Savira dan Shindu masuk ke sebuah studio foto yang interiornya sangat futuristik. Pegawai di dalam studio foto itu juga menyambut mereka dengan ramah sekali.
Savira lantas menjelaskan kalau ia bermaksud membuat foto keluarga yang nantinya akan ditambahkan dengan foto lain. Sehingga ada celah yang ia minta untuk dikosongkan.
“Jika tidak keberatan, bolehkah aku tahu siapa yang akan ditambahkan dalam foto itu?”
“Mendiang suamiku. Dia pergi ketika anak kami ini masih dalam kandungan,” terang Savira sambil mengusap kepala Shindu lalu menunduk dan tersenyum pada pria kecil yang juga mendongak padanya itu.
“Ah, begitu. Apa kalian mau menggunakan jasa kami juga untuk mengeditnya?”
Savira tidak tahu kalau di studio foto ini menyediakan jasa seperti itu meski seharusnya hal tersebut bukan hal yang aneh. Sudah sewajarnya fotogrofer atau editor foto bisa melakukan hal semacam itu.
“Jika kalian ragu, kami bisa memperlihatkan contoh foto yang pernah kami kerjakan sebelumnya. Bagaimana?” imbuhnya.
“Bolehkah?”
Pegawai studio foto itu terkekeh kecil. “Tentu saja. Bagaimana kami bisa meyakinkanmu jika hanya dengan ucapan?”
“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud meragukan.” Savira jadi sungkan.
“Tidak masalah. Kami justru senang melakukannya meskipun proses editing seperti ini tidak kami masukan dalam jasa yang kami jual dan tawarkan secara umum,” ujarnya ramah.
Savira mengangguk. Ia lalu diajak duduk di sebuah meja dan kursi bar stool yang ada di ruang tunggu lobi studio foto tersebut.
Tak berapa lama seorang gadis muda datang membawa laptop bersama gadis yang sebelumnya berbicara dengan Savira.
Keduanya memperlihatkan projek serupa yang pernah mereka buat seperti yang Savira inginkan.
“Jika diteliti lebih dekat dan seksama, foto-foto ini memang akan terlihat seperti hasil editan. Tapi jika hanya dipandang sekilas, orang tidak akan terlalu memperhatikan.”
Savira terperangah karena hasil yang diperlihatkan padanya cukup baik. Mulai dari tone gambar dan cutting foto objek yang akan ditempel terlihat sangat rapih. Seperti bukan objek yang ditempel atau ditambahkan.
“Bagus, ya, Sayang.”
“Iya, Bunda. Ini beneran fotonya nggak barengan, ya?”
Savira menganggukkan kepalanya. “Shindu suka?”
“Suka, Bunda. Ayah pasti keliatan ganteng banget nanti.”
Savira terkekeh lalu menatap kedua gadis tadi. “Berapa uang yang harus kubayar untuk jasa tambahan ini?”
“Aku memberikannya secara cuma-cuma.” Gadis yang membawa laptop itu tersenyum lalu menatap Shindu. “Ibumu pasti sudah membesarkanmu dengan baik meskipun ayahmu ada di surga.”
Shindu mengangguk. “Kakak sungguh akan membuatkannya untukku dengan gratis?”
Gadis itu tertawa santai. “Tentu saja. Untuk anak baik sepertimu, aku akan memberikannya dengan cuma-cuma. Termasuk jasa fotonya. Kamu puas?”
Shindu mendongak menatap Savira yang kembali terperangah mendengar penuturan gadis itu.
“Nona, kenapa untuk jasa fotonya juga gratis? Jangan membuatku tidak nyaman.”
Gadis itu masih tersenyum manis. “Aku memang melakukannya untuk orang-orang seperti kalian. Tidak masalah kalian mampu membayarku atau tidak. Aku hanya ingin melihat dia tersenyum bahagia karena bisa berfoto dengan ayahnya.”
Gadis itu menatap Shindu sekilas dengan tatapan hangat sebelum kembali menatap Savira.
“Tidak perlu sungkan. Aku juga sama seperti anakmu. Hanya saja dulu aku tidak bisa melakukan hal ini karena aku tidak punya uang.”
Savira tertegun. “Karena itu aku bekerja keras agar bisa melakukannya dengan tanganku sendiri dan membantu orang-orang yang memerlukan jasa ini.”
“Kamu baik hati sekali, Nona. Terima kasih banyak.”
“Tidak masalah. Bagaimana kalau kita mulai sesi fotonya sekarang?” ajaknya kemudian.
Savira dan Shindu mengangguk. Keduanya lantas mengikuti gadis itu masuk ke dalam sebuah ruangan lain yang lebih luas dan tampak dipenuhi dengan berbagai properti untuk keperluan foto.
Shindu nampak antusias ketika gadis fotografer itu mengarahkannya untuk melakukan beberapa gaya saat diminta foto sendiri atau dengan Savira.
Sementara Savira yang jarang berpose di depan kamera, agak kesulitan dan membuatnya cukup merasa kelelahan setelah selesai.
“Bunda capek?”
Savira menggeleng. “Mudah-mudahan fotonya bagus, ya. Bunda kaku banget gayanya.”
Mereka berdua terkekeh sebelum akhirnya gadis fotografer memperlihatkan hasilnya pada Savira.
Karena hasilnya bagus semua, Savira meminta izin apakah boleh ia memiliki semua filenya untuk keperluan pribadi.
“Kalau tidak,aku bersedia membayar semuanya.”
Gadis fotografer itu sempat terdiam sambil menatap Savira lekat-lekat.
“Foto kalian hasilnya sangat bagus. Aku akan memberikan semua file aslinya asal kamu mengijinkanku memajang satu foto anakmu juga satu kalian berdua di studio ini. Apa kamu tidak keberatan?”
Savira langsung mengangguk setuju tanpa pikir. Toh, apa yang diminta fotografer itu bukan hal yang berlebihan.
“Baiklah. Kalian boleh tinggalkan nama dan nomer telepon. Nanti kami hubungi jika sudah selesai untuk meminta alamat pengirimannya,” pungkas gadis fotografer tersebut.
Savira lantas menyerahkan kartu namanya pada gadis yang menyambutnya di pintu masuk sebelum pamit dan keluar dari studio foto tersebut.
Langkah keduanya mengayun dengan riang. Mereka berjalan-jalan sambil berpegangan tangan setelah melakukan sesi foto yang cukup melelahkan.
Savira lantas mengajak Shindu makan siang lebih dulu sebelum mengajaknya ke sebuah tempat.
“Bunda?”
“Hm?”
“Om lucu kok nggak pernah keliatan lagi, ya? Katanya waktu itu mau nemenin Shindu beli mainan.”
Tiba-tiba saja Shindu membahas tentang Pahlewa. Membuat Savira tidak sadar jadi mengingat Langlang yang sedang terluka.
Apakah tangan pria itu sudah membaik atau belum? Mengingat Savira juga tidak menemukannya di rumah sakit.
“Bunda?”
“Hm?” Savira mengerjap karena ditarik dari lamunannya. “Om lucu lagi sibuk sekolah, Sayang.”
“Shindu juga sekolah. Kok nggak sibuk?”
Savira terkekeh sambil mengelap sudut bibir Shindu yang belepotan.
“Beda dong! Sekolahnya Om Lucu sama sekolah Shindu nggak sama.”
“Bedanya apa, Bunda? Kan sama-sama sekolah,” polosnya.
“Sekolah Om Lucu ‘kan khusu buat orang dewasa. Mata pelajarannya juga lebih banyak. Terus yang dipelajarinya juga susah.”
“Shindu nggak mau sekolah kalau nanti udah dewasa kalau gitu, Bunda.”
“Lho, kok gitu? Maksud Bunda, susah itu karena kalau sekarang Shindu belajar kayak Om Lucu, Shindu belum bisa ngerti. Tapi kalau nanti Shindu udah dewasa, pasti Shindu juga bisa mempelajarinya kayak Om Lucu.”
“Kenapa gitu, Bunda? Kenapa harus nunggu dewasa?”
“Karena kemampuan otak Shindu berlum berkembang.”
“Cara mengembangkannya gimana, Bunda?”
“Harus banyak makan bergizi. Olahraga. Latihan nulis, menghitung atau baca buku. Nonton tayangan yang banyak ilmunya. Main-main juga dan masih banyak lagi.
“Tapi nggak bisa langsung berkembang satu atau dua hari butuh waktu tahunan. Kayak bayi waktu baru lahir.
“Bayi ‘kan nggak bisa apa-apa. Cuma bisanya nangis. Minum s**u. Pipis belum bisa ke kamar mandi karena belum bisa jalan.
“Tapi seiring waktu karena nggak cuma minum s**u, bayi jadi makin besar dan akhirnya bisa melakukan banyak hal. Shindu juga sama nanti kalau dewasa.
“Semakin dewasa… Shindu akan semakin banyak tahu tentang hal-hal yang sekarang Shindu belum tahu. Dan semua itu bisa Shindu dapatkan nggak cuma dari belajar atau yang Bunda sebutkan tadi.”
“Contohnya kayak gimana, Bunda?” Shindu lantas menyuapkan sosis dan kentang ke dalam mulutnya.
“Misal, Shindu ngobrol sama Daddy. Daddy ‘kan orang dewasa. Usianya lebih tua. Artinya hidup Daddy juga udah lama. Jadi Daddy banyak tahu hal-hal yang Shindu belum tahu. Karena ngobrol sama Shindu, Shindu akhirnya jadi tahu deh.”
“Berarti Shindu harus banyak ngobrol sama orang dewasa dong, Bunda?” sahutnya dengan mulutnya yang kemudian kembali mengunyah.
Meski Savira tidak pernah membiasakan Shindu makan sambil bicara, namun dalam situasi seperti ini Savira sedikit mentolerirnya. Membuat momen di antar mereka menjadi semakin erat.
Savira lantas tersenyum sambil mengusap kepala Shindu dengan lembut.
“Kalau sekarang Shindu boleh ngobrol sama siapa aja. Tapi kalau Shindu sekiranya nggak ngerti dan belum boleh ngerti, Shindu nggak boleh maksa orangnya untuk kasih tahu, ya?”
“Misalnya gimana, Bunda?” kejarnya masih tampak penasaran.
Savira mulai kelelahan. Dan hal itu ditandai dengan tawa pasrahnya yang membuat Shindu justru tak peka.
“Misalnya, Daddy kerjanya ‘kan bikin perbotan rumah kayak kursi dan meja dari kayu. Tapi bikinnya dari Indonesia karena jenis kayunya cuma ada di Indonesia. Terus di kirim ke sini buat dijual. Namanya eksport. Shindu pasti pengen tahu ‘kan eksport itu apa?”
“Iya, Bunda. Eksport itu apa?”
Kali ini Savira membantu anaknya minum lebih dulu.
“Shindu misalnya nanya nih… Daddy eksport itu apa? Teres Daddy jawab kalau export itu artinya kita kirim barang dari dalam negeri ke luar negeri.”
“Tapi Bunda kok tahu? Bunda ‘kan nggak kerja sama Daddy?”
“Kan Bunda pernah tanya sama Daddy makanya Bunda tahu. Nah, nanti Shindu juga bakal tahu kayak Bunda sehabis ngobrol sama Daddy.”
“Terus cara kirim barang eksport itu gimana, Bunda?” kejarnya terus.
“Caranya dikirim pake kapal terus dikirim ke gudang perusahaannya Daddy baru deh bisa dijual. Sampai sini ngerti ‘kan maksud, Bunda?”
Shindu menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Anak Bunda hebat!”
“Bunda juga pinter.”
Savira terkekeh lalu mencium gemas pipi sang anak.
Shindu memang anak yang baik dan tidak rewel. Namun hal itu tak membuat rasa keinginan tahuannya mudah terpuaskan begitu saja jika ia belum mendapatkan semua penjelasannya yang masuk ke dalam pemahaman anak seusianya.
Savira juga tidak pernah bosan atau sengaja mengalihkan pembicaraan mereka ketika merasa lelah apalagi jika Shindu belum selesai menanyakan apa yang ingin ia ketahui.
Seperti barusan, Shindu yang belum mendapatkan jawaban terus saja membuat Savira berpikir agar bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Tanpa tahu kalau Savira hampir menyerah karena jawabannya.
“Habiskan makanannya, ya. Setelah itu kita jalan-jalan ke kuil.”
“Iya, Bunda.”
Mereka lalu menuju sebuah kuil yang tidak terlalu banyak dikunjungi wisatawan.
Keduanya harus melewati anak tangga yang jumlahnya mencapai ratusan untuk tiba di kuil tersebut.
“Seratus satu… seratus dua… seratus–“
“Capek?” Savira menyela. Shindu mengeleng meski wajahnya jelas menunjukkan kelelahan.
“Mau Bunda gendong?”
“Nggak ah! Aku ‘kan udah gede. Masa digendong.”
“Sama Daddy mau digendong. Kok sama Bunda nggak mau?” rajuk Savira sengaja mengalihkan perhatian Shindu dan mengajaknya bicara agar pria kecil itu tak fokus dengan undakkan tangga yang terus dinaiki dan dihitungnya.
“Daddy ‘kan lebih tinggi dari Bunda. Badannya juga gede. Perutnya buncit lagi.” Shindu terkekeh dan Savira tertawa.
“Bunda bilangin nih sama Daddy Shindu bilang Daddy perutnya buncit.”
“Kan emang perut Daddy buncit,” polosnya hingga tak menyadari kalau langkahnya sudah hampir tiba di ujung tangga.
“Sampai! Yeayyy! Anak Bunda jagoan banget!” pekik Savira sedikit heboh.
Ia kemudian berjongkok dan memeluk Shindu. Mengusak puncak kepalanya. Mengusap keringat di dahi dan wajah sang anak sebelum menghadiahinya dengan banyak kecupan.
“Anak Bunda jagoan. Minum dulu!”
Savira membukakan botol minuman yang mereka bawa.
Shindu duduk diundakan terakhir lalu meneguk air putih hingga menghasilkan suara yang menggemaskan.
“Haus banget anak, Bunda.”
“Aduh!” Shindu menepuk kening diikuti dengan raut wajah yang merungut manyun.
“Kenapa, Sayang?”
“Bunda, sih, tadi ngajak ngobrol. Kan Shindu tadi lagi ngitung jumlah tangganya. Ya… nggak jadi cerita deh besok kalau masuk sekolah.”
Savira mengulum tawa geli. “Aduh, maafin Bunda.” Selorohnya dengan wajah bersalah. “Nanti ‘kan pulangnya kita hitung sama-sama gimana? Dan lagi Kalau turun pasti lebih cepet. Bunda bantuin, ya?”
“Memang iya, Bunda?”
“Buktiin aja omongan, Bunda. Yuk sekarang kita liat-liat kuilnya!”
Shindu mengangguk. Wajahnya sudah kembali ceria karena ucapan Bundanya yang meyakinkan.
Ia lalu bangun dari duduk lantas menepuk-nepuk bokongnya sendiri yang mungkin kotor karena duduk di tangga.
Keduanya lantas berjalan memasuki area kuil yang terlihat sangat terawat dengan suasana kuil dan sekitar yang terasa sejuk dan tenang.
Semilir angin yang berhembus membuat Savira merapatkan jaket yang ia dan Shindu kenakan.
Sesekali mereka bertemu dengan para biksu yang melintas lalu menyapa ramah dengan membungkukkan badan.
“Bunda, nyalain itu boleh nggak?” Shindu menunjuk ke arah dupa yang dinyalakn orang-orang.
“Boleh.”
“Tapi kita berdoanya ‘kan nggak gitu ‘kan, Bunda? Harus wudu dulu.”
Shindu sudah mulai belajar sholat. Dan Zaki yang mengajarinya bahkan sesekali membawanya ke masjid untuk beribadah bersama jika sempat.
“Iya. Nggak papa, kok. Kan Shindu cuma pengen nyalain. Cuma nggak perlu dilanjutkan doa. Cukup membungkuk aja buat tanda menghormati.”
Shindu mengangguk patuh. Savira membantunya menyalakan dupa dan meletakkannya di sebuh batu di depan pintu masuk kuil lalu keduanya membungkukkan badan.
Setelahnya mereka berjalan mengitari kuil hingga ke belakang dan menemukan sebuah tempat yang bisa dijadikan tempat beristirahat, di bawah pohon rindang sambil mengamati pemandangan dari area kuil yang berada di ketinggian tersebut.
“Bunda, gunungnya bagus banget, ya?” tunjuk Shindu ke arah depan.
Di hadapan mereka terdapat sebuah gunung yang Savira belum ketahui nama gunungnya.
“Iya. Makan dulu biskuitnya.”
Shindu menerima biskuit yang diberikan Savira. Masing-masing dari mereka mengunyahnya sambil menatap ke depan.
Tiba-tiba saja seseorang duduk di samping Shindu dan membuat keduanya menoleh kompak ke samping.
Savira terhenyak. Tangannya reflek menarik Shindu mendekat dan mendekap tubuh sang anak dengan erat.
Sementara itu, pria yang duduk di samping Shindu kini menatap Savira sambil menaikkan sebelah alis.
Raut wajahnya tampak heran dengan sikap yang ditunjukkan Savira dengan spontan.
“Kamu kenapa?”