BAB 5 – Hantu Masa Lalu

2229 Kata
Malam pun datang, Friar tidur di lantai dan Ara bersama Momo tidur di atas tempat tidur. Mata mereka bertiga terpejam. Raut wajah Ara mulai berubah, dari yang tadinya tenang berubah menjadi ketakutan. “Tolong … “ Dalam keadaan mata tertutup Ara mencengkeram sprei, “Tolong, … jangan … jangan lakukan itu kepadaku, tolong …” keringat jagung mulai terlihat mengalir di dahinya. Friar yang mendengar suara ibunya langsung membuka mata, dia langsung bangun, terduduk dan menoleh ke kanan dan ke kiri, saat Friar mengetahui kalau suara itu dari ibunya, dia langsung buru-buru bangkit. “Ma?” Friar membagunkan ibunya namun tidak bangun, lalu dia memutuskan untuk membangunkan Momo. Momo pun bangun. Momo awalnya hendak marah karena dibangunkan ketika sedang berada di alam mimpi, namun melihat keadaan ibunya, amarahnya menjadi meluap. “Jangan! Jangan…” air mata Ara menderas dari kedua ujung matanya. Momo dan Friar langsung menjadi panik. Friar langsung menepuk-nepuk lengan ibunya, mencoba membangunkan Sang Ibu, “Ma, bangun, Ma,” kata Friar. Ara membuka matanya dan langsung melihat wajah Friar dan seketika Ara yang terkejut langsung mendorong Friar hingga jatuh, “Lepaskan saya!” Ara langsung duduk dan meringkuk. Momo langsung memeluk ibunya, “Ma … itu Friar …” Kata Momo yang bingung harus mengatakan apa kepada ibunya karena dia melihat ibunya begitu ketakutan melihat wajah Friar. “Iya, Ma. Ini Friar. Anak mama- …” ucap Friar sambil berdiri, dia juga merasa bingung dan terkejut. Kesadaran Ara pun mulai pulih, dia pun seketika teringat anak-anaknya. Dia pun menangis. Tidak seharusnya dia melakukan itu kepada Friar, namun wajah Friar benar-benar mengingatkan dia dengan wajah laki-laki yang menghamilinya. “Maafkan Mama, Nak. Maafkan mama,” ucap Ara. Friar menganggukkan kepalanya. Ara merentangkan tangannya sedikit meminta kepada Friar untuk memeluknya. Momo memberikan ruang kepada ibunya dan kakaknya. Air mata Momo juga sudah menderas, dia merasa ketakutan. “Maafkan Mama, Nak,” ucap Ara lagi. “Iya tidak apa-apa, Ma,” kata Friar. Ara memeluk kedua anaknya sampai hatinya tenang. “Apa yang terjadi, Ma?” tanya Friar. Ara menggelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa, Nak. Mama hanya mimpi buruk saja. Maaf karena sudah mengejutkan kalian berdua,” kata Ara. “Momo takut sekali, Mama,” ucap Momo. Ara tersenyum, “Maaf ya, Nak,” ucap Ara sambil mengusap rambut Momo. Momo menganggukkan kepalanya. Ara beralih pada Friar, “Ada yang sakit, Nak?” Friar menggelengkan kepalanya, “Tidak ada, Ma. Friar tidak apa-apa.” “Syukurlah kalau begitu. Lebih baik kita tidur lagi.” *** Momo berjalan ke arah Friar yang masih sibuk dengan laptop kesayangannya. Merasa ada yang datang, Friar langsung menutup laptopnya dengan cepat. Ternyata orang yang datang adalah Momo, adik kembarnya. Syukurlah dia memiliki insting yang kuat. “Friar …” panggil Momo. “Kakak Friar.” Friar meralat. Momo memutar bola mata, “Kamu tau apa yang terjadi pada Mama?” tanya Momo. Friar diam sebentar. Friar sepertinya mempunyai teori yang bisa menjawab pertanyaan dari Momo. Jika diruntut dengan video syur itu, Friar sepertinya bisa menyimpulkan kalau ibunya merasakan trauma karena kejadian itu. Melihat ibunya yang berteriak meminta tolong dan minta dilepaskan membuat Friar teringat video itu. Kecerdasan Friar bukan hanya mengembalikan apa wajah perempuan dalam video itu, namun dia juga mengembalikan suaranya, padahal sebelumnya video itu tidak memiliki suara. “Woi!” Momo mengejutkan Friar. Friar pun langsung tersadar dari lamunannya. “Kenapa sih?” tanya Friar pura-pura kesal. “Diajak ngobrol kenapa melamun?” Momo mengerucutkan bibirnya. “Siapa juga yang melamun?” tanya Friar. Momo menghela napas, “Jadi, gimana? Kamu tau tidak Mama kenapa?” tanya Momo. Friar menggeleng, “Tidak tahu.” “Ayolah, Friar. Kamu pasti tahu sesuatu, instingmu itu bagus,” kata Momo. “Tetap saja aku bukan cenayang, Momo,” kata Friar. Momo menghela napas, “Tapi, ketika Mama bilang tidak terjadi apa-apa, aku rasa Mama berbohong.” “Haduh! Katanya dokter genius, masa seperti itu saja tidak tahu? Ya tentu berbohong! Mama tidak mungkin mengatakan kepada kita apa yang terjadi, mama tentu tidak akan mau membuat kita merasa khawatir. Kamu seperti tidak tahu mama saja,” kata Friar. “Kamu benar juga, Friar,” “Tentu saja, otakku jenius tidak seperti-…” “Cukup ya, aku tidak mau telat masuk kerja. Sekarang ayo antar aku!” “Antar ke mana?” tanya Friar. Momo berdiri di depan Friar menunjuk jas putih yang dia kenakan. Lalu dia mengibaskan rambutnya, “Tentu saja bekerja. Aku tidak mau jadi pengangguran seperti kamu, Friar. Sampah masyarakat wooo …” “Sial. Aku memiliki pekerjaan, enak saja dibilang pengangguran.” “Yang namanya bekerja itu ada kantornya, ada tempatnya, sedangkan kamu-…” “Ck, kamu kira rumah tidak bisa dijadikan tempat untuk bekerja? Otakmu cetek sekali dokter cengeng,” “Enak saja, siapa yang cengeng? Sudahlah, ayo, antar aku!” Momo menarik tangan Friar. “Tunggu dulu,” kata Friar. Friar membuka laptopnya mengetik sesuatu lalu menutup laptopnya. “Aku taruh laptopku dulu.” “Cepat! Aku tidak mau menunggu terlalu lama.” “Dasar bawel,” ucap Friar kesal. Namun, tiba-tiba dia melirik ke arah kanan dan mendapati kakeknya yang terlihat seperti mengintip kemudian dia menaikkan bahu sebentar dan menyimpan laptopnya di dalam lemari pakaian di kamarnya. Tak lama kemudian, Friar kembali dan bersiap mengantar adiknya ke rumah sakit tempat praktik adiknya. Kadang Friar bingung, kalau orang yang hanya melihat bagaimana Momo di rumah yang cengeng, suka mengambek, dan kekanak-kanakan tentu tidak akan menyangka kalau Momo adalah seorang dokter muda berbakat. Momo memiliki kejeniusan di atas rata-rata, sama seperti Friar. Itulah yang membuat mereka berdua berhasil menamatkan pendidikan mereka dalam waktu yang tergolong singkat. “Kamu sudah mau berangkat, Nak?” tanya Ara. “Iya, Ma. Momo berangkat dulu ya?” kata Momo dengan wajah sangat riang memeluk dan mencium pipi ibunya. Friar hanya berdecak saja di tempatnya melihat adiknya. “Jaga adikmu baik-baik, Nak. Antarkan dia sampai di tempat kerjanya. Mama akan pinjam mobil pada bibimu,” kata Ara. Ara pun mencari keberadaan Berry, kemudian dia langsung mulai meminjam mobil dari adiknya tersebut, “Berry, anakku mau berangkat bekerja, boleh kakak pinjam mobilnya?” Berry yang ada di atas sofa ruang tamu sambil bermain ponsel pun langsung mendongak, “Tidak. Anakmu itu tidak tahu jalanan Jakarta. Aku tidak mau mobilku lecet dibawa mereka. Kamu suruh naik angkutan umum saja,” kata Berry. “Tapi, Berry mereka belum tau rutenya,” kata Ara. “Ck, anakmu itu sudah besar, punya ponsel untuk mencari informasi di internet,” kata Berry. Ara pun menghela napas, kemudian dia mencari ayahnya, “Bu, lihat ayah?” tanya Ara kepada ibunya. “Sepertinya di depan, Nak.” Jawab Ibunya. Ara pun berjalan menuju ke depan, “Ayah, boleh pinjam motornya untuk Friar mengantar Momo bekerja?” tanya Ara kepada ayahnya yang sedang mengelap motor beliau. “Kamu tidak lihat motor ayah baru selesai dicuci, suruh saja mereka angkutan umum,” kata Ayahnya. Friar dan Momo yang sedari tadi mengamati ibunya pun menggeram, mereka berdua tentu mendengar jawaban bibi dan kakek mereka kepada ibu mereka. “Ma, aku dan Momo sepertinya mau naik taksi saja,” kata Friar. Ara merasa tidak enak kepada kedua anaknya. Dia benar-benar kesal kepada Berry dan ayahnya. Adik dan ayahnya tersebut benar-benar keterlaluan, hanya meminjamkan kendaraan saja tidak mau. Padahal, uang pembelian kendaraan tersebut juga berasal dari Ara. Friar memesan taksi di aplikasi online. Friar, Momo, dan Ara pun menunggu di depan pagar. “Nak, maafkan kakek dan juga bibimu ya? Mama yakin mereka sebenarnya tidak ingin begitu,” kata Ara. “Iya, Ma. Tidak apa-apa.” Jawab Friar. “Tidak apa-apa bagaimana? Hanya meminjamkan kendaraan saja tidak boleh, huh, pelit sekali,” kata Momo. Friar langsung membekap mulut adiknya, “Jangan dengarkan dia, Ma. Ayo, cengeng kita berangkat!” Momo langsung berusaha sekuat tenaga melepaskan tangan saudara kembarnya kepada dirinya. Kemudian, Momo pun langsung melotot ke arah Friar. “Itu dia taksi kita, Ma. Kita berangkat dulu,” kata Friar sambil menunjuk taksi online yang dia pesan. Setelah berpamitan, Friar dan Momo pun naik ke dalam taksi. Di dalam taksi, Momo sudah siap mengomel. “Friar, what’s wrong with you? Kenapa kamu iya-iya saja tadi?” tanya Momo. “Adikku sayang, kita harus main cantik dengan bibi dan kakek. Kalau mengatakan hal tidak enak seperti tadi di depan Mama, yang ada Mama makin tertekan dan tidak enak kepada kita. Kita fokus kepada kesehatan Mama,” ucap Friar. “Kamu benar juga, Friar. Kenapa aku tidak sampai berpikiran ke sana?” tanya Momo. “Ya karena kamu bodoh,” sahut Friar. Momo langsung mencubit pinggang Friar. “Sakit, Momo!” “Biarkan saja, memang enak!” balas Momo. Friar pun menghela napas. Selama di dalam taksi Momo dan Friar terus saja berkelahi, saling beradu mulut dengan menggunakan bahasa inggris. hingga membuat supir taksi merasa pusing sekaligus penasaran. Wajah Friar dan Momo terlihat wajah Indonesia oriental, namun bahasa Inggris mereka fasih sekali. “Sudah sampai, Tuan, Nona,” ucap supir taksi. “Okay, thank- terima kasih,” ucap Friar. Friar mengajak adiknya turun dari taksi online. Dan sekarang mereka berada di sebuah showroom mobil, Momo mengamati sekeliling mencari rumah sakitnya yang ternyata tidak ada. “Are you stupid, Friar? Ini bukan tempat kerjaku! Kenapa kita di showroom mobil sih?!” seru Momo kesal. Friar menyentil dahi adiknya yang cerewet, “Kita akan beli mobil baru. Ayo, masuk!” seru Friar. “Tapi aku sudah telat, Friar!” ucap Momo. “Kamu lulusan luar negeri dan kudengar itu tidak akan membuat rumah sakit tempatmu bekerja memecatmu, orang-orang di negara ini menyukai lulusan luar negeri walaupun sdmnya cengeng seperti kamu,” kata Friar. Momo melotot ke arah saudara kembarnya. Friar pun mengalihkan pandangan, lalu langsung melihat-lihat mobil dan pilihannya jatuh kepada mobil Mercy yang cukup bagus berwarna putih. Kemudian, dia pun langsung membayarnya. Uang yang dimiliki oleh Friar membuat Friar membeli mobil seperti membeli kacang goreng. Friar pun langsung meminta kunci mobil yang dia beli dan langsung mengendarainya ke rumah sakit Momo. Masuk akal? Tentu tidak. Namun, uang bisa membuatnya masuk akal. “Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini, Friar?” tanya Momo. Memicingkan matanya curiga menatap kembarannya. “Tentu saja dari bekerja,” ucap Friar. Momo menggelengkan kepalanya. “Aku tidak percaya. Harga mobil ini 2 miliar. Cepat katakan! Kamu tidak meretas bank seseorang kan?” “Astaga, tentu saja tidak. Ini uang tabunganku,” kata Friar. “Friar, cepat jelaskan dengan jujur! Dari mana uang ini berasal?” tanya Momo. “Sudah sampai, sana turun dan bekerja!” ucap Friar. Momo memegangi dagu kakak kembarnya, “Katakan, Friar, aku mengenalmu. Kamu tidak mungkin punya uang sebanyak ini,” kata Momo. “Ini uangku. Aku mendapatkan proyek besar,-” ucap Friar. Momo langsung memegangi tangan Friar dan menatap Friar. Mata Friar sempat kosong sebentar, mengingat uang yang dia dapatkan ini memang uang menjalankan proyek mengembalikan wajah seseorang dalam video syur. Momo mengernyitkan dahinya, dia tidak mendeteksi kalau kakaknya sedang berbohong. “See? Aku tidak berbohong kan?” tanya Friar. Momo pun menghela napas lega, “Syukurlah kalau begitu. Aku sempat takut kalau aku memiliki kakak kembar yang merupakan seorang mafia. Tapi, kenapa kamu justru membeli mobil ini dan tidak membeli rumah saja? Kita itu membutu-…” Friar keluar dari mobil dan langsung membuka pintu Momo. “Turun atau aku akan menggendongmu ke dalam dan membuat rumah sakit heboh di hari pertama kamu bekerja?” tanya Friar. Momo menatap Friar dengan tatapan tajam, “Kenapa sih Tuhan menjadikan kamu sebagai saudara kembarku? Menyebalkan sekali.” “Harusnya kamu bersyukur,” ucap Friar. “Ck, bersyukur untuk apa?” kata Momo. Friar mendorong tubuh bagian belakang Momo agar Momo bisa masuk ke dalam rumah sakit dan tidak cerewet lagi. Kepala Friar rasanya mau pecah mendengar celotehan-celotehan yang dilontarkan oleh adiknya. “Nanti pulang aku jemput!” teriak Friar hingga membuat beberapa pengunjung rumah sakit menoleh. Momo pun langsung membelalakkan mata. “Maaf, maaf, saya nggak kenal sama dia,” kata Momo yang langsung tidak mengakui kakaknya di depan umum. “Sh-… sial.” umpat Friar. Friar pun langsung melajukan kendaraannya, dia pergi menuju ke rumah, tidak sabar ingin memamerkan mobil barunya kepada Bibi dan Kakeknya di rumah. Dia tidak mau melihat orang-orang itu menghina dirinya, adiknya, apalagi ibunya. “Baiklah … kita lihat dulu,” ucap Friar sambil bersiul. Sesampainya di rumah, dia pun sengaja mengklakson mobilnya, hingga kebetulan bibinya datang dan membuka pintu gerbang rumahnya. Friar bisa melihat wajah bibinya yang terlihat sangat terpesona melihat mobil putih tersebut. Berry yang merasa penasaran dengan siapa yang ada di dalam mobil mewah itu langsung menghampiri mobil tersebut dan menunggu seseorang di dalamnya keluar. Sedangkan, Friar di dalam mobil tersenyum licik. Dia tidak langsung keluar. Kaca mobilnya sudah hitam, tidak terlihat dari luar. Setelah lama di dalam mobil dan Berry yang hendak berjalan ingin mengetuk kaca pintu mobil, Friar pun langsung keluar dari mobilnya. Dan betapa terkejutnya Berry melihat Friar yang keluar. “Kamu?” tanya Berry. “Ya ini Friar, Bibi,” kata Friar. “Mobil siapa ini?” tanya Berry. “Tentu saja mobil Friar.” Jawab Friar. “Kamu pasti berbohong,” ucap Berry. “Loh, kenapa harus berbohong? Mobil ini memang mobil Friar, Bi. Bibi dan Kakek tidak mau meminjamkan kendaraan kalian bukan? Jadi, Friar beli sendiri,” ucap Friar sambil masuk ke dalam rumah. “Anak kurang ajar!” seru Berry di belakang. Friar hanya bisa terkekeh kecil mendengar suara bibinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN