Awal tau

977 Kata
BAB 1 Aku adalah anak dari keluarga biasa yang sebenarnya aku sendiri tidak terlalu paham dengan kondisi keluargaku. Namaku Ani pratiwi yang baru berusia 17 tahun tapi masih belum mengerti arti kata kebahagiaan. karna yg aku rasakan saat ini hanya menjalani kehidupan tanpa melawan atau memberanikan diri untuk berkeinginan. Sampai suatu saat teman mainku datang kerumah "Ani, sini!" ucap Putra. Ya, Putra adalah temanku yang paling dekat denganku walau kita dekat bukan berarti aku suka padanya atau sebaliknya. "Ya Put, ada apa?" aku langsung mendekatinya dan menanyakan dia kenapa memanggilku. "Ini ada surat dari om Yasa." kata putra sambil menyodorkan amplop putih. "Surat dari om Yasa? Surat apa?" aku bertanya pada Putra sambil menautkan alisku. "Gak tau, loe baca aja sendiri."kata putra sambil berlalu pergi. Ya om Yasa adalah orang yang tinggal di rumah kontakan depan rumahku bersama istrinya, itu pun aku tau dari putra, karna aku tidak pernah memperhatikan keadaan sekitar rumah dan tidak mau mencari tau karna ku pikir itu bukan urusanku. 'Om Yasa ngasih surat apa ya?' aku bertanya kembali dalam hatiku. Akhirnya aku masuk kedalam kamar dan membacanya. 'Ani sudah lama saya memperhatikanmu, Melihatmu bermain atau melakukan pekerjaan rumah, Tapi semenjak saya bertemu kamu ada perasaan aneh dalam hati saya yang tidak biasa saya rasakan, Jantung saya selalu berdetak lebih cepat dari biasanya bila saya melihatmu,dan saya selalu khawatir jika saya tidak melihatmu walau hanya satu hari. Ani aku menyukaimu,mau kah kau menerimaku?' 'Apaan ini dia kan sudah punya istri kenapa dia suka sama aku?' ucap ku dalam hati lalu melipat kembali kertas itu dan memasukkannya kedalam amplop dan bergegas pergi kerumah Putra. Sampai rumah Putra, aku memberi salam dan langsung masuk kerumahnya. "Assalamualaikum..." kataku sambil berjalan langsung masuk ke dalam menuju kamar Putra.ya keluarga ku dan keluarga putra sangat dekat, jadi keluarganya dan keluargaku seperti saudara sendiri jadi tak ada kata sungkan. "Waalaikum salam.."jawab mimih(dalam bahasa sunda yang artinya ibu). "Putranya mana Mih?" kataku sambil tersenyum ramah. "Ada di kamar.." kata mimih juga dengan senyuman. Tanpa banyak bicara lg aku langsung masuk kamar putra, ternyata dia sedang tidur. langsung aku membangunkannya dan tidur di sampingnya. "Woi...bangun!" kataku dengan suara lantang. Ya walaupun aku selalu mengusiknya tapi dia tidak pernah kesal dan marah, dan walaupun aku selalu nempel padanya tapi dia tidak pernah bertindak macem-macem. entah lah mungkin karna hubungan pertemanan kami atau hubungan kekeluargaan. Sontak dia kaget dan langsung membalikkan badannya "Aduuuh..ganggu aja orang lagi tidur siang!" keluhnya tanpa perduli aku sudah tidur di sampingnya. "Nih, loe baca! Gue gak ngerti." sambil menempelkan amplop surat dari om Yasa di wajahnya. Dia mengambil amplop surat itu dan langsung membacanya dalam diam. aku melihatnya membaca sambil memiringkan badan ke arahnya. Setelah selesai membaca dia menjatuhkan tangannya yang memegang kertas lalu matanya kembali terpejam. dalam hati ku 'loh kok dia tidur lg?' Aku bergumam. Karna kesal dengan yang ku lihat akhirnya aku duduk dan memukul kepalanya sambil berucap, "woi...loe tidur lagi apa pingsan!" karna kesal pada kelakuannya setelah membaca surat itu tanpa komentar apapun. "Aduuh...sakit Ani!" kata Putra sambil mengelus-elus kepalanya. "Lagian abis baca bukannya bangun terus kasih komentar apa kek, ini malah merem lagi" kata ku sambil cemberut. "Terus gue mesti ngomong apa? kan disini udah jelas dia bilang suka sama loe, sekarang ya terserah loe mau terima apa enggak?" kata Putra sambil menyandarkan punggungnya di tembok. "Gue gak tau mesti jawab apa mangkanya gue nanya sama loe." Kataku sambil mengambil bantal dan menutupi pahaku. "Ya ampun Ani.. dia tuh nanyanya sama loe, karna dia sukanya sama loe, ya loe tanya lah sama hati loe jangan nanya sama gue, emang hati loe ada di gue apa jadi lo harus nanya sama gue" ucap Putra panjang lebar sambil menunjukkan wajah kesalnya. Aku diam sambil berfikir apa yang harus kulakukan. Bagai mana dengan istrinya jika dia menyukaiku, bagai mana keluargaku jika tau kalau dia menyukaiku dan banyak lagi kata bagaimana dalam pikiranku yang tak bisa aku ungkapkan. 'Aduh pusing ah.' pikirku dan tak mau memikirkannya lagi. Satu minggu berlalu semenjak kejadian surat itu. Tapi hari ini Putra menanyakannya kembali. "Ani..om Yasa nanyain tuh suratnya, kok gak di balas?" kata putra yang lagi duduk di kamarnya sambil memperhatikanku.. Ya memang aku sering ke kamar putra sampai berjam-jam bahkan seharian jika di rumah lagi gak ada kerjaan. "Gue bingung mo jawab apa?" kataku, padahal udah lupa apa isi suratnya karna aku tak berniat membalasnya jadi sudah aku lupakan, dan aku juga lupa dimana suratnya. "Ya loe tulis aja loe terima dia atau tolak dia, tapi gue fikir sih loe terima aja, kayanya dia baik deh, dan kayanya uangnya banyak." kata putra mengusulkan. Dasar Putra gak bisa liat orang punya duit sedikit langsung bilang banyak duit. Emang sih orangnya baik tapi kan dia udah punya istri. "Ya udh loe aja yang bales suratnya, terserah loe mau nulis apa, gue iyain aja." karna tidak mau berfikir lagi akhirnya aku menyuruh Putra membuatkan surat balasannya. "Ya udh gue tulisin, tapi jangan marah ya kalau jawabannya terserah gue," ucapnya sambil senyum senyum. "Iya gue gak marah." kataku sambil pasrah aja apa yang akan Putra tuliskan dalam surat itu. Aku duduk di kasurnya sambil memperhatikan Putra yang bersiap menuliskan surat balasan untuk om yasa. "Eh tunggu sebentar!" kata ku sambil bangkit dari kasurnya menuju meja di depan putra dan mengambil pulpen yang berwarna merah lalu memberikan padanya sambil berkata. "Nulisnya pake pulpen merah aja" kataku. Putra langsung menerimanya tanpa berkata apapun dan langsung menuliskannya. "Nih udah selesai, loe mau baca gak?" katanya sambil menyodorkan kertas itu. "Gak usah, gue percaya sama loe. Loe lipet aja trus kasih ke om Yasa sekalian..!" kataku tanpa melihat sedikitpun isi dari surat tersebut..walaupun aku tak melihatnya pasti nanti juga Putra akan memberitahukannya padaku. Akhirnya dia melipat kertas itu dan berniat memberikannya nanti malam setelah om Yasa pulang kerja. 'mmm...semoga aja Putra gak nulis yang macem-macem.' kataku dalam hati dan tak mau memikirkan apa tanggapan om Yasa padaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN