SWAN ALBANO
Hari ini, benar-benar terasa sangat melelahkan untukku. Setelah melayani Nyonya Bilbina dan beberapa pelanggan di kelab, aku pulang ke flat dengan mobil bekas yang sudah hampir tiga tahun kubeli. Aku berharap dapat tidur nyenyak tanpa mengeluarkan lendirku lagi semalam, tapi keinginan itu tidak terkabul.
"s**t!" Aku begitu kesal hingga tak sengaja menendang treadmill yang kubeli masih dari kegigihan mengolah lendir, sebelum berjalan menuju ke lantai dasar apartemen dan pergi mencari bahan makanan di mini market.
Kau tahu, sudah hampir satu jam berlalu, namun bukti gairahku tak kunjung mendapatkan pelepasannya. Aku bahkan sudah memutar beberapa film biru, namun hasilnya nihil. Rudal sialan ini belum berejakulasi dengan baik seperti biasanya dan aku tentu saja tidak bisa tidur sampai pagi ini. Oh my God!
Apa sebenarnya yang terjadi padaku? Apa kau pernah mengalami hal yang sama? Maksudku mengalami keadaan ketika seseorang berjalan mondar mandir pada setiap sudut yang ada di dalam isi kepalamu. Bagaimana rasanya? Jujur saja, aku tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya dan bagiku ini benar-benar gila! Yang aku bayangkan adalah berada di ujung pelepasan ketika ia bergoyang di atas tubuh terikatku dan, "Oh, yes!" tak ada hal terhebat yang aku pikirkan selain itu, "s**t!" hingga membuatku sekali lagi mengumpat, ketika nyaris menerobos lampu merah.
Hem, begitulah. Sejak lima tahun lalu, aku selalu membuat perencanaan terhebat yang berusaha untuk kuwujudkan dan sialnya, bercinta dengannya sampai aku puas ada di dalam daftar perencanaan itu.
BRUGH!
"Hei! Apa yang kau lakukan, hah?! Di mana mata-- Sial! Kau lagi!" teriak suara wanita yang barang belanjaannya jatuh berhamburan ke lantai, setelah aku memutuskan untuk menepi di mini market terdekat dari perempatan lampu lalu lintas yang nyaris ku terobos tadi.
Wanita itu adalah orang yang malam tadi begitu membuatku gelisah karena tak kunjung mendapatkan pelepasanku, "Kau? Bagaimana kau bisa--"
"Ada apa denganku, hem? Apa yang kau tunggu? Cepat bereskan semua barang belanjaanku yang kau jatuhkan ini!"
"Egh... Iy..iya-iya... Maaf." Sekaligus wanita yang berhasil membuat lidahku terasa keluh. Ia meneriaki ku lagi seperti kemarin malam, dan bodohnya kata maaf yang jarang aku ucapkan, pun mencelos begitu saja di sana.
Aku merunduk, memunguti semua barang-barang yang tercecer dari paper bag coklat sembari berharap ia pun akan ikut membantuku, namun sayangnya itu tidak terjadi ketika dua barang lagi tersisa di lantai. Cepat otakku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa kembali merasakan hal yang sama seperti malam panasku bersama dia dan, "Yes!" aku menemukan dompet berwarna hitam tak jauh dari tempatnya berdiri.
Segera saja kubereskan belanjaanya yang tercecer. Aku lantas berdiri, bergeser sedikit dan kuinjak saja dompet itu dengan kakiku. Hahaha... Ini benar-benar hal terkonyol yang pernah kulakukan, tapi aku yakin di dalam dompet kulit berwarna hitam itu, pasti terdapat kartu nama perempuan di hadapanku ini dan bilapun itu tidak ada, setidaknya kartu identitasnya pasti ada dan aku bisa mencari tahu di mana tempat tinggalnya.
"Baiklah, Miss. Kita lihat saja nanti. Aku akan meruntuhkan keangkuhanmu kali ini. Jangan sebut namaku Swan Albano jika aku tak bisa membuatmu takluk di atas wajahku lagi, hahaha..." batinku tertawa jahat.
"Apa yang kau tertawakan?! Cih, dasar gigolo menjijikan! Berikan barang belanjaanku," tegurnya merebut paper bag dari tanganku.
"Egh, aku--"
"Apa lagi? Menyingkirlah! Aku harus segera pergi dari sini! Menyebalkan sekali! Oh, ya ampun! Mengapa apa aku bisa bertemu gigolo ini di sini lagi?" potongnya mengerutu sembari terus berlalu meninggalkanku.
"Hufttt...!" Entah mengapa hatiku terasa sedikit tercubit ketika ia berdecak kesal seperti tadi dan perasaan seperti jatuh ke dasar jurang, kini terasa penuh melingkupiku.
Aku tak pernah merasa aneh dengan pekerjaan yang kudapatkan lima tahun lalu. Bagiku yang terpenting adalah aku sudah memuaskan keinginan para wanita maniak seks itu, tapi bagiku beberapa detik lalu ucapannya tadi begitu menusuk.
Tak sampai lima detik, dompet berwarna hitam milik wanita itu, sudah berada dalam saku dalam jaket jins yang kukenakan. Aku lantas berbalik, mencari jalan pulang. Rencana membeli beberapa bahan makanan pun buyar seketika, berganti dengan rasa penasaranku pada wanita itu dan juga tentang isi di dalam dompetnya.
Secepatnya aku menyeret langkah kakiku menuju ke pelataran parkir, masuk ke dalam mobil, menghidupkannya dan keluar dari pusat perbelanjaan itu menuju ke sebuah jembatan tua yang terletak di sebelah utara kota Kopenhagen. Bagiku tempat itulah yang sering membuatku merasa tenang, ketika aku menghadapi sebuah masalah, lalu membutuhkan jalan keluar.
Aku bukan tipe pria yang suka meneguk banyak alkohol ketika batinku sedang bergolak seperti sekarang, sebab aku selalu sadar siapa diriku. Aku bukan anak konglomerat yang bisa secepat kilat mendapatkan uang hanya dengan meminta pada orang tua mereka. Bila aku menghabiskan uang yang kucari dengan berpesta sesuka hati, itu artinya aku harus mendapatkannya lagi dengan puluhan atau bahkan ratusan liter lendir para wanita maniak seks yang menyukai permainan lidahku.
"s**t!" Umpatku memukul stir mobil dan mencengkeramnya erat.
Sebenarnya aku bukan tak suka pada pekerjaanku ini. Hanya saja aku sangat tidak nyaman ketika mendapatkan tamu gila seperti nyonya Bilbina dan yang sejenis dengan wanita aneh itu. Caranya memaksaku tanpa jeda, hingga terkadang, "Hahaha..." sering membuatku tersedak lendir hangatnya itulah yang sangat ku kesali.
Well, meskipun begitu aku harusnya berterima kasih pada nyonya Bilbina, karena jika malam itu ia memakai jasaku, maka mungkin bukan aku yang melayani wanita tadi.
"Wanita tadi? b******k!" Hampir saja aku melupakan tujuanku kemari. So, ayo kita lihat apa yang ada dalam dompet kulit berwarna hitam ini.
"Oh, my God! In-ini? Benarkah dia seorang mahasiswi dan masih berusia sembilan belas tahun?" lugasku hampir menjatuhkan dompet itu ke derasnya aliran sungai yang berada di bawah jembatan tua ini, "Tapi, bagaimana bisa ia bertingkah sangat liar seperti malam itu? Ya Tuhan, apakah aku terlihat seperti seorang p*****l? Ini benar-benar mengejutkan!"
Sejurus kemudian aku kembali membaca nama yang tertera di kartu identitasnya, "Poppy Millers? Hem, nama yang bagus. Persis seperti wajahnya yang cantik!" Dan suara hatiku benar-benar tak bisa memungkiri, jika debar-debar sialan itu sedang terjadi sekali lagi.
Senyuman teramat sangat lebar, bahkan secepatnya menghiasi wajahku saat ini, hingga tak lama kemudian, "Halo, siapa ini? Halo? Hal--"
Klik
Aku menutup panggilan yang baru saja tersambung ke nomor ponselnya, "Oh, my God! Hahaha... Kau payah, Swan Albano. Kapan rencana ingin kembali menidurinya itu akan terlaksana jika begini caramu? Oh, kau seperti anak kecil. Hahaha... Benar-benar bodoh!" Sebab jantungku melaju begitu hebat dan menurutku, ini sungguh mengelikan.
***