Bagian 14: Lengan Buatan dan Latihan!

1315 Kata
[Kleigh’s POV] Ini melelahkan. Sungguh melelahkan. Seluruh keringatku seolah terperas dari dalam tubuh dan membentuk genangan kecil di atas tanah. Lengan kiriku berdenyut sakit, bukan karena luka lama kembali terbuka—tetapi karena logam menempel dan menancap ke dalam daging di lengan kiriku. Rasa sakit itu bertambah kuat saat kucoba untuk menggerakan lengan buatan Elaine untuk menggenggam pedang kayu pemberian Paman Edmund yang kugunakan untuk berlatih. “Ack,” desisku sambil meringis sakit. Paman Edmund memasangkan lengan buatan itu tepat di bagian syaraf motorik di lenganku, agar bisa kukontrol menggunakan persepsi pikiran seperti lengan asli. Inilah mengapa Paman Edmund sering dijuluki sebagai jenius di masa mudanya. Kutatap lagi lengan berwarna abu-abu khas metal ringan dan memiliki bentuk kaku. Huft, aku sudah tahu ini tidak akan berjalan mudah, terlebih aku belum pandai menggunakan nen. “Untuk membalas budi pada kebaikan El dan Paman Ed, aku harus berjuang sekuat tenaga dan menjadi hunter terbaik,” gumamku penuh semangat. Untuk mengembalikan cairan tubuh yang hilang saat latihan, aku berjalan menuju ke batu besar di mana ada keranjang berisi makanan serta minuman dan handuk untuk mengelap keringat. Gulp. Gulp. Gulp. Air di dalam botol itu langsung habis tak bersisa, kutaruh botol kosong tersebut kembali ke dalam keranjang dan beralih memakan roti isi buatan Elaine. Kali ini aku meminta pada El untuk tidak menaruh acar di sana—huek, aku selalu benci acar. “Geh—dia tidak mendengarkanku,” kesalku saat melihat acar di tengah-tengah roti lapis itu. Ingin kubuang benda tersebut, tetapi wajah murka Elaine dengan pisau di kedua tangan mendadak muncul di otakku dan membuatku mengurungkan niat cepat. Kupilih untuk segera melahap roti tersebut dan buru-buru pergi latihan. “Terima kasih untuk makanannya.” Kututup keranjang berhiaskan pita merah muda itu dan berdiri tegap. Matahari semakin terik, jika melihat kalender sekarang sudah masuk ke puncak musim panas. Benar juga, ujian hunter selalu digelar di hari pertama di musim gugur. Tempat pelaksanaan ujian tersebut selalu sama, di Denadarys. “Aku harus berlatih sekuat mungkin agar bisa mengikuti ujian tahun depan, semangat!” “Tidak mungkin—apa kau sudah gila?” Suara itu tiba-tiba datang dari arah belakang dan membuatku terkejut. Ketika kulihat siapa sosok di belakang sana, mataku sedikit melebar. “Lui, kau di sini?” Dia seumuranku. Dengan wajah kecil dan rambut merah mirip seperti sang ibu, tidak lupa butiran freckless di pipi Lui semakin membuat bocah laki-laki itu terlihat manis dan nakal di satu waktu. Selain Elaine, Luigi adalah temanku—dia putra Pemimpin Desa dan selalu juara kelas di Akademi Dasar. “Bukan masalah itu, tadi kau bilang apa? Ingin mengikuti ujian hunter tahun depan?” Lui duduk di atas batu, mengintip ke dalam keranjang dan merengut kesal karena tidak menemukan apa-apa di sana selain botol kosong dan handuk basah. “Ya, memang kenapa?” “Dengan kondisimu itu?” Aku menengok ke arah tanganku dan meringis kecil. “Elaine sudah susah payah membuatkan ini untukku dan Paman Edmund sering melatihku ketika dia senggang, aku tidak mau mengecewakan mereka dan ingin menjadi kuat secepat yang kubisa.” Lui sampai tidak bisa berkata-kata saat menemui tipe orang sepertiku—keras kepala, serakah, dan terlalu positif. Dia pikir aku pasti gila, ingin menjadi kuat dengan keterbatasan seperti ini. Ya, jika aku bisa menjadi kuat dengan berubah gila, maka akan kulakukan hal itu. Menjadi gila. Gila latihan, gila harapan, hingga gila kemenangan. “Kleigh, apa kau benar-benar ingin menjadi hunter?” Aku memiringkan kepala bingung. “Tentu saja, itu selalu menjadi mimpiku sejak dulu. Bukankah kau juga ingin menjadi hunter, Lui?” Lui terlihat sedikit nervous. Dia mengusap lengan kanan dengan tangan kiri dan menatap ke arah lain. Aku bisa mencium bau-bau mencurigakan dari tingkah laku bocah laki-laki itu. “Lui?” “Sudah tidak lagi.” Dia menjawab dengan wajah sedih dan frustasi di waktu yang sama. Aku melotot lebar, mengapa Lui berkata seperti itu? Padahal dahulu dia selalu bercerita tentang seberapa hebat kakeknya menjadi seorang hunter