3- Teman Rainhard
“Saya tidak sedang menggoda anda, Tuan!” Sava berkata dengan nada tinggi. Tak peduli jika akhirnya dia harus dipecat nanti.
Bosnya ini sungguh menyebalkan sekali!
Rainhard tertawa dan berkata dengan sinis.
“Kamu berani membentak ku! Mau saya pecat, hemm.” Rainhard berdiri, menghampiri Sava dan mengitari gadis itu.
Sava menahan nafas saat pria itu berdiri di belakangnya dengan jarak begitu dekat.
Bahkan dia, merapikan helaian rambutnya yang keluar dari ikatan.
Seolah kelu dan membeku, Sava hanya diam saja. Tak bergerak sedikit pun seperti patung.
Rainhard berbisik tepat di telinga Sava, dengan jarak sangat dekat. Hingga, Sava bisa merasakan embusan napasnya yang hangat dan wangi mint.
Aroma parfum maskulin, namun tak menyengat memanjakan penciumannya.
Ah sial! Sepertinya Sava larut dalam keterpesonaan akan bos tampan nan arogan itu!
Sava sampai merutuki dan memaki dirinya sendiri.
“Aku suka bau tubuhmu, kamu pakai parfum apa, hemm,? Tanya Rainhard seraya mengendus kulit leher Sava yang begitu menggodanya.
Plak
“Hey! Jangan m***m ya!” Sava yang sudah sadar dari keterpesonaannya, langsung spontan menggeplak kepala sang bos. Yang kurang ajarnya malah menyandarkan dagu di bahunya.
Tanpa berbasa-basi lagi, Sava langsung kabur keluar dari ruangan itu, tanpa membawa segelas kopi yang tadi hendak ia ganti.
Tentu saja, hal itu karena dia tak mau disebut mau mencuri es kopi milik pria m***m itu!
“Kesukaannya kopi dingin dengan banyak es batu! Sangat sesuai dengan sikapnya!” Sava menggerutu pelan saat sudah keluar dari ruangan itu.
Sementara di dalam ruangannya, Rainhard kembali duduk. Kali ini di kursi kebesarannya, hendak melanjutkan pekerjaan.
Bibirnya tersenyum tipis, sambil menyentuh kepala yang tadi digeplak seenaknya oleh Sava.
“Wah kamu sepertinya sedang sakit?” suara seseorang tiba-tiba saja terdengar dari arah pintu, berbarengan dengan seseorang yang masuk tanpa mengetuk pintu.
Rainhard mendelik pada pria itu, yang tidak lain adalah teman sekaligus rekan kerjanya.
“Ngapain disini, bukannya pulang!” jawab Rainhard dengan nada ketus dan dingin seperti biasanya.
“Ck, ck baru saja kamu tersenyum dengan wajah merona, sekarang sudah ketus saja!” ejek temannya yang bernama Roni itu.
“Siapa yang tersenyum sendiri, aku kan bukan orang gila!” sahut Rainhard tak suka.
Roni hanya terkekeh, dia malah duduk santai di sofa sambil main hp.
Sungguh hal tak berguna menurut Rainhard.
Rainhard sendiri, memang jarang pegang hp. Ya seperlunya saja.
Dia tak suka main game! Baginya sungguh tak bermanfaat.
Dia menggunakan hp hanya untuk urusan bisnis saja! Atau membalas pesan penting.
Selang lima menit kemudian terdengar suara pintu diketuk.
“Masuk!” Roni yang menjawab.
Orang yang mengetuk pintu, tidak lain adalah Sava.
Dia mengerutkan dahi, suara yang menjawab terasa berbeda.
Jika sang bos suaranya berat dan terkesan dingin.
Kali ini yang bersuara terdengar lebih hangat dan ringan.
Sava membuka pintu perlahan.
Dia lalu masuk, dan mendapati pria tampan yang dingin itu sedang berkutat dengan pekerjaannya di depan laptop.
Sedangkan, pria lainnya ada di sofa.
Pria yang tak kalah tampannya dengan sang bos, namun dia tampak lebih manusiawi.
“Halo cantik, nganter kopi buat aku ya?” Roni menghampiri Sava yang masih berdiri di dekat pintu.
Rainhard kontan mendengus. “Itu kopi ku!”
Roni terkekeh. “Wow, si bos ngambek nih! He hehe.”
Sava memasang tampang serba salah lalu dia berkata kepada Roni. “ Kalau tuan mau biar saya akan membuatkannya lagi untuk anda,” dengan nada lembut, membuat Rainhard merasa tidak suka.
“Dia tidak suka kopi dingin!” Rainhard segera menyahuti.
“ Eit siapa bilang! Aku suka kok, apalagi yang bikinnya gadis imut kayak kamu,” gombal Roni.
Rainhard menahan kesal, dia hanya melirik ke arah Roni lalu Sava bergantian, dengan tatapan tajam. Lalu seolah tak peduli, dia kembali menatap laptop dan berkutat dengan pekerjaannya.
“Namamu siapa?” tanya Roni. Setelah Sava menyimpan kopi dingin untuk sang bos.
Sava menoleh ke arah Roni.
“Sava,” jawabnya.
“Nama yang cantik, secantik orangnya,” gombal Roni.
Namun hal itu sontak membuat pipi Safa merona.
Siapa yang tidak baper dipuji cantik oleh cowok ganteng, kaya pula.
Kyaaa! Sava berteriak heboh dalam hati.
“Cih, pulang sana daripada merayu karyawanku!” dengus Rainhard tidak suka.
Roni mencebikkan bibir.
“Nanti aku mau ngajak kamu makan siang bareng,” ujar Roni sambil berdiri menatap Sava.
Wajah Sava semakin merah merona, dan dia mengangguk spontan.
Rainhard menatap Sava semakin tajam, tak percaya saja jika gadis itu ternyata langsung setuju diajak makan siang oleh Roni.
Dasar sialan! Umpatnya dalam hati.
Sava pun bergegas keluar dari ruangan itu dengan d**a yang bergemuruh, dan hati berdebar hebat.
“Astagfirullah! Ingat Rio calon Suamimu Sava!” Sava hanya memaki dirinya dalam hati, dan memukul kepalanya beberapa kali.
Sebenarnya, dia hanya Baper digombalin cowok ganteng. Akan tetapi dalam sudut hati terdalamnya, tentu saja dia sama sekali tak berpikir Roni menyukainya.
Sama sekali tak berpikir pria itu menyukainya.
Sementara itu, di ruangan Rainhard.
“Aku pamit dulu ya, nanti menjelang makan siang aku datang lagi kemari untuk jemput Sava,” dengan bibir tersenyum ceria.
Membuat Rainhard kesal.
Setelah Roni tak ada di dalam ruangannya, Reinhard memukul keras mejanya. “Sial!” makinya kesal.
Sepuluh menit kemudian, Rainhard memanggil Sava lewat interkom.
Dengan malas, Sava pun bergegas menuju ke ruangan Rainhard.
Sekarang dia sudah berdiri di depan pintu ruangan Rainhard.
“Huuh,” menghembuskan napas pelan.
Tok tok tok
“Masuk!” terdengar jawaban ketus dari dalam.
“Issh, kenapa dia selalu ketus begitu sih,” cibir Sava pelan.
Lalu dia membuka pintu dan segera masuk. Setelahnya, dia menutup kembali pintu dengan perlahan.
Lalu melangkahkan kaki ke depan meja kerja Rainhard.
“Anda memanggil saya Tuan?” tanya Sava.
“Hemm,” jawab Rainhard tanpa menoleh.
Sava jadi bingung juga, kenapa dia menjawab dengan hemm saja.
“Duduklah dulu di sana, Saya mau menyelesaikan dulu pekerjaan.” Rainhard menunjuk ke arah sofa dengan lirikan matanya yang tajam.
Sava jadi bingung kenapa juga dia harus duduk di sofa majikan, tapi ya tentu saja dia akan menurutinya tak mau dong dimarahi.
Sava duduk dengan kaku, punggungnya tegak lengkap dengan kepala yang tegak pula, namun matanya menatap lurus ke arah Rainhard yang sedang fokus bekerja.
“ Untuk apa aku di sini? Aku hanya duduk saja dan menonton dia bekerja, ah rasanya tidak nyaman, tidak melakukan apa pun,” gumamnya dalam hati.
Satu jam berlalu, dan Sava masih setia duduk dengan tegak sampai punggungnya terasa tidak nyaman. Dia sudah pegal.
“Tuan sebenarnya anda mau apa memanggil saya? Saya tidak nyaman kalau hanya duduk di sini tanpa melakukan apa pun,” akhirnya Sava memberanikan diri berbicara.
Reinhard menoleh ke arah Sava dengan tetapan tajam dan raut wajah yang dingin.
Membuat Sava langsung membeku, ah rasanya sangat tidak nyaman ditatap pria dingin dan ketus itu.
“Duduklah yang benar, supaya kamu nyaman!” ucap Rainhard tanpa menanggapi perkataan Sava tadi.
“Saya sudah duduk dengan benar,” jawab Sava.
Rainhard mendengus, lalu berdiri dan menghampiri Sava.
Sava jadi terkejut, pasalnya pria itu mencengkeram kedua bahunya dengan mata yang menatapnya lekat.
Hingga tatapan mereka saling bertemu, dan itu menimbulkan getaran aneh juga rasa takut yang menyelimuti dirinya.
“A anda mau apa?” cicit Sava gemetar.
Pria itu menyipitkan matanya, lalu sesaat kemudian sudut bibirnya terangkat sedikit. Menciptakan senyuman tipis yang terlihat licik dan m***m menurut Sava.