BAB 2 – Keputusan Singkat

2184 Kata
“Kamu tahu kan, Ara? Apa konsekuensinya kalau kamu hamil?” tanya Bu Angela, selaku pemilik toko roti. Setelah ditelepon oleh Danisa, Bu Angela datang dan langsung mengajak Ara bicara setelah keadaan Ara sudah jauh lebih baik. Ara menunduk, dia menautkan jarinya, bingung harus berbuat apa, “Tolong, Bu. Jangan pecat saya. Tolong berikan saya satu kesempatan. Saya- …” “Peraturan ada untuk dipatuhi, Ra. Apa lagi kamu hamil tanpa suami. Saya benar-benar tidak menyangka anak sebaik kamu bisa melakukan hal b***t seperti ini,” kata Ibu Angela. Ara sebenarnya ingin sekali berteriak dan mengatakan kalau ini semua terjadi karena adiknya. Namun, apalah daya, seorang kakak tentu tidak akan membongkar air adiknya sendiri. Dia masih memiliki malu dan bagaimana pun itu adalah aib keluarganya. “Bu- saya …” kata Ara. “Saya beri waktu kamu sampai tanggal tiga puluh. Seminggu lagi. Jadi, saya harap kamu bisa bersiap-siap,” kata Bu Angela. Bu Angela pun pamit pergi karena masih banyak yang harus beliau urusi. Selama Ara bekerja, hanya toko roti tempatnya sekarang bekerja saja yang menurutnya enak. Dari segi gaji lebih besar dari toko-toko roti yang lain, dan dari fasilitas semuanya tercukupi. Banyak sekali orang yang ingin bekerja di toko itu, jadi pemilik toko memang tidak terlalu ambil pusing kalau memang mau mengganti karyawan. Ara pun menangis di tempatnya, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. “Kamu mau pulang sekarang, Ra?” tanya Rama. Wajahnya terlihat sedih, terlihat ada kekalutan di dalam matanya. Ara menganggukkan kepalanya. “Biar aku temani,” kata Rama. “Tidak perlu, Ram. Aku bisa pulang sendiri,” kata Ara. Rama menggelengkan kepalanya, “Tidak, saya sudah bilang Denisa. Dia bisa menghandle untuk tutup toko.” Ara pun tidak bisa menolak Rama yang terlihat terus menawarinya. Akhirnya Ara pun setuju untuk diantar oleh Rama. Dengan mengendarai sepeda motor bututnya, Rama mengantarkan Ara pulang. Namun, mendengar Ara yang terus menangis di belakangnya, Rama menghentikan motornya dan membawa Ara menuju ke salah satu taman kota, dia tidak bisa mengantarkan Ara sekarang. Lagi pula ada yang sangat ingin dia tanyakan kepada Ara. “Apa yang sebenarnya terjadi, Ra? Aku sangat kenal kamu. Kamu tidak mungkin berbuat seperti itu,” kata Rama. Ara menangis. Rama meraih tangan Ara. Menggantikan peran tangan Ara untuk mengusap air mata Ara. Hati Ara menghangat, dia menyukai laki-laki di hadapannya, namun dia sadar diri kalau dia tidak akan pernah bisa mendapatkannya, bahkan dia sama sekali tidak pantas. “Ra, jangan pendam semuanya sendiri. Apa yang terjadi?” tanya Rama sambil menatap wajah Ara yang menunduk. “Aku-… ak-aku … dijebak oleh adikku sendiri,” tangisan Ara pecah seketika. “Apa yang terjadi?” tanya Rama. “Malam itu, aku baru pulang dari toko, ayahku bilang kalau Berry diculik dan dibawa ke hotel. Aku- … aku … datang dan dibius hingga akhirnya aku hamil,” ucap Ara. Tangisan Ara pecah. Rama sontak membawa Ara ke dalam pelukannya. Dia sudah menduga kalau Ara bukanlah perempuan jahat, dia sangat mengenal Ara yang merupakan anak baik-baik. “Lalu, di mana, Berry?” tanya Rama. Ara menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu, tapi yang jelas, setelah kejadian itu sampai sekarang, … dia tidak pulang ke rumah.” Rama mengepalkan tangannya, “Kenapa dia bisa begitu jahat sama kamu?” tanya Rama. “Aku juga tidak mengerti, Rama. Padahal selama ini, dalam hidup aku selalu memprioritaskan dia, bekerja siang malam agar dia bisa sekolah, tapi balasannya justru seperti ini. Sekarang aku hamil, aku- …” Ara tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. “Kamu tahu siapa laki-laki yang menghamilimu?” tanya Rama. Ara terdiam, tahu. Ara menggelengkan kepalanya, “Tidak tahu.” “Menikahlah denganku,” kata Rama. Ara membeku di tempatnya. Dia tidak menyangka kalau ajakan menikah keluar dari mulut rama. Bukan apa-apa, selama ini mereka berdua tidak memiliki hubungan apapun jadi rasanya aneh kalau Rama tiba-tiba mengajaknya menikah. Ya … walaupun Ara tahu kalau Rama mungkin hanya kasihan kepada dirinya. “Tidak, Ram. Aku sudah hancur, aku tidak mau membawa kehancuran dari hidupmu. Aku berterima kasih karena kamu sudah baik kepadaku namun untuk menikah dalam keadaan seperti ini sepertinya aku tidak bisa,” kata Ara. “Fikirkan bayimu, Ra. Dia tidak bisa lahir tanpa ayah, apa yang terjadi kepadanya nanti?” tanya Rama. “Keluargamu akan mengusirmu dari rumah kalau tahu kamu menikahi perempuan seperti aku,” kata Ara. “Aku tidak peduli akan hal itu, aku mencintaimu, sejak awal kita bertemu. Jadi, aku rela menerimamu dalam keadaan apapun kamu,” kata Rama. Ara pun berkaca-kaca mendengar penuturan Rama. *** “Aku hamil,” ucap Ara kepada kedua orang tuanya yang tengah menonton TV. “Apa?!” Ayah dan Ibu Ara memekik terkejut. Ara menahan air matanya, dia menatap langit-langit sebentar, “Aku juga sudah dipecat.” “Astaga! Bagaimana bisa kamu dipecat, Ara? Kalau kamu tidak bekerja siapa yang akan membiayai hidup kita semua?” tanya Ayah. Tangan Ara mengepal. Dia menatap marah kepada ayahnya, dia tahu kalau Sang Ayah memang sangat menyukai uang, namun di situasi seperti ini sepertinya ayahnya tidak pantas berbicara seperti itu. “Ayah, kenapa yang ayah pikirkan hanya itu? Kenapa tidak memikirkan perasaan aku?” tanya Ara. “Tapi kamu adalah satu-satunya anggota keluarga yang bisa menghasilkan uang!” ucap Ayah. “Ayah bisa. Ayah masih sehat, bisa melakukan apapun. Kenapa tidak ayah saja yang bekerja?” tanya Ara kesal. PLAK! “Kurang ajar kamu! Kamu pikir sampai sebesar ini yang cari nafkah untuk keluarga kita siapa kalau bukan ayah? Ayah hanya ingin menikmati masa tua ayah karena anak ayah sudah bisa bekerja,” kata Ayah. “Ayah, sudah, ayah,” kata Ibunya Ara. Ara menangis, “Ayah egois!” “Gugurkan anak dalam kandunganmu dan kembalilah bekerja, ayah tidak mau tahu,” kata Ayah. “Sampai kapanpun Ara tidak akan menggugurkan kandungan Ara, Yah!” teriak Ara. “Apa? Ara hamil?” seseorang terkejut setengah mati. Ara dan kedua orang tuanya menoleh ke arah pintu rumah yang tidak tertutup. Tiga orang masuk ke dalam. Pak RT dan dua ibu-ibu PKK. Mereka kebetulan datang karena ingin melakukan pendataan. “P-Pak RT?” tanya Ara. Jantung Ara berdegup dengan sangat kencang. “Astaga, Ara. Kamu kan belum punya suami, kenapa bisa hamil?” tanya Pak RT. “Pak RT seperti tidak tahu saja, anak zaman sekarang itu berbeda dengan anak zaman kita, Pak. Hamil di luar nikah itu hal yang biasa,” ucap seorang ibu-ibu di samping Pak RT. “Iya, yang penting tahu siapa ayahnya, lalu sudah … tinggal dinikahkan saja,” kata ibu-ibu yang satunya lagi. “Siapa ayah dari