Aroma parfum ocean dan mint seolah menyatu begitu cepat. Detak jantung terdengar berirama namun cepat, sepasang mata yang tidak pernah lepas satu sama lain dan jarak mereka yang begitu dekat.
Oke, Ara blank sesaat. Antara shock, dan kaget karena tiba-tiba saja Agra menarik selimut lebih kuat sehingga membuat tubuhnya oleng.
Jatuh tepat di atas tubuh lelaki itu, rahang tegas dan aroma parfum mint Agra menyeruak masuk. Manik berwarna abu gelap nampak menelusup tak ada sedikit pun niat untuk beralih.
Dia harus apa sekarang? Jemari-jemari lentik itu tanpa sadar bergerak tepat menyentuh d**a bidang yang kini tidak tertutup oleh apapun. Satu sentuhan sukses membuat Agra berjengit, ekspresi lelaki itu berubah sekilas.
Menekuk alis dan menggertakan gigi, “Kau berat, Ara.” tukas Agra tanpa basa-basi. Berhasil mengendalikan diri, “Mau sampai kapan menindihku?” lanjutnya.
Ara langsung sadar, mengerjap polos. “Ka-kakak yang tarik selimutnya kuat-kuat tadi, aku jadi oleng!” Reflek menekan d**a Agra, berniat bangun. Tapi Ara masih bisa merasakan kedua lengan Agra justru melingkar di pinggangnya. Dia tidak bisa bangun!
“Kak, tangannya!” gerutu sang Casie kesal. “Ugh, berat sekali!”
Satu pemandangan langka, entah apa yang Agra pikirkan dia justru mendengus singkat. “Tanganku diam sejak tadi,”
“Ish, tapi tangan Kakak ada di pinggangku! Singkirkan dulu!” tukasnya lagi. “Coba singkirkan sendiri.” balas Agra tak kalah jahil.
Dua lengan yang cukup kekar melingkar di pinggang, ‘Erat sekali, bagaimana aku melepasnya?!’ batin Ara, mendorong tubuh Agra sekali lagi. Tapi berakhir gagal alhasil Ara malah jatuh lagi ke d**a bidang sang kakak.
Wajah gadis itu memerah kesal, “Kak! Nanti aku telat ke Univ!” teriaknya kecil. Agra tak peduli, dia hanya diam dengan satu tarikan tipis di bibir, aroma parfum mereka semakin menyatu.
Satu hal yang sangat jarang dan pertama kali mereka alami. “Kak!”
Gemas, Ara sendiri tidak paham kenapa Agra bisa tiba-tiba jahil seperti ini?! Biasanya laki-laki itu akan bersikap dingin bahkan enggan jika mereka berada dalam jarak sedekat ini. Aneh.
Menekuk wajah kesal, oke dia tidak ada pilihan lagi. “Tsk, kalau begitu jangan salahkan aku!” Tanpa basa-basi gadis itu bergerak cepat dan langsung saja, Ara menggigit d**a Agra gemas. Tepat di area dekat dengan otot-otot yang nampak terbentuk, cukup keras.
Satu gigitan itu cukup membuat tubuh Agra bereaksi lain. “Ahk, Ara!” Meringis tak percaya menatap sosok gadis yang kini melihatnya dengan senyuman senang, Agra bergegas melepas kukungannya. Detak jantungnya semakin cepat.
Gawat.
“Makanya jangan macam-macam denganku!” Ara berdiri cepat memperbaiki posisinya, berharap Agra mau segera bangun tapi yang ada lelaki itu malah menarik selimut dan menutupi setengah tubuhnya.
Berbalik memunggungi Ara lagi?! Astaga laki-laki ini! “Lho, kok malah tidur lagi, Kak!”
“Diam, sebentar lagi aku bangun. Pergilah,”
“Kakak pikir aku percaya?!”
Tidak ada jawaban. “Kak! Mau aku gigit lagi dadanya?!” teriak Ara kesal. Gadis super polos yang tidak mengerti semua sikap Agra, dia hanya kurang paham. “Kak!”
Berniat menarik selimut Agra lagi tapi untuk kali ini sepertinya gagal, karena sang Dhanurendra sudah berbalik cepat. Menarik salah satu pergelangan tangan gadis itu. Dalam hitungan detik tubuh Ara kembali menunduk kaget.
“Kau mau aku gigit balik?” Dalam jarak yang cukup dekat, manik Ara mengerjap polos. Satu pertanyaan polos Agra entah kenapa justru membuat gadis itu kikuk. “A-apa?”
Lelaki tanpa ekspresi yang bicara dengan nada santai namun terkesan serius. Ara blank lagi, dia sendiri tidak sadar kalau wajahnya justru makin memerah. Apa karena gadis itu sudah lama tidak digoda oleh lawan jenis? Lama tidak punya pacar, saking parahnya dia harus deg-degan di depan kakak tirinya sendiri?!
Ahk, sial! Saat melihat senyuman tipis Agra. Ara makin kikuk, kedua mata berwarna abu itu seolah menikmati setiap ekspresi yang dia keluarkan.
“Ja-jangan macam-macam-”
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Ara yang lebih dulu bergerak. Reflek melepas genggaman Agra dan kembali berdiri tegap. Mengatur ekspresi dan napas sebaik mungkin.
“Ara, apa kakakmu sudah bangun?” Merry masuk ke dalam kamar, melihat dua orang di depan sana nampak saling berdampingan. “Oh, kau sudah bangun Ren.” Menghampiri mereka.
Ekspresi Agra kembali seperti semula begitu juga Ara, kenapa gadis itu tiba-tiba merasa bersalah ya? Dia bingung sendiri.
“Makanannya sudah selesai, kau bisa makan lebih dulu Ara. Biar Ren aku yang urus,” ucap Merry sembari menepuk pundak Ara.
Mengangguk tipis, “Ba-baiklah, Kak. Aku keluar dulu,” Tanpa memandang Agra lagi, pandangan Ara hanya tertuju ke arah pintu. Berjalan secepat mungkin keluar dari sana.
***
“Ayo bangun, Ren.” Merry baru saja berniat menyingkap selimut yang menutupi setengah tubuh Agra. “Kau ada rapat hari ini-” Tapi kalimat wanita itu terpotong cepat begitu melihat sesuatu yang cukup besar kini nampak menonjol di bawah sana.
“Astaga, jangan bilang Ara melihat senjatamu tadi, Ren?” tanya Merry kaget, wajahnya memerah tanpa sadar. Dia baru ingat kebiasaan semua lelaki kalau bangun pagi. Kenapa Merry bisa lupa.
“Tsk, jangan aneh-aneh.” Agra mengacak rambut sekilas, merenggangkan otot dan bergegas bangun. Bersikap biasa saja di depan Merry. Malah terkesan santai, padahal senjata besar itu masih menonjol dan nampak jelas di mata Merry.
Satu pemandangan menggiurkan. Wajah Merry makin memerah panas, “Tsk, kau benar-benar tidak tahu efeknya kalau wanita lain melihat senjatamu itu,” celetuk sang Fernand malu. Melipat selimut, sebentar lagi pelayan pasti akan datang dan membersihkan seluruh kamar jadi dia tidak perlu repot-repot merapikan ruang.
“Efek apa?” Mendengus tipis, berjalan menuju lemari dan mengambil beberapa pakaian. “Tsk, ya mereka pasti pingsan. Kecuali aku!” gerutu Merry lagi.
Menggeleng kecil, “Kau pikir aku mau seenaknya memperlihatkan ini pada sembarang orang?” Satu pertanyaan itu ternyata sanggup membuat Merry bungkam. Dia makin memerah, sepertinya salah mengartikan kalimat Agra tadi.
Tanpa menjawab pertanyaan Agra. Merry hanya bisa mendengus, melihat betapa santainya sang kekasih sekarang. ‘Dia benar-benar santai sekali,’ dengus Merry kesal.
Untung saja Ara tidak melihat senjata Agra. Bisa-bisa gadis polos itu jatuh pingsan karena shock.
***
Sementara di posisi lain, tanpa Merry sadari. Sosok yang awalnya terlihat santai, tepat saat Ia berjalan menuju kamar mandi. Pelan-pelan mengingat kembali kejadian tadi, mungkin hanya laki-laki itu yang tahu.
Bagaimana kacau pikirannya sekarang. “Aish.” desahnya tipis. Tidak ada yang melihat bagaimana wajah yang biasanya nampak dingin itu perlahan memerah, reflek mengusap wajah cukup keras.
‘Aku bisa gila.’
Padahal baru beberapa hari gadis itu tinggal di sini dan dia sudah cukup membuat pikiran Agra kacau hanya dengan satu masalah kecil.
Masuk ke kamar mandi dan melihat kembali bekas gigitan Ara yang masih tercetak di area dadanya. Ternyata gigitan gadis itu cukup kuat, bahkan satu gigitan saja sudah cukup membuat tubuhnya merinding.
“Tsk, anak itu,”
***
Apa itu?!
Jangan kira Ara tidak sadar?! Dia hanya berpura-pura tidak sadar tadi! Berpura-pura tak peduli tapi pada akhirnya pikiran gadis itu tetap dihantui hal yang sama.
Sesuatu yang besar menonjol Ia rasakan tadi. ‘Astaga!’ Berdiri di depan pintu kamar Agra. Wajah gadis itu semakin memerah. Dia sama sekali tidak tahu! Awalnya Ara sama sekali tak peduli. Tapi bagaimana bisa Ara mengabaikan satu proses biologi yang pernah Ia pelajari saat SMA dulu!
“Itu seperti monster,” bisiknya dengan nada bergetar, menutup wajah sejak tadi. Tubuhnya mendadak panas, rasa aneh yang datang tiba-tiba.
Apalagi saat tubuhnya tepat menindih Agra tadi, dia tak sengaja menggesek benda keras itu walau hanya sesaat. ‘Jangan-jangan kak Merry sudah sering melihat monster tadi?’ Seketika tersentak Ara langsung menampar kedua pipinya kuat. ‘Apa yang kupikirkan?!’ batinnya malu.
‘Apa semua laki-laki memiliki monster di bawah perutnya setiap pagi? Termasuk kak Agra juga,’ Mulai kacau. Ara menggeleng kepalanya cepat, untung saja dia jago akting tadi.
Ara kapok, dia tidak mau lihat monster itu lagi. Jangan sampai dia mimpi buruk hanya karena itu!
“Astaga, wajahku panas.” Mengipas wajahnya sendiri, Ara tidak paham kenapa dia bisa semalu ini. Melihat d**a bidang dan perut kotak-kotak sang kakak mungkin sudah biasa baginya, tapi lain lagi kalau masalah monster besar tadi.
Ini pertama kalinya Ara merasakan dan melihat langsung. Walaupun dalam kondisi masih tertutupi celana, tapi itu saja sudah cukup membuat dia kelabakan.
‘Aish, aku tidak mau lihat itu lagi,’ desahnya dalam hati.