Bagian 12: Haruskah Kuakhiri Saja?

1162 Kata
[Kleigh’s POV] Bruk. “Hei, hati-hati kalau jalan!” Mataku menoleh perlahan, aku melihat sosok pria dengan wajah penuh kesal berdiri di sampingku dan sedang mengobservasiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sampai tatapan mata pria itu mendarat di kruk untuk membantuku berjalan, dia langsung melembutkan tatapan bagai batu karang tersebut. “Ah, maaf, aku tidak tahu jika kau—” “Tidak apa-apa.” Tanpa menunggu pria itu merampungkan permintaan maaf, aku berjalan melewati dia dan melangkah pergi ke arah hutan Foresthore—tempatku biasa merenung di malam hari. “Cih, padahal aku sudah meminta maaf. Dasar orang cacat.” Dia kesal lalu menendang salah satu batu di jalanan sebelum kembali berjalan, entah menuju kemana. Namun, perkataan pria itu tadi langsung menembus jantungku dan membuatku menggigit bibir kuat-kuat. Aku tahu aku cacat. Aku tahu. Dengan wajah antara hampir menangis dan ingin berteriak saking frustasinya, aku berjalan tertatih menuju ke arah hutan. Hutan Foresthore sudah seperti teman bagiku dan seluruh orang di desa ini semenjak mereka semua bergantung pada hasil alam di hutan tersebut untuk bertahan hidup setiap hari. Mulai dari buah-buahan hingga hewan buruan, hutan ini seolah tidak pernah kehabisan bahan makanan. Namun, selain penuh sumber daya alam, hutan Foresthore juga memiliki pemandangan indah. Aku sedang menuju ke salah satu tempat itu. Tak. Tongkat kruk milikku menabrak batu kerikil seolah menandakan aku telah sampai di tujuan setelah berjalan tiga puluh menit—dalam kondisi sehat, aku cuma perlu lima sampai sepuluh menit berlari ke tempat ini. “Masih saja sama, selalu indah sepanjang waktu.” Kutaruh tongkat tersebut di atas tanah dan duduk di sampingnya, pandanganku lalu lurus ke depan, mencoba untuk menikmati keindahan alam ini secara utuh tanpa melewatkan detil apapun. Di depanku adalah rawa kecil—berwarna biru kehijauan bagai permata kuno dan terlihat jernih sampai horizon bintang terpantul sempurna di permukaan. Ini adalah tempat di mana aku sering duduk merenung ketika masalah selalu mengerumuniku tanpa henti—ya, sama seperti sekarang ini. Kutatap pantulanku sendiri di atas permukaan danau. Kacau. Sangat kacau. Wajah celong dengan lingkaran hitam di sekitar mata dan bekas luka lebam di mana-mana. Rambut cokelat tebal dan empuk kebanggaanku kini terlihat kucel, benar juga, sudah berapa lama aku tidak mandi dan keramas. Namun, semua hal itu tidak bisa dibandingkan saat aku melihat anggota tubuhku kini tidak lengkap. Kau ingat, bukan? Tangan kiriku dicabut seperti boneka mainan dan terbang entah ke mana, Elaine bilang tangan itu diamankan di laboratorium desa. Dia memintaku untuk datang melihat, tetapi aku menolak. Hah, untuk apa aku melihat tanganku sendiri? Aku bisa bermimpi buruk jika sampai melihat hal itu. Yah, pantulan di permukaan air ini juga salah satu mimpi buruk, bahkan realita terburuk. Seperti yang mereka, para warga dan wartawan ibukota itu bilang, harapanku untuk menjadi seorang hunter telah pupus tanpa sisa. Usiaku memang masih muda, empat belas tahun, masih satu tahun sebelum masuk usia legal untuk mengikuti ujian. “Bagaimana aku bisa berlatih nen dan pedang menggunakan satu tangan? Aku bukan jenderal perang dengan seribu pengalaman dan ratusan ribu tentara siap mati, aku cuma anak sebatang kara dengan sejumput mimpi penuh kemustahilan.” Mataku melirik ke arah rawa tersebut. Benar juga, rawa itu kuberi nama Rawa Starswamp semenjak rawa ini seperti lautan bintang di kala malam tiba. Tidak ada riak air dan binatang liar di dalam sana, aku sudah pernah berenang untuk memastikan. Satu hal yang kutahu, rawa ini sangat dalam sampai aku tidak bisa memperkirakan harus berenang berapa lama untuk mencapai dasarnya. “Jika aku terjun ke dalam rawa ini dan menghilang, apa ada orang yang akan mencariku, ya?” gumamku sendirian, tidak tahu apa tujuan dari berkata hal ambigu seperti itu. Ini seolah aku ingin mengakhiri hidup, tapi takut untuk melakukannya. Aku bergerak maju dan mendekati bibir rawa, kulepas alas kakiku yang terbuat dari jalinan tali jerami sebelum menaruh telapak kakiku di permukaan rawa. Dingin. Sensasi dingin dan sejuk langsung merambat ke seluruh tubuhku. Itu membuat akal sehatku kembali terbuka. Aku menggeleng cepat saat mengingat hal bodoh yang baru saja kuucapkan tadi. Lupakan soal bunuh diri, masih banyak cara untuk bertahan hidup meski dengan satu tangan. “Uwah, ini dingin dan sejuk, tubuhku juga sangat lengket. Apa aku mandi saja, ya?” gumamku lagi, tatapan mataku sudah berubah dari seorang depresi menjadi sosok bocah yang ingin sekali mencebur untuk berenang menghibur diri. Tenang saja, aku masih bisa berenang dengan baik meski tanpa satu tangan. Clup. Setelah kutanggalkan atasan dan memakai celana untuk berjaga-jaga jika ada seseorang datang, aku masuk ke dalam rawa dan mulai membasuh diri. Untung saja rawa ini berbentuk cekung menjorok, sehingga di pinggiran rawa tidak terlalu dalam dan aku bisa mandi dengan bebas tanpa takut tenggelam. “Fuwah! Segar sekali!” girangku ketika air dingin itu mengalir dari ujung kepala dan membasahi seluruh tubuh. Berbaring di atas ranjang selama dua minggu penuh membuat seluruh tubuhku kaku dan bau, aku benci dengan bau tidak sedap. “Hm, sudah tidak sakit lagi. Apa sudah menutup?” Kulirik perban di lengan kiriku, tidak ada darah merembes dan rasa sakit datang ketika aku masuk ke dalam air. Mungkin lukaku sudah menutup dan hampir pulih. Midlings memiliki tingkat penyembuhan luka lebih tinggi daripada manusia biasa—manusia adalah sosok supernatural dari dunia lain, dunia bernama Bumi. Tidak ada satupun dari penduduk Solearth pernah melihat sosok bernama manusia itu kecuali Kesatria Suci pertama, atau sering dijuluki sebagai The Saint Knight. Konon, manusia digambarkan seperti Midlings, tetapi tidak memiliki kekuatan apapun di dalam tubuh mereka. Mereka terlihat sangat lemah dan mampu dikalahkan dalam sekejap mata. Namun, The Saint Knight sendiri kaget saat tahu bahwa peradaban manusia sangat jauh berbeda dengan peradaban Midlings. Peradaban manusia dipenuhi oleh benda-benda ajaib serta penemuan menakjubkan lain. Orang-orang bijak zaman dahulu sering berkata bahwa manusia dan Midlings berbeda, jika Midlings diberi Nen sebagai pusat kekuatan mereka, maka manusia diberi akal untuk mengubah dunia dengan kekuatan mereka sendiri. Ah, semua itu aku dengar dari cerita Paman Kazzam. Dia pria yang sangat menarik, bukan? Bisa mengetahui kisah seperti itu dengan sangat detil, aku selalu suka mendengar kisah beliau. “Hmm, hmm, hmmm.” Kumulai bersenandung dengan lagu khas Earusia, berjudul Lullabi Solearth, ini adalah lagu kesukaanku sejak kecil—meski aku sering lupa-ingat dengan lirik lagu tersebut. Saat aku sedang sibuk bersenandung dan membersihkan leher, aku bisa mendengar langkah kaki mendekat kemari. Siapa itu? Langkah kaki itu terdengar semakin keras dan semakin cepat. Apa dia bersiap untuk menyerangku secara tiba-tiba? “… eigh!” Eh, aku seperti familiar dengan suara itu. “KLEIIIIGH!” “E-Elaine?” Mataku melotot saat Elaine berlari dengan wajah khawatir ke arahku. Sekali lagi kukatakan, dia berlari seperti orang gila ke arahku—yang sedang berada di air tanpa mengenakan pakaian selain celana dalam. Wajahku sontak memerah, Elaine tidak boleh ke sini! Apapun yang terjadi! “El, pergi! Jangan kemari!” tolakku, tetapi dia sama sekali tidak mengerti dengan perkataan orang. “Kleigh, jangan bunuh diri dulu!” “Huh? Huwaaa—” BYURRR! Elaine meloncat tinggi dari daratan dan kini ikut mencebur bersamaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN