“Mom kapan Rey sekolah lagi?” tanya Reyhan saat bermain robot kesayangannya. Fiona tersenyum lalu mengelus rambut putranya.
"Sabar ya sayang. Mommy masih mencari sekolah yang bagus untuk kamu. Bersabar sedikit lagi ya," ucap Fiona.
“Oke Mom. Rey bosen dirumah terus. Rey kangen bermain dengan teman-teman di sekolah.”
“Iya sayang, semoga secepatnya.” Reyhan mengangguk. Ia memeluk erat tubuh bundanya.
Sejujurnya Fiona sedih saat mendengar keinginan putranya yang ingin kembali bersekolah. Tapi apa daya ia harus menunda sementara keinginan putranya untuk bersekolah kembali. Uang untuk sekolah Reyhan akan ia pergunakan untuk modal usaha kue buatannya yang pastinya untuk masa depan Reyhan juga.
Fiona bisa saja menghubungi ayahnya Reyhan untuk meminta uang sekolah putra mereka, tapi Fiona teringat janjinya untuk tidak meminta apapun termasuk untuk kebutuhan Reyhan. Uang yang ia dapat dari hasil perceraiannya dengan mantan suami tidaklah banyak.
Sebagian sudah ia gunakan saat mereka pindah ke Bandung dan sisanya untuk modal membangun usaha kue kecil-kecilan miliknya. “Sabar ya sayang. Ini juga Mommy lakukan untuk kamu. Maafkan mommy sayang," ucap Fiona dalam hati.
Tanpa sadar air matanya menetes. Ia segera menghapusnya. Reyhan tak suka jika melihat bundanya kembali meneteskan air mata. Sudah cukup sang Papi dan omanya yang membuat bundanya menangis.
Bela dan Vika ikutan sedih mendengar Reyhan harus tertunda sekolahnya. Untuk itu mereka mengajak Fiona bicara di halaman belakang. “Kalian mau obrolin apa? Serius sekali kayaknya,” tanya Fiona kepada Bela dan Vika.
Tanpa tedeng aling-aling, Bela dan Vika menyodorkan bungkusan kepada Fiona. Kedua matanya membelalak saat membuka isi bungkusan tersebut. “I...Ini,"
"Ambillah. Ini untuk biaya sekolah Reyhan, Fi," ucap Vika.
“Tolong jangan tersinggung, Fiona. Kami melakukan ini karena kami sangat menyayangi Reyhan. Kami lakukan ini untuk Reyhan agar ia bisa bersekolah kembali." Bela menjelaskan maksudnya agar Fiona tidak tersinggung.
“Dari mana kalian mendapat uang sebanyak ini? Maaf... Aku ngga bisa menerima ini semua.” Fiona menolak uang pemberian Bela dan Vika.
“Yang jelas uang ini halal, Fi. Aku dan Bela mengumpulkan uang ini untuk membantu biaya sekolah Reyhan," ucap Vika. "Lagipula kami tidak memberinya secara gratis jik itu yang menjadi kekhawatiran mu. Anggap saja kami berinvestasi dan kamu bisa mengembalikannya sedikit demi sedikit," ucap Vika lagi.
“Tapi guys... dengan uang sebanyak ini bagaimana aku bisa melunasinya?”
“Sudah jangan pikirkan itu dulu. Lebih baik besok kamu urus sekolah Reyhan. Dia pasti seneng banget.”
Fiona menangis. Sedari tadi ia mencoba menahan air matanya untuk tidak tumpah tapi percuma. Fiona memeluk kedua sahabatnya dengan erat.
“Thank you so much, guys. Demi bisa sekolah lagi, kalian rela mengumpulkan uang sebanyak ini untuk Reyhan. Aku ngga tahu harus berkata apa. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan kalian.”
“Sama-sama Fi. Kita juga senang melihat kalian berdua bahagia. Please... Be happy ya.”
“Amiin… Mohon doanya. Nanti kalau kalian kembali lagi ke Jakarta, jangan lupa sering kunjungi aku dan Reyhan ya.”
Vika dan Bela mengangguk bersamaan. Mereka pun berpelukan.
Keesokan paginya, Vika dan Bela mengantar Fiona dan Reyhan mendaftar ke sebuah sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah mereka.
Reyhan sangat antusias saat di beritahu jika dirinya akan kembali bersekolah dalam waktu dekat. Saking antusiasnya untuk mendaftar sekolah, Reyhan sampai tidak bisa tidur.
Benar saja.
Raut wajah Reyhan terlihat begitu bahagia. Fiona resmi mendaftarkan Reyhan ke sebuah sekolah Taman Kanak-Kanak. Reyhan sudah tak sabar untuk pergi ke sekolah minggu depan.
***
Pagi itu kehebohan di rumah Fiona terjadi. Seperti biasa Fiona akan berteriak-teriak membangunkan Reyhan yang selalu susah jika mau berangkat sekolah. Sudah hampir sebulan Reyhan bergabung di sebuah sekolah TK tak jauh dari rumahnya. “Reyhan... Ayo bangun, udah siang nih. Nanti telat ke sekolahnya," teriak Fiona dari arah dapur.
Ibu satu orang anak itu tengah membuat sarapan untuk putranya. Fiona tak mendengar suara apapun dari dalam kamar putranya. Ia pun masuk ke kamar putranya.
"Reyhan kamu mau bangun jam berapa? Sudah jam 07.30 pagi. Kamu masuk sekolah jam delapan," ucap Fiona kesal sambil menarik paksa putranya untuk bangun. Fiona terkejut melihat wajah putranya pucat dan tampak menggigil.
“Ya Tuhan sayang. Kamu kenapa nak?” tanya Fiona sambil mengguncang-guncang tubuh putranya. “Eugh…dingin Mom," ucap Reyhan. Ia kembali menarik selimutnya hingga menutupi tubuh kecilnya itu. Fiona meraba dahi sang putra yang terasa sangat panas.
“Dedek sakit? Sejak kapan sayang? Semalem dedek baik-baik aja.” Reyhan bergumam tak jelas. Belum sempat rasa terkejutnya hilang, Reyhan tiba-tiba kejang. Fiona histeris. Ia menggendong putranya dan berlari ke luar rumah. Pikirannya langsung tertuju ke rumah sebelah yang suaminya dokter.
Fiona mengetuk pintu depan rumah Susi sambil berderai air mata. Tak lama seorang asisten rumah tangga pun membukakan pintu untuknya. “Permisi Mbak. Pak dokternya ada?” tanya Fiona ketar-ketir.
"Pak dokter lagi istirahat bu. Nanti saja ya bu ketemu Pak dokternya," ucap si bibi tanpa ada belas kasihan melihat Reyhan yang tengah kejang-kejang.
Fiona memohon untuk bisa bertemu sebentar dengan Ardian agar putranya bisa diberi pertolongan pertama. Si bibi tetap menolak dan akhirnya terjadilah cekcok diantara Fiona dan si bibi yang membuat Ardian penasaran dengan apa yang terjadi.
“Ada apa ini ribut-ribut," ucap Ardian sambil menatap tajam Fiona dan bibi. Fiona segera menghampiri Ardian. “Mohon maaf sebelumnya. Tolong putra saya dok. Dia kejang saya mohon," pinta Fiona sambil berlinangan air mata.
“Kamu bagaimana sih. Ada yang butuh bantuan bukannya disuruh masuk dan panggil saya malah disuruh pulang!” omel Ardian sembari membawa Reyhan menuju sebuah kamar yang biasa dipakainya untuk memeriksa pasien.
Dengan cekatan Ardian memeriksa kondisi Reyhan. Fiona hanya bisa memegangi tangan putranya dan terus berdoa selama Ardian melakukan pengobatan. Ardian memberikan obat untuk Reyhan dan perlahan-lahan bocah tampan itu pun tenang dan terlelap. Fiona bersyukur karena dengan bantuan Ardian putranya bisa kembali tenang.
***
“Terima kasih banyak, Dok. Saya tidak tahu bagaimana nasib anak saya jika dokter tidak memberikan pertolongan pertama," ucap Fiona. Ia masih berada dirumah Ardian karena Reyhan masih dalam pantauan dokter tampan itu.
“Sama sama Bu Fiona. Sudah jadi tugas saya untuk membantu dan kebetulan saya ada di rumah," ucap Ardian. Fiona tersenyum dan kembali mengucapkan terima kasih.
Entah mengapa Ardian selalu ingin dekat dengan bocah tampan tsb. Hatinya menghangat tiap kali dekat anak-anak. Efek sangat ingin memiliki momongan membuat Ardian pasti betah berdekatan dengan anak-anak.
“Panggil Fiona saja dok. Oh iya kata bibi dokter baru pulang kerja. Ditinggal saja dok. Pasti lelah sehabis kerja. Saya tunggu Reyhan bangun terus pulang.”
“Saya….” Tiba-tiba Reyhan terbangun. “Mami…”
"Mami disini sayang."
Reyhan mengulurkan kedua tangannya meminta di gendong. Fiona segera menggendong putranya dan menciuminya penuh kasih sayang. Ardian merasa sesuatu yang menggetarkan hatinya melihat keakraban ibu dan anak di depannya. Ia selalu berandai-andai suatu hari nanti dirinya akan dipanggil Papa oleh anak-anaknya.
“Pak dokter kami pamit dulu. Terima kasih atas bantuannya untuk anak saya. Oiya saya harus bayar berapa pak untuk pengobatan Reyhan?” tanya Fiona sambil mengambil dompet kecil disakunya.
"Tidak usah Fiona. Saya ikhlas menolong Reyhan bukan ingin dibayar. Lagian Rumah Sakit sudah lebih dari cukup membayar saya.” Tolak Ardian halus.
“Tapi dok…”
“Sudah tidak apa apa Fiona. Jaga saja Reyhan jangan sampai sakit lagi. Itu sudah cukup buat saya.”
“Terima kasih dok. Kalau begitu kami permisi dulu. Reyhan, ayo salam dulu sama om dokter," ucap Fiona.
Ardian mengulurkan tangannya kepada Reyhan. Bocah kecil itu mencium tangannya. Ardian mengelus rambut Reyhan, “Cepat sembuh ya sayang. Jangan sakit lagi. Nanti Mami sedih," ucap Ardian sebelum Fiona dan Reyhan meninggalkan dirinya.
Sementara itu, Ardian sangat murka karena bibi seenaknya mengusir orang dirumahnya terlebih orang itu butuh bantuan. Asisten rumah tangga yang dibawa oleh istrinya itu sudah lama ingin Ardian singkirkan tapi selalu gagal. Tapi kali ini ia harus bisa menyingkirkan si bibi yang sudah lama berkomplot dengan sang istri. Dengan terpaksa si bibi pun akhirnya angkat kaki dari rumah Ardian setelah ia berhasil mengancamnya.
***
• TO BE CONTINUE •