hebat, selalu maju saat menghadapi masalah apapun dengan punggung lebar dan mampu diandalkan. Luigi bilang dia ingin menjadi hunter sama seperti sang kakek dan mempengaruhiku untuk memiliki impian sama. “Kenapa?” Wajahku pasti terlihat sangat jelek, antara bingung, marah, kecewa, dan tidak paham mengapa Lui tiba-tiba berkata hal seperti itu. Tangan Lui bergetar, dia seolah menahan tangis. Ini mungkin pertama kali bagiku melihat Lui selemah ini. Dia adalah putra Pemimpin Desa dan juara kelas di Akademi, Lui memiliki teman di seluruh desa sehingga ia tidak pernah merasa kesepian. Meskipun begitu, Lui bukan anak sombong dan senang bermain bersamaku—si anak sebatang kara dan tidak memiliki teman selain si gila mesin Elaine. “Aku takut, Kleigh.” Lui menatapku nanar. “Apa kau tidak takut? Padahal kau sudah bertemu dan melawan sosok itu sampai kau menjadi seperti ini. Aku tidak bertemu dengan sosok itu dan melihat dari kejauhan, tetapi seluruh kakiku langsung kehilangan tenaga dan aku jatuh lemas saat melihat betapa besar serta mengerikan makhluk tersebut. Apa kau tidak merasa trauma? Kau tahu? Hunter adalah pekerjaan berbahaya, bukan tidak mungkin kau akan bertemu makhluk-makhluk mengerikan seperti itu lagi di misimu nanti. Kau bisa saja mati, Kleigh—” “Lui, tarik napas. Jangan panik.” Aku menepuk pundak Lui dan bocah laki-laki sepantaranku itu langsung menghirup udara sampai memenuhi paru-paru lalu mengeluarkannya secara perlahan. “M-maaf, aku tidak tahu mengapa aku menjadi seperti ini. Seolah-olah ada batu besar mengganjal di hatiku dan membuatku tidak bisa berpikir jernih. Aku sangat bodoh. Benar-benar pengecut bodoh.” Lui menjambak rambut sendiri sambil meringis kesal, dia ingin menghantamkan kepala ke batu manapun sampai pecah tak bersisa. “Kalau begitu aku adalah pengecut bodoh yang sangat keras kepala dan tidak tahu kapan harus berhenti berjuang.” Aku duduk di samping Lui, perkataanku menarik atensinya dan dia mendongak kecil, Lui menatapku cukup lama. “Ya, aku juga tahu itu, booodoh.” Lui lantas menjawab dengan ekspresi datar. “Jahat!” kesalku. Kukira dia akan bilang kalimat mengharukan seperti, Kleigh … aku tidak tahu kau akan sampai seperti ini untuk menghiburku atau kau memang teman terbaik yang kumiliki, Kleigh! Namun, tidak kusangka, Lui tiba-tiba tertawa seperti orang gila. Dia tergelak begitu lama sampai aku tidak paham di mana letak kelucuan dari perkataanku tadi. Lui mengusap mata untuk membersihkan air mata dari sisa-sisa tawanya. “Hahaha … ini bodoh.” “Kleigh,” panggil Luigi. “Ya?” “Aku akan membantumu belajar.” “Hah?” Kunaikkan sebelah alis karena bingung dengan ucapan Luigi barusan. “Kau bilang apa?” Lui mengusap hidung dan tersenyum kecil. “Kau akan tetap menjadi Hunter meskipun sudah dilarang oleh seluruh dunia, kan? Aku tahu sifatmu itu. Jadi aku akan membantumu belajar.” “Belajar untuk apa?” “Huh? Jangan bilang kau tidak tahu kalau ujian Hunter itu bukan cuma ujian kekuatan, tetapi juga ujian tertulis?” Jder! Seperti petir di siang bolong, perkataan Lui barusan membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Melihat ekspresiku sekarang, Lui menepuk jidat keras. “Sudah kukira, kau pasti tidak tahu ada ujian tertulis. Pantas saja kau berlatih seperti orang gila setiap hari.” Aku langsung merosot lemas. “Bagaimana ini? Kau tahu sendirikan jika aku tidak terlalu pintar? Bagaimana jika aku tidak lulus di ujian tertulis? Waaaaa!” “Jangan hilang harapan! Tuan Luigi ini akan membantumu belajar, tetapi dengan catatan, saat kau sudah sukses nanti jangan lupa sebutkan namaku agar aku bisa dipromosikan ke Ibukota!” Saat ini, aku bisa melihat Luigi memiliki lingkaran halo di belakang kepala. Oh, dia penyelamat! “Tentu saja akan kuingat sampai kapanpun! Terima kasih Luiiii!” “Jangan memelukku dengan badan penuh keringat seperti itu, bodoh!” Aku segera menghambur untuk memberikan rasa terima kasihku pada Lui, tetapi dia langsung kabur karena tidak mau baju yang ia kenakan terkontaminasi keringatku. Luigi terlihat kesal dan terus berlari menjauhiku, tetapi dia tertawa lepas saat itu. Aku ikut tersenyum kecil, akhirnya Lui tidak memasang wajah sedih itu lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN