara Levin masih terengah-engah. Kepalanya menghadap ke jendela sementara celana yang dia gunakan masih di posisi melorot pada pergelangan kakinya. Pria itu membiarkan Lizzie repot dengan menyeka benda lengket di mukanya. Levin tertawa.
“Itu seksi sekali kau tahu.”
“Dasar muka kuda. Sudah kubilang aku hanya membersihkanmu tapi kau malah keluar lagi, kau membuatku jadi bau.” Meski mengutarakan keluhan, tapi sepertinya benar. Kontak fisik membuat dia merasa sedikit lebih baik, lega, dan bersemangat kembali. Walaupun perbuatan mereka salah dan Lizzie jelas tahu hal itu, tapi untuk sekarang dia tidak ingin memikirkannya lagi.
Mereka sudah menjadi rekan seks cukup lama, dan selama itu pula Marie tidak pernah tahu soal hubungan mereka yang melewati batas ini. Lizzie memang sedikit menyesal karena menggunakan kekasih sahabatnya untuk melepaskan hasrat, atau keluar dari stress yang dia rasakan. Tetapi faktanya sebelum mereka berkencan, Lizzie dan Levin juga adalah sepasang kekasih meski tentu saja mereka sudah putus dan terhubung pun hanya dengan cara ini.
“Tapi aku tahu kalau kau sangat menikmatinya, wajahmu jadi sedikit lebih cerah sekarang,” timpal Levin menggoda Lizzie. Dia mengatakan hal itu setelah membuka kedua matanya dan berhasil mengatur kembali napasnya.
“Shut up!”
“Kau tidak ketinggalan apapun, ‘kan?”
“Tidak.”
“Bagus, kalau begitu kita harus berpisah disini. Marie memintaku menjemputnya. Stay safe on the roads.”
“Ya,” sahut Lizzie kemudian, lalu membuka pintu mobil pria itu dan menutupnya keras-keras. Selalu seperti ini, ketika dia berada di atas maka setelahnya Levin akan membuat suasana hatinya jadi buruk lagi. Lizzie tahu bahwa berlama-lama dalam hubungan ini bersamanya hanya membuat segalanya tambah buruk. Mestinya dia tidak peduli, dan tidak melibatkan perasaan.
Hujan tiba-tiba turun, mulanya hanya rintik namun berkembang menjadi deras.
Oh sial, bahkan setelah dibuang setelah dipakai dan menyesalkan kini hujan membatu mendramatisir keadaan. Tapi setidaknya bau tanah yang terkena hujan bisa membantunya menyamarkan. Membasuh wajahnya dari keringat dan a******i Levin di wajahnya. Membiarkan wajahnya basah kuyup ketika berjalan, ini menyejukan. Gadis itu menyibak rambutnya yang basah hingga tidak menghalangi wajahnya.
Jika dipikirkan lagi sepertinya mereka berdua sadar atau tidak berkembang pada satu rasa yang sama. Faktanya Levin membiarkan dirinya duduk dikursi mobil dan mereka melakukannya disana. Bahkan membuat dia datang di mobilnya sendiri hanya dalam hitungan menit.
Tapi kembali lagi, bahwa itu semua hanya permainan. Mereka punya aturan yang tidak pernah dilanggar. Lizzie tidak akan pernah menciumnya. Ciuman hanya berlaku untuk kekasihnya dan Lizzie jelas bukan kekasih pria itu. Lizzie hanyalah seseorang yang dia gunakan untuk melepaskan hasratnya, begitu pula Lizzie yang melakukan hal yang sama pada Levin.
“Ah … sial! Hujan membuat suasana hatiku tambah buruk,” gerutunya pada diri sendiri saat dia berjalan menerjang hujan. Perasaan kosong tiba-tiba merayapi diri. Terasa begitu dingin membuat dia merasa buruk dan juga kotor.
Dia meniduri Levin kali ini untuk mendistraksi dirinya dari masalah, tapi ketika selesai melakukannya dan dia tenggelam dalam ranah logika Lizzie merasa jijik pada dirinya sendiri. Dia meniduri seorang pria yang berada dalam hubungan berpacaran dengan sahabatnya sendiri.
Sejujurnya Lizzie tidak pernah sekali pun berniat untuk menyakiti Marie. Tapi permainan konyolnya dengan Levin justru akan membuat situasi itu terjadi. Dia tetap melakukannya meski tahu itu salah. Bukankah itu sangat t***l? Dia tidak pernah berniat untuk menghancurkan hubungan percintaan sahabatnya. Dan tidak akan pernah merebut Levin dari sahabatnya. Karena meski memisahkan mereka, Lizzie tahu betul bahwa Levin tidak akan pernah kembali padanya.
Tiba-tiba air mata tumpah dan membasahi pipinya yang diguyur air hujan. Dia menangis. Gadis itu benar-benar terisak, air matanya yang bercampur dengan air hujan membuat dia seperti sedang memainkan peran dalam sebuah drama.
Dulu dia seringkali mengejek orang yang menangis dibawah air hujan, tapi sekarang justru dia sendiri juga melakukannya. Pikirannya berkabut, segala hal yang telah dia lewati terasa tidak benar. Dia menghancurkan hidupnya sendiri.
Kenapa semuanya malah jadi kacau balau? Kenapa dia terus saja mengacau dan mengambil langkah yang salah? Kenapa dia terus menyakiti dirinya sendiri seperti ini?
Sebuah mobil tiba-tiba berhenti, menimbulkan bunyi decit ditengah derasnya hujan. Lizzie tersentak, dia menyadari bahwa dia baru saja menerobos jalanan ketika kondisi lampu lalu lintas berwarna hijau dan kini dirinya berada ditengah jalan dalam kondisi kakinya keseleo lantaran terpeleset. Bunyi klakson dan umpatan yang dimaksudkan untuk memakinya semakin terdengar keras. Kakinya terasa lemas, rasa terkejut dan takut membuat dia makin tidak bisa membawa tubuhnya untuk menepi dan malah duduk di tengah jalan seperti orang yang t***l.
“Lizzie! Masuk ke mobil!” Diantara suara klakson dan makian orang-orang. Lizzie bisa mendengar suara yang amat familiar ditelinganya.
Melalui hujan deras, pria itu menerobos dan berlari ke arahnya. Sial, dia benar-benar tidak habis pikir bahwa dia akan bertemu lagi dengan Daxon dalam situasi ini. Lizzie hanya bisa menutup mata, tidak berani melihat situasi yang akan dia hadapi. Dia pikir mungkin dirinya akan dihakimi tapi siapa sangka bahwa justru orang itu malah meraih tubuh Lizzie dan mengangkatnya dengan mudah, membawa dirinya menuju mobil yang beberapa saat lalu hampir mencabut nyawanya. Kenapa dia selalu muncul disaat yang tidak terduga begini?