anakmu?” tanya Pak RT. Ara diam. Dia tidak bisa menjawab. “Ah, saya sudah mendesaknya sejak kemarin, Pak RT. Tapi dia tidak mengaku, sepertinya dia hamil anak pacarnya,” kata Ayah Ara. Ara melotot ke arah Ayahnya, “Ayah!” “Bawa pacarmu itu ke hadapan saya besok atau saya terpaksa harus mengusir kamu. Seperti kamu tahu, Ara, kampung ini adalah kampung yang bersih, kalau sampai semua orang tahu kamu hamil duluan, saya takut kalau tetangga-tetanggamu yang masih kecil akan mengikuti jejakmu. Saya tidak mau kalau sampai itu terjadi,” kata Pak RT. Pak RT dan dua asistennya pun meminta KK dan KTP milik keluarga Ara, kemudian pergi meninggalkan rumah Ara. “Ayah malu sekali!” ucap ayahnya Ara sambil mengusap wajahnya. “Kalau bukan karena Berry, Ara tidak akan seperti ini, Yah!” ucap Ara. Ayah Ara memilih untuk masuk ke dalam. Hati Ara sakit sekali melihatnya. Dia merasa kalau Ayahnya sama sekali tidak sayang kepada dirinya. Dirinya hanya sebuah bank keliling yang siap menyiapkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja. “Carilah laki-laki yang bisa menikahimu, Nak,” ucap Ibunya Ara. “Tapi, Bu. Apa kata keluarganya kalau menikahi Ara?” tanya Ara. “Kamu sudah menemukan laki-laki itu?” tanya Ibunya Ara. “Ada yang datang mengajakku menikah. Tapi …” kata Ara. “Datangi dia dan sampaikan, menikahlah denganmu,” kata Ibunya Ara. “Jangan pikirkan orang lain, mulai pikirkanlah dirimu sendiri.” Keesokkan harinya, Ara pun kembali merasakan mual. Namun, dia memaksakan diri untuk bangun. Ada hal yang harus dia bicarakan dengan Rama. Dia ingin menjawab tawarannya atas pernikahan itu. Dia ingin mengatakan kalau dia mau menikah dengan Rama. Ara mengambil pakaian terbaiknya, hatinya merasa tidak enak karena harus merepotkan Rama namun semalaman suntuk dia mencari cara, namun hanya cara ini saja yang sepertinya bisa dia tempuh. “Ara, berikan ayah lima puluh ribu, ayah mau beli rokok,” kata Ayahnya Ara. “Ara tidak punya uang, Yah,” ucap Ara. Ayah Ara buru-buru mengambil tas selempang Ara dan mengambil dompet Ara. “Ayah!!!” Ara mencoba mengambil dompetnya namun Sang Ayah justru mengambil uang seratus ribu di dalam dompet tersebut. “Dasar anak pelit!” ucap Ayahnya Ara sambil memasukkan uang seratus ribu ke dalam saku kemudian mengembalikan dompet itu kepadanya. Ara menatap dompetnya dengan tatapan nanar. Di dalam dompet hanya tersisa uang dua ribuan sebanyak lima lembar. Akhirnya, Ara yang tidak memiliki ponsel karena ponselnya tertinggal pada malam itu pun langsung menuju ke rumah Rama. Dia tahu hari ini Rama off bekerja, dia ingin bertemu dengan Rama dan membicarakan semuanya. Beruntung Ara tahu di mana rumah Rama dan rumah Rama bisa ditempuh dengan angkot. Sesampainya di depan rumah Rama, Ara hendak mengetuk pintu rumah Rama. Namun, tangan itu berhenti di udara. Terdengar suara ribut-ribut di dalam rumah Rama. “Pokoknya Mommy tidak setuju kamu menikah dengan Ara! Mommy tidak sudi memiliki menantu yang hamil anak orang lain. Lagi pula keluarga kita berbeda dengannya, Nak!” “Aku akan tetap menikahi Ara, Mommy.” “Kalau kamu tetap menikahi Ara, bersiaplah, Mommy tidak akan pernah menganggapmu sebagai anak lagi!” Air mata Ara mulai terkumpul di pelupuk, dia menatap langit-langit, menahan agar tangisannya tidak pecah. Rama adalah laki-laki yang baik, namun apa yang dikatakan oleh ibunya Rama benar. Ara tentu tidak bisa memanfaatkan kebaikan Rama, kalau dia melakukan itu dia tentu akan merasa menjadi orang yang sangat jahat. Ara memilih untuk membalik badan dan pergi dari sana. Satu-satunya tempat yang bisa dia datangi adalah kos-kosan milik sahabatnya, Olive. Dia adalah satu-satunya sahabat Ara yang telah Ara kenal dari SMA. “Ara?” tanya Olive yang sudah ada di depan rumah dengan tas besar. Ara terlihat seperti ingin pergi jauh. “Olive!” seru Ara yang berlari ke arah Olive dan memeluknya. “Apa yang terjadi?” tanya Olive. “Panjang, Liv. Kamu mau pergi?” tanya Ara. Olive menganggukkan kepalanya, “Aku harus pergi ke keluar negeri. Ceritakanlah apa yang terjadi? Kenapa nomormu tidak pernah aktif sebulan ini?” “Ponselku hilang,” jawab Ara. “Aku --- … aku ada masalah besar.” “Apa yang dilakukan Berry kali ini kepadamu?” tanya Olive. Olive selalu tahu kalau semua masalah yang ada di dalam hidup Ara selalu berkaitan dengan Berry, adik Ara yang sangat durhaka kepada kakaknya. “Dia membuatku hamil, Olive,” kata Ara sambil menangis. “Astaga!” pekik Olive. Olive membawa Ara ke dalam kamar kos-kosannya dan membiarkan kopernya ada di luar. “Bagaimana maksudnya?” tanya Olive. Ara menggelengkan kepalanya, “Aku malu sebetulnya menceritakan aibku namun aku juga bingung harus berbagi dengan siapa. Aku merasa jalanku buntu.” “Cepat ceritakan apa yang terjadi, Ra! Jangan sungkan padaku,” kata Olive. “Lebih dari sebulan yang lalu, Berry mengabarkan orang rumah kalau dia diculik dan memintaku membebaskannya di hotel, sesampainya di hotel, aku- aku … diperkosa … dan dia mendapatkan uang dari apa yang aku lakukan,” ucap Ara. “b******k! Di mana dia sekarang?” tanya Olive sambil berdiri. Ara langsung menahan tangan Olive, “Sejak malam itu dia belum pernah pulang ke rumah dan aku tidak pernah mencari keberadaannya. Saat ini situasiku genting, aku hamil, dan kalau aku tidak menikah, aku akan diusir dari rumah.” “Jangan kembali ke rumahmu, Ra. Kamu hanya dijadikan mesin pencetak uang!” ucap Olive. “Maksudmu?” tanya Ara. “Pergilah bersamaku, ikut menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Mulailah semuanya dari sana. Temanku kebetulan tidak jadi ikut denganku. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut denganku, saat ini juga kita pergi ke bandara,” kata Olive. “Tapi, aku tidak bawa pakaian, Olive,” ucap Ara. “Aku juga belum meminta izin kepada kedua orang tuaku.” “Orang tuamu itu tidak peduli denganmu, Ra. Untuk apa kamu begitu peduli kepadanya. Lagi pula nanti kan kamu bisa pulang kalau situasinya sudah membaik,” kata Olive. “Tapi mereka orang tuaku, mereka yang mengurusku sejak kecil hingga sekarang. Aku bertanggung jawab atas kehidupan mereka,” kata Ara. Olive menghela napas, “Menjadi anak pertama itu susah betul ya, Ra! Dengan kamu ikut denganku, kamu bisa ikut bekerja, kamu bisa mengirimkan uang kepada kedua orang tuamu. Masalah izin, kamu bisa telepon saja nanti di sana. Aku akan membantumu.” Ara menatap Olive tidak yakin. “Bagaimana? Maaf Ara, aku tidak punya banyak waktu,” kata Olive. Ara berpikir cepat. Apa yang dikatakan oleh Olive ada benarnya juga. “Aku tidak membawa uang untuk beli tiket pesawat dan -…” “Kamu tidak perlu khawatir, ada aku.” “Baiklah, terima kasih banyak, Olive.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN