Friar menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia tidak menyangka kalau dia bisa tertipu dan masuk perangkap seseorang. Momo yang merasa bingung dengan keadaan langsung menatap saudara kembarnya dan langsung bertanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
“Sekarang jelaskan sama aku, Friar. Kamu pasti sedang menyembunyikan sesuatu kan?” todong Momo.
Friar menggelengkan kepalanya.
“Cepat katakan atau aku akan mengatakan kepada Mama kalau kamu terlibat dalam geng mafia.” Ancam Momo.
“Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu, Momo. Kamu sangat mengenalku.” Kata Friar.
“Jadi, apa yang telah kau perbuat Friar? Proyek apa yang sedang kamu kerjakan? Ini sangat di luar nalar. Kamu tiba-tiba membeli mobil seharga 2 miliar, mendapatkan telepon terror, dikejar oleh laki-laki berseragam preman, merelakan uang seratus juta untuk laptop butut. Astaga, sekarang jelaskan kepadaku, Friar! Aku sudah tidak bisa menunggu lagi. Aku butuh penjelasan!” ucap Momo panjang lebar seperti biasanya.
“Aku bukan mafia, kamu tentu tahu itu. Aku hanya sedang mendapatkan tugas untuk mengembalikan wajah asli seseorang dalam sebuah video.” Kata Friar.
“Astaga, itu tugas mudah kan, Friar? Lalu kamu belum mengerjakannya?” tanya Momo.
“Sudah, aku sudah mengerjakannya tapi belum menyerahkannya.” Kata Friar.
“Dasar bodoh!! Kalau sudah dikerjakan ya diserahkan saja?”
“Ini tidak sesimpel yang ada di dalam kepalamu, Momo.”
“Apa maksudnya? Katamu sudah dikerjakan.”
Friar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia mencoba mencari cara agar bisa menginformasikan kepada Momo mengenai apa yang terjadi. Tapi, apakah ini waktu yang tepat.
“Kau mau mengatakan atau tidak?” ancam Momo. Momo sudah mengetik nama ibunya dan hanya tinggal satu kali ketuk saja dia bisa menelepon ibunya.
“Baiklah, aku akan memberitahumu.” Kata Friar.
Friar menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada orang di tempat dia dan momo berada. Namun, karena merasa tidak aman, Friar mengajak momo untuk masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil, Friar langsung mengeluarkan laptopnya, kemudian, dia pun membuka video syur milik Damson dan Momo.
Tanpa melihat lebih detail, Momo pun berteriak, “Astaga! Friar! Apa yang kau lakukan? Kau m***m sekali! Matikan!” seru Momo.
Friar menghela napas dan mem-pause video, “Wanita di dalam video ini, … mama.”
***
Ara berada di dalam rumah, dia pun memilih untuk menghampiri ayahnya, bagaimana pun dia harus membicarakan masalah tersebut, dia tidak mau kalau sampai ayahnya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kali ini.
“Ayah, Ara mau bicara.” Kata Ara.
“Apa?” tanya Ayahnya tanpa bangkit dari motornya. Sang Ayah lagi-lagi sibuk dengan motor beliau. Beliau terlihat sangat menyukai motornya dan seakan tidak ingin kalau motornya lecet sedikitpun.
“Ayah, kenapa ayah melakukan itu kepada anakku? Anakku sudah besar ayah, aku tidak mau kalau dia membenci kakeknya sendiri.” Kata Ara.
Ayahnya Ara tidak merespons, “Anakmu itu pelit sekali, laptop hilang saja sampai mempermalukan ayah.”
Ara mengepalkan tangannya, rasanya dia ingin melakukan hal yang kasar kalau di hadapannya bukan ayahnya. Namun, mau bagaimana lagi, dia tidak bisa melakukan itu karena bagaimana pun, laki-laki yang ada di hadapannya adalah ayahnya.
“Ayah sendiri yang mencuri laptop anakku. Yah, tolonglah minta maaf kepada anakku. Dan berjanjilah kalau ayah tidak akan melakukan hal-hal seperti ini lagi.” Kata Ara. “Kalau ayah butuh uang kan ayah bisa minta pada kami, yah.”
“Ck, kurang ajar! Kau ini anak yang tidak tahu diuntung! Saya ini ayah kamu! Jangan kurang ajar kamu!” ucap Ayahnya Ara. “Sampai kapanpun ayah tidak akan meminta maaf.”
Ayah Ara meninggalkan Ara sendirian. Ara mengusap air matanya, hatinya sakit sekali mendengar apa yang dikatakan oleh ayahnya.
Dari kejauhan Ibunya Ara menghampiri Ara dan memeluk anaknya dengan penuh keprihatinan. Beliau terlihat sangat tidak tega dengan Ara, “Nak, ibu benar-benar minta maaf atas apa yang ayah kamu lakukan ya?”
Ara menganggukkan kepalanya, “Iya, Bu. Ara hanya merasa tidak enak dengan anak-anak Ara. Karena mereka harus melihat sosok kakeknya yang seperti itu.”
Ibunya Ara pun mengajak Ara untuk duduk, tak ingin anaknya menangis lama-lama. Selama ini ibunya tahu kalau Ara pasti sering menangis dengan beban hidup yang Ara jalani. Ibunya Ara senantiasa menghibur Ara, beliau juga mengajak Ara untuk duduk di depan televisi menonton sinetron bersama. Kebetulan sinetron langganan Ibunya Ara sedang iklan.
“Nak, anak-anakmu sudah besar, apa kamu tidak ada keinginan untuk menikah?” tanya Ibunya Ara.
Ara terdiam sebentar, kemudian tersenyum.
“Ara sudah cukup bahagia bersama anak-anak Ara, Ma.”
“Nak, beberapa lama lagi, mereka tentu akan menikah, menemukan jalan hidup mereka masing-masing, lebih baik kamu lebih dulu menemukan pendamping, Nak. Karena kalau mereka sudah berpisah kamu akan sendirian, ibu tidak mau hal itu terjadi kepadamu. Sudah cukup penderitaanmu selama ini, Nak. Sekarang nikmatilah masa-masamu dan temukan kebahagiaanmu.”
Ara tersenyum, “Nanti aku pikirkan dulu, Bu.”
Ibunya Ara tersenyum, “Sudah ada yang dekat?”
Ara menggelengkan kepalanya sambil nyengir lebar. Meski usia Ara sudah menginjak empat puluh tahun dan sudah memiliki dua anak kembar yang sudah dewasa namun Ara tetap terlihat cantik dan anak kecil di mata ibunya.
Mata Ibunya Ara tak sengaja melirik ke arah layar televisi yang sudah menampilkan sinetron kesayangannya.
“Nah, Nak, kalau bisa nanti cari suaminya seperti Mas Ilham saja dalam sinetron itu.” Ucap Ibunya Ara sambil menunjuk aktor favoritnya.
Ara pun langsung menoleh ke layar televisi. Dan betapa terkejutnya dia melihat wajah Damson ada di sana. Iya, Damsonlah yang dimaksud oleh Ibunya Ara. Beliau sangat menyukai Damson, apalagi dalam sinetron yang beliau tonton, Damson menjadi sosok laki-laki yang sangat baik dan juga bertanggung jawab.
Melihat anaknya yang membeku di tempatnya membuat Ibunya Ara langsung terkekeh, “Ibu hanya bercanda, Nak. Ibu menerima laki-laki mana pun yang kamu kenalkan pada ibu nantinya.”
Ara yang tersadar hanya bisa tersenyum saja, kemudian menunduk sebentar dan menganggukkan kepalanya, “Ara ke kamar dulu, Bu.” Kata Ara.
Ara pun pamit ke kamar, sekali lagi dia menoleh ke arah layar televisi dan menemukan wajah Damson di sana. Ntah mengapa hatinya terasa begitu sakit. Andai dia bisa menceritakan apa yang terjadi kepada ibunya dan bisa mengatakan kalau Damsonlah orang yang menghamilinya dan ayah dari kedua anaknya. Namun, Ara tidak akan melakukan hal tersebut, dia tidak mau kalau semua orang tahu kebenarannya.
Belum sampai Ara di kamarnya, adiknya Berry menghampirinya.
“Kak…” panggil Berry.
Ara menoleh, “Iya?”
“Mobilku rusak, aku butuh lima puluh juta untuk membawanya ke bengkel.” Kata Berry sambil mengulurkan tangannya ke arah Ara.
“Rusak? Bukankah tadi tidak apa-apa?” tanya Ara.
“Iya, rusak. Kalau aku bilang rusak ya rusak. Kenapa sih hanya lima puluh juta saja kakak tidak mau memberikannya? Lagi pula akukan sudah menampung kalian di sini, jadi wajar dong kalau aku minta uang ke kakak?” kata Berry.
“Astaga Berry, kenapa kamu begitu perhitungan?” tanya Ara kesal.
Berry menaikkan bahunya, “Aku mau lima puluh juta.”
Ara pun mengambil ponselnya dan langsung mentransfer uang tersebut kepada Berry. Kemudian dia menunjukkan bukti pengirimannya. Berry yang melihat sudah di transfer pun langsung senang, “Nah, seperti itu dong!”
Berry pun langsung pergi tanpa mengucapkan terima kasih.
“Ber-…” Ara tadinya mau meneriaki Berry dan memberitahu kalau dia harus berterima kasih namun anak-anak Ara keburu datang.
“Kenapa, Ma?” tanya Friar.
Ara pun tersenyum dan menggeleng. Mencoba menutupi apa yang terjadi, bukan apa-apa. Dia merasa sangat malu kepada anaknya, dia juga tidak mau kalau hubungan anaknya dengan sang adik menjadi rusak. Bagaimana pun dia ingin menjaga keutuhan keluarganya.
“Tidak apa-apa. Kalian sudah makan?” tanya Ara.
“Belum, Ma.” Jawab Friar.
Tidak ada jawaban dari Momo, hal itu membuat Friar dan Ara langsung menatap ke arah Momo. Friar yang menyadari kalau adik kembarnya sedang syok setelah mengetahui fakta yang sebenarnya, akhirnya dia pun langsung menyenggol lengan Momo.
Seketika Momo terjaga.
“Nak, apa kamu sakit?” tanya Ara yang langsung mengecek suhu badan Momo dari dahi Momo.
“Tidak kok, Ma. Aku tidak apa-apa. Mungkin aku hanya kelelahan saja, apa lagi ternyata pasien di sini banyak sekali.” Momo berbohong.
Ara menatap prihatin ke arah anaknya, “Kasihan kamu, Nak. Maafkan mama ya? Mama janji sama kalian kalau mama akan mencari pekerjaan agar kalian tidak terlalu lelah mencari uang.”
“Oh, tidak-tidak, Ma. Mama tidak perlu bekerja lagi, biarkan kami saja yang bekerja.” Ucap Momo dan Friar bersamaan.
Momo dan Friar pun diminta untuk bersiap diri dan Ara menyiapkan makanan untuk kedua anaknya. Kemudian, mereka makan bersama-sama.
Ara memperhatikan putrinya, sebagai seorang ibu dia mengetahui kalau sepertinya sedang terjadi sesuatu pada putrinya, “Momo, kamu benar tidak apa-apa, Nak?” Ara mencoba memastikan lagi.
Di bawah meja, Friar sedikit menyenggol kaki Momo hingga membuat Momo terkejut, “Ah? Kenapa, Ma?” tanya Momo tidak fokus.
“Kamu benar tidak apa-apa?” Ara mencoba mengulangi pertanyaannya.
“Oh, tidak, Ma. Momo hanya sedang memikirkan pekerjaan rumah sakit saja kok, karena Momo masih membutuhkan waktu untuk penyesuaian.” Kata Momo.
***
“Jangan seperti itu, Mo. Kamu tau? Apa yang kamu lakukan itu membuat Mama curiga!” ucap Friar kepada Momo.
“Tapi, Friar, bagaimana aku tidak kepikiran, berarti kita anak yang tidak diharapkan. Aku takut Mama sebenarnya membenci kita.” Kata Momo.
Friar langsung menyentil bahu Momo dengan menggunakan jarinya.
“Jangan seperti itu. Kalau Mama memang membenci kita, untuk apa Mama membesarkan kita? Kenapa tidak digugurkan saja ketika berada di dalam kandungan?” tanya Friar.
Momo pun menunduk, dia pun berpikiran serupa.
“Aku punya ide!” ucap Momo.
“Apa?” tanya Friar.
Mata Momo berbinar-binar, “Kita dekatkan Mama dengan pria itu.”
“Kita tidak tahu apakah dia pria baik atau brengsek.”
“Astaga, Friar. Kamu bisa meretas kesehariannya. Kita tinggal ikuti ke mana pun pria itu pergi untuk mencari tahu tentang dia.”
Friar berpikir sejenak.
“Kamu pengen Mama bahagia kan, Friar? Dan jujur aku juga ingin merasakan punya ayah.” Kata Momo.
“Baiklah.” Jawab Friar.
“Nah, mana laptopmu?” tanya Momo.
Friar pun langsung mengambil laptopnya dan membuka laptop miliknya. Friar mulai melancarkan aksinya. Jari-jarinya dengan lincah menari-nari di atas keyboard laptopnya.
“Nah ini …” Friar menunjukkan kepada Momo.
“Cari tahu lokasi dia saat ini, Friar. Kita datangi dia saat ini juga.” Kata Momo.
Tanpa bertanya lagi, Friar langsung mencari keberadaan Damson. Dan setelah menemukannya, dia langsung memperlihatkannya kepada Momo.
“Ayo! Kita siap-siap, Friar!” seru Momo.
Momo menarik kerah Friar.
“Sh*…”
***
Momo dan Friar berada di depan sebuah hotel berbintang, di mana di dalam hotel itu mereka yakini ada Damson. Momo dan Friar sudah menyusun rencana untuk menemui pria itu.
“Tunggu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Friar.
“Kamu pura-pura tertabrak saja, Friar. Aku yakin cara itu akan jitu untuk membuatnya berhenti.” Kata Momo.
“Astaga, kenapa tidak kamu saja yang tertabrak? Bagaimana kalau aku tertabrak betulan?” tanya Friar.
“Aku ini dokter, jadi kamu tenang saja, kalau pun kamu tertabrak, aku akan mengobatimu sampai sembuh total. Jadi, jangan khawatir.” Kata Momo sambil memberikan senyuman lebarnya kepada Friar membuat Friar jengkel.
“Sial sekali.” Ucap Friar.
“Ayolah, Friar, ini semua demi kebaikan kita.” Kata Momo.
Tanpa mengucapkan apa-apa, Friar turun ketika mobil yang dia yakini berpenumpangkan Damson berjalan keluar dari lobby hotel dan hendak ke jalan raya.
“Nah, kau memang kakak terbaik, Friar!” Seru Momo kepada kakaknya sambil terkekeh. Friar hanya bisa memutar bola mata saja.
Momo mengawasi kakaknya dari dalam mobil.
Friar pun langsung melancarkan aksinya. Apa yang dia lakukan hari ini adalah untuk ibunya, dia tidak ingin ibunya bersedih, dia ingin ibunya bahagia. Semoga saja, dia tidak tertabrak betulan. Kalau sampai dia tertabrak betulan, habislah riwayatnya.
CITTT!
BUGGG!
Keinginan tinggal keinginan. Friar benar-benar tertabrak oleh mobil milik Damson, karena posisinya mobil tersebut memang sedang mengebut dan jalan raya tersebut memang seperti jalur cepat, semua kendaraan melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.
“Friar!” pekik Momo terkejut bukan mail.
Momo langsung keluar dari mobil dan berlari ke arah kakaknya. Dari dalam, Damson dan supirnya keluar dari mobil untuk mengecek keadaan Friar.
“Astaga, kau tidak apa-apa?” tanya Damson yang langsung menghampiri Damson.
Friar hanya bisa meringis, Damson melihat darah mengalir dari kaki Friar dan juga tubuh Friar yang lecet-lecet.
“T-tidak…”
“Minggir!” seru Momo menyibak supir Damson dan Damson.
“Astaga, Friar, ayo kita ke rumah sakit.” Kata Momo.
Momo melirik ke arah Damson dan Supir Damson. Dia pun langsung menampar pipi supir Damson dan Damson, “Itu balasan dariku karena kalian sudah mencelakakan kakakku!” seru Momo.
“Tapi, Non, tadi yang salah itu …” kata Supir mencoba menjelaskan.
“Apa? Mau menyalahkan korban yang kau tabrak? Ck, lucu sekali, benar-benar tidak beradab.” Kata Momo.
Momo pun hendak menarik Friar.
“Biar saya yang membawanya, kita pergi ke rumah sakit dengan menggunakan mobil saya.” Kata Damson.
YES!
Momo pun langsung menganggukkan kepalanya, ini adalah sebuah kesempatan yang sangat langka.