Good Morning

2059 Kata
Setelah memerhatikan sekelilingnya lagi yang dirasa telah aman dan tidak ada suatu hal yang membuatnya penasaran, Adam kembali menutup tirai jendela lagi dengan benar. Pria itu sudah merasa benar-benar lelah sekarang. Adam langsung mengambil posisi untuk tidur nyaman. Dan tidak lama kemudian pria itu benar-benar jatuh tertidur. Tidak menyadari bahwa bayangan yang sempat tertangkap oleh indera penglihatannya tadi kembali berdiri di balik sisi jendela kamarnya. *** Adam terganggu dengan sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya lewat celah-celah tirai jendela. Bias cahaya itu masuk menerpa wajah tampannya yang masih terlihat tertidur dengan nyenyak. Awalnya pria itu tidak merasa terganggu sedikit pun. Adam tetap tenggelam dalam alam mimpinya. Namun semakin lama dirinya tertidur, semakin wajahnya terasa memanas karena sinaran mentari itu hingga membuat raut wajah pria itu mengerut kesal. Akhirnya kedua matanya perlahan mulai terbuka. Dengan susah payah Adam membuka matanya, berusaha membiasakan diri pada bias cahaya yang masuk dengan tajam menuju retina matanya. Adam memundurkan kepalanya untuk menghindari sinar cahaya yang masuk itu. Pria itu menatap ke sekeliling yang terlihat sudah terang. Terlebih dengan cahaya di luar. Adam tertegun sejenak memandang bias cahaya yang masuk dari celah tirai jendela, sebelum kemudian mata hijaunya membola lebar. Dengan cepat pria itu menyibak tirai jendela untuk melihat keadaan di luar yang ternyata sudah cukup siang. Dirinya bangun kesiangan ternyata. Nampak beberapa warga di sekitar sudah berlalu lalang. Mata Adam melebar takjub. Pria itu mengira desa ini sepi penduduk. Ternyata pemandangan di depannya tidak seperti yang dibayangkannya semalam. Beberapa anak kecil nampak bermain di sekitar. Bahkan mata Adam juga bisa menangkap gadis kecil, anak dari pemilik rumah tempatnya tinggal tengah bermain di seberang jalan bersama dengan teman-temannya. Gadis itu sudah berpakaian dengan cantik. Adam mengerutkan kedua alisnya bingung, berpikir mengenai jam berapa saat ini. Lalu kemudian dirinya tersentak karena mengingat janji temunya dengan kepala desa pagi ini. Buru-buru pria itu segera bersiap dengan kilat sebelum kemudian membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan keluar mencari tuan pemilik rumah tersebut.   “Oh, nak Adam, kau sudah bangun ternyata.” sapa tuan pemilik rumah yang baru saja menyadari kehadiran Adam pagi ini dengan senyum ramah. Pria itu tengah duduk di ruang makan dengan secangkir minuman di depannya. Satu tangannya tengah memegang surat kabar dengan santai. Adam merasa tidak enak dengan tuan rumah karena dirinya melupakan jadwal janji temunya pagi ini.   “Tuan, maafkan saya. Saya tidak menyangka akan bangun kesiangan seperti ini.” sesal Adam. pria itu berpikir telah merusak janji temu mereka.   “Apa? Oh tidak apa-apa, santai saja. Aku mengerti. Kau pasti kelelahan semalam. Duduklah, nak Adam. Kau belum sarapan bukan?” tawar tuan.   “Duduklah lebih dulu. Akan kusiapkan sarapan untukmu.” ucap istri tuan rumah sembari mendorong punggung Adam dengan pelan. Dilemparnya senyum manis ke arah Adam, membuat pria itu ikut tersenyum tipis.   Dengan hati yang merasa tidak enak, pria itu akhirnya menurut lalu mengambil tempat duduk di depan tuan Bije yang tengah menatap koran beritanya. Sementara Lauren, istri tuan Bije dengan sigap menyiapkan sarapan untuk Adam.   “Aku sudah menemui tuan kepala desa pagi tadi, dan mengatakan mengenai kedatanganmu. Kita bisa mengunjunginya setelah ini.” ucap tuan Bije dengan santai. Pria paruh baya itu meraih cangkir minumannya dan lalu menyesapnya dengan pelan.   “Benarkah? Oh terima kasih kalau begitu, Tuan.” Adam menghela napas lega.   Sebuah piring dengan isinya kemudian diletakkan di depan Adam. “Ini sarapanmu. Makanlah dengan enak. Semoga kau suka.” ucap Lauren dengan lembut, yang lalu berlalu pergi meninggalkan mereka berdua setelah Adam mengucapkan terima kasih sekali lagi kepadanya.   “Makanlah nak Adam. Setelah itu, bersiaplah untuk bertemu dengan tuan kepala desa nanti.” ucap tuan Bije mempersilahkan Adam untuk makan. Adam menganggukkan kepalanya menuruti ucapan pria paruh baya itu. *** Langit terlihat begitu cerah pagi ini. Adam menghirup napas dalam-dalam untuk beberapa kali. Merasakan bagaimana sejuknya udara pedesaan yang cukup jauh dari kata polusi. Sepertinya memang ada untungnya juga jika dirinya datang ke tempat ini. Perasaan Adam jauh lebih segar dibanding sebelumnya.   “Lisa!” panggil tuan Bije kepada anak gadisnya yang tengah asik bermain di seberang jalan bersama dengan teman-temannya. Baru Adam sadari bahwa Louis, adik Lisa juga ternyata ikut bermain di sana. Sedangkan Lauren, istrinya, tengah sibuk menjemur pakaian di sisi sebelah rumah.   Gadis yang dipanggil Lisa itu kemudian menoleh ke arah tuan Bije. Lalu tertawa lebar sembari melambaikan kedua tangan ke arah mereka.   “Daddy mau pergi ke rumah kepala desa sebentar. Kau bermainlah dengan hati-hati. Jangan pergi jauh dari rumah, mengerti Lisa?!” pesan tuan Bije dengan diselingi wajah seriusnya.   “Mengerti, Dad!” jawab gadis itu. Setelah itu Lisa kembali asyik bermain dengan teman-temannya.   “Ayo kita pergi, nak Adam.” ajak tuan Bije kemudian.   Mereka menelusuri jalanan desa di sekitar. Melewati beberapa rumah penduduk desa yang tidak jarang juga bertegur sapa dengan tuan Bije. Tidak jarang mereka akan berhenti di jalan hanya untuk melakukan interaksi bersama dengan beberapa penduduk. Mereka terlihat begitu penasaran dan tertarik dengan sosok Adam yang berdiri menjulang di sebelah tuan Bije. Tubuhnya yang kokoh dan tinggi ditambah dengan wajah tampannya yang berambut panjang menjadi daya tarik tersendiri bagi ibu-ibu desa di sana. Banyak yang menanyai tentang alasan kedatangan Adam di desa ini, dan Adam yang juga dibantu dengan tuan Bije juga menjawab pertanyaan-pertanyaan itu seperlunya saja. Dalam hati pria itu cukup merasa terhibur sendiri. Ternyata baik di desa maupun di kota tidak jauh berbeda perlakuan ibu-ibu dan gadis di sekitar kepadanya. Memang paras wajah Adam dan juga gerak-geriknya memiliki daya tarik tersendiri yang berada di atas normal. Adam pria yang tampan, memiliki bisnis usaha Wedding Organizer yang sukses di kota dan beberapa tempat lain, dan tentu penghasilannya juga dapat diandalkan. Fotografer merupakan profesi selingannya yang berhubungan dengan hobbynya sendiri. Tentu saja banyak gadis yang akan tertarik kepadanya. Jika dilihat kembali, beberapa gadis desa yang Adam temui ternyata memiliki paras yang tidak kalah rupawannya dengan gadis kota. Lumayan untuk Adam mencuci mata.   Perjalanan mereka tidak berlangsung lama setelah itu. Mereka telah sampai di depan rumah kepala desa dengan pekarangan yang cukup luas. Tuan Bije membuka pagar rumah, dan melangkah masuk. Mereka menaiki anakan tangga yang mengarah ke teras rumah kepala desa. Diikuti dengan Adam yang berdiri di belakangnya, pria paruh baya itu mengetuk pintu rumah tersebut.   Tok tok tok!   “Tuan Hanson!” panggil tuan Bije. Tidak ada sahutan dari dalam. Tuan Bije saling berpandangan tanpa kata dengan Adam. Sekali lagi pria paruh baya itu mengetuk pintu rumah tuan yang dipanggil Hanson tersebut lebih keras.   Tok tok tok!   “Tuan Hanson, ini aku Bije!” panggil tuan Bije. Barulah kemudian terdengar samar-samar suara langkah kaki dari dalam, dan kemudian pintu akhirnya terbuka. Menampilkan wajah pria paruh baya dengan tekstur tulang pipi tegas yang masih memancarkan ketampanan di masa muda. Adam tidak menyangka bahwa kepala desa di tempat ini ternyata masih terlihat cukup muda. Namun dari gerak gerik tubuhnya yang menunjukkan ketegasan dan kewibawaan layaknya seorang pemimpin, membuat Adam cukup menyadari alasan penduduk desa memilih pria di depannya itu sebagai pemimpin desa.   “Tuan Bije, selamat siang.” sambut kepala desa tersebut dengan senyum tipisnya kepada tuan Bije.   “Selamat siang, tuan Hanson. Seperti yang saya katakan tadi pagi, saya membawa seorang pendatang di desa kita.” balas tuan Bije sembari melirik ke arah Adam. Pria bernama Hanson itu lalu menoleh ke arah Adam dan memerhatikannya dengan lekat.   “Selamat siang. Jadi kau yang bernama Adam?” tuan Hanson mengulurkan satu tangannya untuk menjabat tangan Adam. Tentu saja Adam juga menjabat tangan itu balik.   “Ya. Namaku Adam, tuan Hanson. Senang bertemu dengan anda.” balas Adam dengan senyum ramah ke arahnya.   “Baiklah. Kita bisa bicara di dalam. Ayo masuk.” tawar pria itu kemudian sekaligus mempersilahkan Adam dan tuan Bije memasuki rumahnya. Baik Adam dan tuan Bije mengikuti langkah tuan Hanson ke dalam. Adam sempat memerhatikan ke sekitar ketika memasuki rumah tersebut. Suasananya begitu dingin dan sangat sepi. Tidak seperti suasana di rumah tuan Bije yang masih terasa hangat dengan kehadiran nyonya Lauren beserta kedua putra dan putrinya. Mungkinkah tuan Hanson tinggal sendirian dalam rumah sebesar ini? Batin Adam bertanya-tanya.   Tuan Hanson duduk di salah satu sofa tunggal. Sedangkan Adam duduk bersebelahan dengan tuan Bije.   “Jadi dari mana asalmu nak Adam?” tanya tuan Hanson memulai percakapan mereka.   “Saya berasal dari kota, Tuan. Tepatnya di kota XX, kawasan distrik X.” jawab Adam dengan singkat. tuan Hanson mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.   “Jarang sekali ada pendatang yang mau berkunjung ke tempat ini. Apa yang membuatmu ingin berkunjung kemari?” mau dilihat bagaimanapun juga, tatapan tuan Hanson memang terlihat begitu tajam seakan tengah menyelidiki siapa gerangan Adam yang sebenarnya.   “Saya hanya ingin berlibur sekaligus mencari bahan baru untuk objek foto, Tuan. Kebetulan saya melihat tempat ini dari sosial media, dan saya merasa tertarik untuk datang.” jelas Adam. Muncul kerutan di kening tuan Hanson. Pria paruh baya itu melirik ke arah tuan Bije sejenak, sebelum kembali menoleh ke arah Adam.   “Sosial media? Sudah lama kami tidak pernah mendapat kunjungan dari orang luar, termasuk pemburu artikel. Bahkan pemerintah juga telah berhenti mengeluarkan subsidi tambahan untuk desa ini, karena areanya dinilai terlalu berbahaya untuk pengunjung yang datang. Apa kau tidak melihat tanda pengumuman yang tertulis bahwa area ini telah ditutup?” tanya tuan Hanson. Adam menyadari bahwa pria itu merasa heran sekaligus aneh dengan apa yang dikatakannya barusan. Begitu juga dengan Adam. Bagaimana Adam tahu jika tempat ini sengaja ditutup, jika tidak ada tanda apa pun yang dilihatnya terpasang di sepanjang jalan kemaren?   “A- apa? Ditutup? Maafkan saya Tuan. Saya tidak melihat ada tanda pengumuman satu pun yang tertulis demikian dalam perjalanan ke sini. Dan sebenarnya artikel yang saya baca itu telah ditulis 10 tahun yang lalu. Karena itu saya sempat kesulitan mencari tempat ini.” jelas Adam. Tuan Hanson menarik napas dalam setelah mendengar penjelasan Adam. Pria itu terlihat mulai berpikir serius saat ini. “Jadi karena itu kau datang tengah malam seperti semalam? Hm aneh sekali. Apa tanda pengumuman itu telah rusak atau hilang? Itu akan sangat berbahaya sekali jika ada pendatang baru yang datang tanpa mengetahui daerah ini. Tuan Bije, setelah ini bisakah kau memeriksa tanda itu?” pinta tuan Hanson kepada tuan Bije kemudian. Tuan Bije segera mengangguk mengerti.   “Baiklah tuan Hanson. Kalau begitu aku akan pergi memeriksanya sekarang. Kebetulan aku juga perlu melakukan pekerjaan di luar.” pamit tuan Bije kemudian.   “Begitukah? Baiklah. Selalu berhati-hatilah tuan Bije.”   “Tentu tuan Hanson. Nah nak Adam, sampai jumpa. Jika kau memerlukan barang-barangmu yang tertinggal di rumah, kau bisa menemui Lauren. Aku harus pergi sekarang.” tuan Bije menepuk pelan pundak Adam untuk pamit kepadanya. Adam melempar senyum kecil kepadanya.   “Ya, terima kasih atas bantuannya tuan Bije.” balas Adam. Adam dan tuan Hanson memerhatikan punggung tuan Bije yang menjauh pergi hingga kemudian semakin hilang dari pandangan mereka.   “Jadi nak Adam, kau bilang kesulitan mencari tempat ini?" celetuk tuan Hanson lagi yang berhasil menarik atensi Adam kembali untuk menoleh ke arahnya. "Aku yakin itu akan menjadi benar-benar sulit, karena kau datang tengah malam seperti itu. Bagaimana caramu bisa sampai ke sini?” lanjutnya. Kini tuan Hanson menatap dengan lekat ke arah Adam. Dan Adam sendiri seperti menyadari bahwa tatapan tuan Hanson saat ini sangat berbeda dengan tatapannya ketika masih ada tuan Bije tadi. Seakan pria paruh baya itu tengah menyelidikinya saat ini.   “Saya kebetulan bertemu dengan seorang gadis kecil tuan. Saya terkejut ketika mendengar gadis itu tinggal sendirian di dekat hutan seperti ini. Tadinya saya hanya berniat mengantar gadis itu pulang karena hari sudah semakin sore. Dan beruntungnya ternyata gadis itu bisa mengarahkan jalan kepada saya menuju ke sini. Begitulah.”   Adam membalas tatapan tuan Hanson dengan tetap santai. Meski sebenarnya pria itu tetap memerhatikan gerak-gerik tuan Hanson yang dirasanya kini menegang.   “Gadis kecil? Kau bertemu seorang gadis kecil di tengah hutan seperti itu?” beo tuan Hanson memastikan kembali cerita Adam.   “Tidak sampai di tengah hutan. Hanya di jalan saja, lebih tepatnya persimpangan jalan. Saat itu saya sedang kebingungan memilih arah yang tepat karena tidak ada papan penunjuk arah. Dan gadis itu datang.”   “Apa kau tahu nama gadis itu?”   “Namanya? Gadis kecil itu bernama, Imelda.”   PRAANGG!!   Suara berisik itu sontak membuat keduanya terkejut setengah mati. Dengan spontan keduanya menoleh ke arah sudut rumah bagian belakang di mana suara itu berasal. Meninggalkan suatu ketegangan yang terlihat jelas di antara keduanya. Bahkan raut wajah tuan Hanson kini semakin menjadi kaku tanpa disadarinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN