TUL 7 - Dipaksa Menuruti Perintah

2051 Kata
Kedua mata Savira mengerjap-ngerjap. Suasana yang gelap membuat ia dengan mudah membuka kelopak matanya. “Ahhh!” Savira langsung mengeluh begitu wajahnya terasa disiram air dingin. “Bangun!” bentak sebuah suara di depannya. Savira menggelengkan kepala, mengibas air yang membasahi wajahnya lalu mencari siapa yang sudah melakukan hal tersebut padanya. Namun, Savira tak mengenali pria botak dengan banyak tato di leher dan berdiri bersama satu orang temannya yang lain di hadapannya saat ini. “Siapa kalian? Mau apa dariku?” Pria berbadan kekar yang masih berdiri di depan Savira itu akhirnya menyingkir begitu suara langkah terdengar mendekat dari kegelapan. Savira tersentak namun cepat-cepat menguasai dirinya begitu melihat siapa yang kini berdiri tak jauh di hadapannya. Dengan tatapan tanpa ekpresinya, Savira menatap kehadiran pria yang masih bisa ia kenali dan sempat bertemu dengannya beberapa bulan lalu. “Kau harus mengerjakan sesuatu.” Alis Savira mengerut kentara. “Lepaskan ikatannya! hadapannya ” titah Kagawashi. “Kenapa kau menculikku?” “Tidak ada yang menculikmu. Aku hanya memerlukan bantuanmu.” “Tidak bisakan anda memintanya baik-baik?” Kagawashi menatap Savira tajam namun tak berniat menjawab pertanyaan Savira ketika yang diucapannya hanya kalimat, “Bawa dia!” Ya, orang yang menculik Savira sebelumnya adalah orang-orang suruhan Kagawashi. Tapi Savira tidak tahu untuk kepentingan apa sampai Kagawashi harus repot-repot menculiknya. Savira lantas dituntun ke sebuah ruangan. Ia dipaksa masuk ke dalam dan melihat seseorang tengah terbaring dengan luka penuh darah di bagian perut kirinya. “Cepat keluarkan peluru di perutnya!” titah Kagawashi dengan tatapan berbahaya. “Apa?” pekik Savira dengan kedua bola mata yang membeliak sempurna ketika mendengar perintah dingin Kagawashi. “Bukankan kau terbiasa melihat orang-orang seperti ini di ruang operasi?” Tentu saja. Itu memang bagian dari pekerjaan Savira. Tapi Savira bukan dokter. Dan yang berhak memberi tindakan lebih luas pada pasien ini adalah dokter. Bukan dirinya. “Aku tidak bisa melakukannya. Aku bukan dokter.” “Dia hanya tertembak.” “Lalu kenapa tidak kalian bawa ke rumah sakit?” “Tidak bisa!” “Kenapa?” kejar Savira. Kagawashi lantas memberi aba-aba dengan mengendikkan dagu pada anak buahnya. Beberapa dari mereka mempersiapkan pria muda yang tampak merintih kesakitan itu sementara satunya mengeluarkan senjata dan menodongkannya ke kepala Savira. Jantung Savira seperti di remas. Tak pernah ia bayangkan dalam hidupnya akan mengalami hal seperti ini. “Aku tidak bisa. Kalian mau membunuhku sekalipun aku tidak bisa melakukannya. Jika lukanya dalam dan mengenai organ, aku tidak akan bisa menghentikkan pendarahannya.” “Keluarkan saja pelurunya. Setelah itu tutup lukanya. Selesai.” Mengatakannya memang semudah itu. Tapi apa mereka tidak tahu kalau Savira benar-benar tidak pernah melakukan hal seperti itu apalagi di tempat yang bukan rumah sakit dan tanpa wewenang dokter serta prosedur yang mestinya berlaku. Keterdiaman Savira membuat Kagawashi terusik. Pria yang duduk di kursi di depan tempat tidur itu kembali mengendikkan dagu pada salah satu anak buahnya. Seorang pria berambut gondrong lantas mendekat dan memperlihatkan sebuah video pada Savira. Bola mata Savira seketika membeliak hebat. Tangannya mengepal kuat sambil menatap Kagawashi dengan tatapan tajam. “Kau hanya punya satu pilihan.” Savira tahu, mau tidak mau ia harus melakukan apa yang diperintahkan Kagawashi. Dengan menguatkan diri Savira berjalan mendekati pria yang tampak merintih kesakitan tersebut. Menatapnya sebentar Savira lantas menarik dan menghembuskan napas beratnya dengan panjang sebelum tangannya bergerak cepat untuk mencari obat dan perlengkapan yang diperlukan. Tidak. Ini bukan operasi sungguhan. Savira mencoba menggumamkan itu di hatinya. Ia memposisikan tugasnya saat ini seperti sedang menangani pasien yang mengalami luka ringan di IGD. Meski nyatanya Savira tidak tahu harus melakukan apa. Namun saat ini ia tidak punya pilihan selain melakukan apa yang diperintahkan Kagawashi. Savira lantas mencuci tangannya lebih dahulu dengan cairan antiseptik sebelum memakai sarung tangan medis. Ia kemudian mengambil injeksi dan tube obat bius. Menakar dosis kira-kira sesuai dengan usia dan bobot tubuh si pria yag terluka. Savira merasa sedikit lega karena Kagawashi sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Tangan Savira sedikit bergetar ketika ia menyuntikkan obat bius untuk menghentikkan pendarahan di sekitar luka yang sudah dibersihkan sebentar dengan kain basah. Savira juga meringis ketika pria yang terluka itu merintih karena merasakan jarum yang menembus kulit dan daging di sekitar lukanya. Pria muda yang terlihat seperti bukan seorang penjahat itu membuat Savira bertanya siapa ia sebenarnya dan apa hubungannya dengan Kagawashi? Kenapa Kagawashi mengingingkan Savira menolongnya tanpa membawanya ke rumah sakit? Pikirnya sambil menunggu sebentar obat bius itu bekerja. Namun, kecamuk pikiran itu seketika terhenti ketika todongan pistol di kepala Savira semakin menekan. Ia memberanikan diri menolehkan sedikit kepalanya ke samping untuk berkata, “Tolong turunkan pistolnya. Aku tidak bisa bekerja kalau begini.” Tanpa bisa Savira lihat, Kagawashi mengendikkan kepala seraya meminta anak buah yang menodongkan senjata ke kepala Savira menurunkannya. Setelahnya, Savira memasangkan infus terlebih dahulu sebelum mulai bekerja dan mencari di mana posisi peluru yang sudah melukai perut pria itu. “Tolong pegangkan senternya. Aku kesulitan melakukannya sendiri,” tuturnya tanpa menoleh ke arah anak buah Kagawashi. Savira tahu ia sudah melakukan sebuah kesalah sebagai petugas medis. Memberi tindakan pada pasien yang seharusnya dilakukan oleh dokter ahli dan berwenang. Gerakan tangannya lalu terhenti ketika ia merasakan sebuah benda keras alat yang dimasukkan ke dalam perut pria itu melalui lukanya. Savira lantas bergegas mengeluarkan peluru tersebut dengan cara sebisanya dan seaman mungkin. Untungnya luka tembak yang dialami pria itu tidak dalam sehingga Savira tidak kesulitan mengeluarkan pelurunya. Tak memerlukan waktu lama, Savira akhirnya berhasil mengeluarkan satu peluru lalu menyiapkan benang dan jarum untuk menjahit lukanya. Namun, belum hal itu sempat Savira lakukan, Kagawashi berseru lebih dulu. “Satu lagi!” “Iya?” “Satu lagi. Dia ditembak dua kali.” Bola mata Savira melebar lalu kembali memperhatikan luka yang masih menganga tersebut. Kemungkinan pasien tersebut ditembak dua kali memang benar adanya. Dan Savira baru menyadarinya lubang dari luka itu memang telalu besar untuk sebuah peluru yang baru saja dikeluarkannya. Namun yang membuat Savira bertanya-tanya adalah, bagaimana bisa seseorang menembak orang sebanyak dua kali di lokasi yang sama? Hal itu bisa dikatakan mustahil kecuali ia ditembak dari jarak dekat. Jika tembakan jarak dekat itu dilakukan dua kali, maka kemungkin peluru yang satunya masuk ke dalam organ dalam sangat besar. Savira seketika menegang. Namun ia tak punya waktu untuk memikirkan kenapa dan apa yang sebenarnya terjadi pada pria yang hampir tak sadarkan diri di hadapanya sekarang ini. Yang harus Savira lakukan sekarang adalah mencari satu peluru lainnya lagi. Luka itu harusnya dironsen untuk memastikan posisi peluru yang sebenarnya. Dan hal itu hanya bisa dilakukan di rumah sakit. “Kita harus membawanya ke rumah sakit.” Kagawashi kembali memberikan kode dengan anggukan kepala kepada salah satu anak buahnya. Savira tersentak ketika seorang anak buah Kagawashi menghampiri dan memberikannya alat detektor logam yang biasa digunakan petugas saat memeriksa benda-benda yang tidak boleh dibawa ke dalam kabin pesawat. “Apa ini?” Kagawashi tak menjawab. Dengan tatapan tajamnya ia seolah meminta Savira paham dengan berpikir cepat dan tanpa harus dijelaskan. Dan ketika Savia menyadarinya, ia mengerti kalau dirinya harus melakukan hal gila lainnya agar bisa mencari di mana posisi peluru satunya lagi. Savira ingin mengutuk dirinya saat itu juga. Kalau tahu akan seperti itu, sejak awal ia memilih untuk ditembak saja. Namun, ketika nama dan wajah sang anak melintas dalam bayangan kepalanya, Savira merasa ia tidak akan pernah bisa menyerah seperti ini. Apa jadinya Shindu tanpa dirinya nanti. Meski sejujurnya, Savira juga tak masalah kalau ia harus bertemu dengan mendiang sang suami saat ini juga. Dengan kekuatan perasaan itu lah, Savira akhirnya kembali bergelut dengan sesuatu yang selama ini belum pernah ia lakukan sendiri. Jika komite pengawas tenaga medis mengetahui apa yang sudah dilakukannya, gelar yang sudah Savira raih dengan susah payah itu akan dicabut dengan mudah dari dirinya. Selamanya ia tidak akan pernah bisa melakukan pekerjaan dan tugasnya lagi sebagai perawat. Savira lantas membuang napas dengan kasar. Dan hal itu tidak luput dari penglihatan Kagawashi. Dengan cepat Savira lantas memanfaatkan sebisanya alat detektor itu untuk mengetahui di mana letak peluru lain yang disebutkan. Hingga sebuah bunyi yang terdengar dari alat pendetektor itu membuat Savira lagi-lagi hanya bisa menghembuskan napas berat. “Dia akan kehilangan banyak darah. Kita harus membawanya ke rumah sakit.” Lagi-lagi dengan sikap dingin dan aura kelamnya, Kagawashi hanya memberi perintah pada anak buahnya untuk melakukan apa yang ia inginkan tanpa mengucapkannya. Tiga orang pria lantas mendekat pada Savira dan mengatakan kalau golongan darah mereka sama dengan golongan darah pria yang terluka tersebut dan Savira bisa menggunakan mereka sebagai pendonor. Lagi-lagi Savira dibuat geram. Dalam keadaan darurat seseorang bisa saja mendonorkan darahnya tanpa melakukan tes yang rumit. Namun, dalam kondisi yang sebenarnya, darah yang akan didonorkan harus melalui uji klinis untuk dibuktikan bahwa darah tersebut aman dari penyakit menular dan segala hal yang memungkinkan penerima donor mengalami situasi yang membahayakan pasca menerima donor darah. Tapi lagi-lagi dalam situasi ini Savira tidak bisa melakukan hal itu dan tatapan tajam Kagawashi seolah cukup menjelaskan apa yang harus Savira lakukan selanjutnya. “Aku tidak akan bertanggungjawab jika nanti–“ “Lakukan saja. Mereka orang-orangk bersih.” Kagawashi menatap Savira dengan sorot berbahayanya. Maka selanjutnya Savira hanya bisa fokus mencari cara bagaimana mengeluarkan peluru satunya tanpa membuat sayatan yang besar dan membahayakan pada lukanya. Satu jam lebih sudah Savira berkutat sejak ia mengeluarkan peluru pertama hingga peluru yang kedua berhasil ditemukan dan lukanya dijahit. Tentu saja. Itu bukan pekerjaan mudah bagi Savira. Ia tidak berpengalaman dan terpaksa harus melakukannya di bawah tekanan. Sesuatu yang bisa saja membuatnya justru melukai sang pasien jika saja Savira tidak bisa menguasai rasa gugup dan ketegangan yang meliputi dirinya. “Pekerjaannku sudah selesai. Aku sudah memberikan obat suntik dan menuliskan obat yang harus kalian beli beserta anjurannya. Sekarang tolong biarkan aku pulang.” Setidaknya Savira harus menuntaskan pekerjaannya meski lagi-lagi ia dipaksa melakukan sesuatu yang bukan wewenangnya untuk memutuskan. Kagawashi mengucapkan terima kasih yang bagi Savira terdengar hambar dan menyebalkan. Sayangnya pria itu mengabulkan permintaan Savira dengan cara yang sama seperti saat membawa Savira dengan paksa dari rumah sakit. Dan ketika Savira tersadar, ia sudah ada di atas ranjang rumah sakitnya di IGD. Rekan-rekan Savira belum sempat menghubungi Zaki ataupun Caroline. Maka ketika perempuan itu bangun, mereka justru menginterogasinya lebih dulu mengingat jarka waktu saat Savira pulang dengan saat ia ditemukan pingsan di parkiran cukup lama sekali. Savira yang tidak tahu harus berkata apa hanya bisa menggeleng dan mengatakan kalau ia hanya merasa pusing dan tiba-tiba hilang kesadaran. Rekan Savira pun tak menanyakan apa-apa lagi padanya. Sayangnya, ponsel Savira yang hilang membuatnya kesulitan menghubungi keluarganya di rumah. Karenanya Savira pun menghubungi Zaki melalui telepon rumah sakit dan terpaksa berbohong mengarang cerita yang sama agar tak membuat cemas keluarganya. Zaki lantas mengatakan akan menjemputnya di rumah sakit sambil membawa Shindu yang sebelumnya memang ada bersamanya. Sambil menunggu kedatangan Zaki, Savira lantas menanyakan kondisi Langlang yang sepeniggalannya tadi pria itu harusnya masih ada di IGD. “Kamu mencariku?” Savira menjenggit sambil mengusap dadanya yang berdebar karena kaget. “Benar, kamu mencariku ternyata.” Langlang tersenyum lebar. “Kamu dari mana?” tanya Savira sambil memindai kondisi Langlang yang masih dipasangi infus di tangannya. “Aku baru saja dari kamar mandi. Kamu sendiri. Kenapa ada di sini? Ah, pasti mencemaskanku ‘kan?” Savira memutar bola mata malas, berusaha menghindari tatapan Langlang yang entah kenapa membuatnya gugup. Mungkin karena Savira takut ketahuan berbohong. Maka dari itu Savira pun tak menjawab pertanyaan Langlang kemudian. “Kembalilah ke tempat tidurmu. Aku juga akan pulang.” Seketika Langlang menahan kepergiannya dengan menarik lengan Savira. “Ada apa?” Dengan tatapan yang sulit diartikan, Langlang menatap Savira bergitu lekat. Tangannya kemudian terulur untuk menyentuh rahang di bawah telinga Savira yang tampak terdapat noda berwarna merah. Savira sepertinya tidak menyadari, saat menyeka keringat kala mengeluarkan peluru dari perut pria tadi, darah yang menempel di sarung tangannya tertinggal di sana. Savira yang reflek langsung mundur selangkah dan menghindari perlakuan Langlang tersebut. “Maaf. Aku hanya ingin menghapus itu,” unjuk Langlang dengan telunjuknya. “Kenapa ada darah di situ?” Tubuh Savira menegang begitu mendengar apa yang diucapkan Langlang. Diikuti tatapan penuh curiga dan menyelidik, Savira makin dibuat gugup dalam hatinya. Dan hal itu tak luput dari penglihatan Langlang yang bisa dengan jelas menangkap sinyal tubuh yang Savira berikan. “Kamu baik-baik saja?” “Iya?” “Bunda!” Dan bersamaan dengan itu, Zaki yang datang bersama Shindu membuat keduanya menoleh kompak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN