TUL 15 - Papa Baru

2140 Kata
“Mas Satya?” Satya tersenyum. Merentangkan kedua tangannya seraya menyambut kedatangan Savira. “Mas Satya,” lirih Savira penuh rindu dan haru. Satya melepaskan pelukannya lebih dulu lalu membelai rambut Savira sambil menatapnya. “Kamu ke mana aja? Kenapa baru dateng sekarang? Aku kangen banget sama kamu, Mas. Kamu nggak kangen sama aku?” Lagi-lagi Satya hanya tersenyum dan kali ini kedua telapak tangan yang semula menyentuh rambut dan kepala Savira turun dan menangkup kedua pipi Savira. Air mata Savira berlinang membasahi pipinya. Satya menghampus linangan air mata itu dengan kedua jempolnya sebelum mendaratkan sebuat kecupan di kening dan kedua mata Savira. “Aku kangen kamu, Mas. Kangen… banget.” Satya tak mengatakan sepatah katapun. Namun tatapannya sudah cukup membuat perasaan Savira bergemuruh. Rindu yang menahun seolah terhempas dan terbayarkan dengan kehadiran Satya di hadapannya saat ini. Satya memeluk tubuh Savira dengan lembut. Hangat dan begitu menenangkan perasaan Savira yang bergejolak rindu. “Aku pengen bisa kayak gini terus, Mas. Bawa aku pergi sama kamu.” Pelukan mereka semakin mengerat. Satya tetap tak bicara sebanyak apapun rindu yang Savira lantunkan saat ini hingga pelukan mereka terurai dan Satya kembali menatap Savira dengan tatapan yang begitu dirindukan perempuan itu. Tatapan yang dulu pernah menggulungnya dalam perasaan bahagia lalu menghempaskannya ke dalam jurang kepedihan yang tak berujung. Dan kini, Savira bisa melihat tatapan itu lagi. Tatapan yang masih sama menenangkan dan menembus hati Savira. Mengobrak abrik kerinduan yang berhasil membuat senyum indahnya mengembang cantik. Satya mendekatkan wajahnya. Membuat hidung mereka bergesekkan sebelum wajah keduanya sama-sama menggeliat dan bibir mereka bersentuhan. Air mata kembali berlinang di antara ciuman lembut yang begitu syahdu dan membuat Savira terbuai hingga kedua matanya terbuka dan Savira menyadari semua itu hanyalah mimpi. Savira meraba bibirnya yang masih bisa merasakan hangat dan basah kecupan mendiang sang suami di dalam mimpinya. “Makasih, Mas. Makasih udah datang di mimpiku,” gumamnya sambil menghapus air mata yang pada kenyataannya juga membasahi pipinya. *** Savira mengangguk dan mengikuti pengawal Kagawashi masuk ke dalam rumahnya. Pandangannya teralihkan begitu melihat pemandangan Kagawashi yang sedang menggendong seorang balita sambil duduk di atas kursi taman rumahnya yang luas. ‘Itu pasti keponakannya,’ batin Savira. Seorang pengawal yang berada di sekitar Kagawashi lantas berbisik dan membuat pria itu menolehkan kepalanya. Tubuh Savira langsung membungkuk hormat seraya menyapa sang tuan rumah ketika tatapan mereka bertemu. Kagawashi tampak memberikan balita itu pada seorang wanita yang Savira perkirakan adalah seorang pengasuh kemudian. Ia mendekat hingga jarak diantaranya dengan Savira hanya selemparan tangan. Satu tangan Savira langsung merogoh isi tas dan mengeluarkan sebuah kotak biru yang langsung diserahkannya ke hadapan Kagawashi. “Aku menyimpannya di dalam sini,” terang Savira. Kagawashi menerima dan membuka kota itu lalu menemukan sebuah kalung yang ia kenali sekali. Kalung dengan bandul yang menyerupai seperti tabung berukuran setengah jari kelingking itu ditatapnnya untuk waktu yang cukup lama. Savira tahu di dalam tabung yang menjadi bandul kalung tersebut terdapat sebuah kertas berisikan tulisan yang dilipat menjadi kecil. Savira pernah membukanya. Namun ia tak pernah berkeinginan untuk membaca surat itu sama sekali. Selain karena Savira tidak ingin mencampuri urusan orang lain, hal itu tentu saja tidak sopan mengingat Savira bukan orang yang berhak membacanya. Namun, melihat tangan Kagawashi yang bergerak dan membuka gulungan kertas tersebut, Savira jadi penasaran. Wajah Kagawashi yang semula tenang dan cenderung dingin, makin malam makin terlihat berkerut marah. Savira memperhatikan setiap perubahan ekspresi pria itu hingga kedua tangannya mencengkram surat itu dengan kuat. Savira terkejut, ingin menghentikan apa yang dilakukan Kagawashi begitu saja namun terlambat. “Kurang ajar!” geram Kagawashi kemudian membuang kertas itu ke tanah. “Kenapa anda membuangnya? Bukankah–“ Kagawashi tak memedulikan ucapan Savira. Pria itu berlalu bersama anak buahnya dengan ekpsresi yang berbahaya. Savira bahkan sempat bergidik merasakan aura dingin yang muncul pada sosok Kagawashi begitu saja. Entah apa yang membuatnya marah. Savira yang penasaran sekaligus ingin tahu lantas memberanikan diri mengambil gulungan kertas yang dibuang Kagawashi. “Nyonya, sebaiknya kita pulang,” cegah pengawalnya yang sejak tadi berdiri di belakang Savira. “Tunggu sebentar.” Rasa penasaran Savira mengalahkan akal sehatnya saat ini. Mungkin juga karena Savira merasa Kagawashi bukan ingin mencelakainya sehingga ia berani mengambil kertas itu dan membacanya. Savira menangkup mulutnya dengan sebelah telapak tangan begitu membaca tulisan yang dibuat adik perempuan Kagawashi sebelum meninggal. Pandangannya beralih ke arah di mana Kagawashi menghilang dari pandangannya. Savira bergegas bangun dan menyusul. Namun lengannya di tahan sang pengawal yang langsung menggelengkan kepala seraya tidak setuju dengan apa yang akan dilakukan Savira. “Anda tidak boleh membahayakan diri anda.” Savira menepis cengkraman tangan sang pengawal yang cukup kuat. “Akan terjadi hal mengerikan. Dan aku tidak mungkin membiarkannya begitu saja di depan mataku.” “Tapi ini bukan urusan anda lagi, Nyonya.” “Lalu untuk apa ayah mertuaku menyewa kalian kalau begitu?” Pengawal Savira sedikit terkejut dan tak menyangka dengan jawaban yang diberikan Savira. Saat itu lah Savira memanfaatkan momen tersebut menginjak kaki pengawalnya dengan keras lalu menendang tulang keringnya. Meski sedikit goyah, pengawal Savira rupanya sudah sangat terlatih sehingga apa yang dilakukan Savira tidak mempengaruhi posisinya yang terus berdiri kokoh dan menahan keberadaan Savira. “Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada anda,” ujarnya tegas. “Nyebelin!” umpat Savira dalam bahasa Indonesia dan membuat pengawalnya sedikit bingung. “Nyonya mengatakan apa? Saya tidak mengerti.” “Bodoh!” umpat Savira kali ini lalu menendang pangkal paha pengawalnya tanpa terduga. Maka kali ini pengawal Savira pun tak bisa menahan serangan yang diterimanya. Wajah pengawal Savira memerah padam menahan rasa ngilu yang kini menyengat pusat kehidupannya. “Nyonya!” erangnya sambil menahan sakit dengan posisi membungkuk dan memegangi miliknya sementara Savira sudah berlari menyusul Kagawashi ke dalam rumahnya. “Hentikan!” teriak Savira namun dihadang pengawal Kagawashi. “Tuan tolong hentikan!” “Ini bukan urusanmu! Bawa dia pergi!” Pengawal Savira ikut menghadang pengawal Kagawashi. “Lepaskan Nyonya saya!” “Bawa dia pergi kalau begitu!” sentak pengawal Kagawashi. “Ayo, Nyonya! Kita pulang!” Kagawashi sudah akan melayangkan samurainya pada pria yang Savira tolong karena luka tembak waktu itu ketika lagi-lagi Savira berteriak, “Hentikan! Anda tidak ingin keponakan anda membenci anda suatu saat nanti karena sudah membunuh ayahnya bukan?” Ayunan pedang samurai Kagawashi mengambang di udara. “Dia pantas mati!” “Dia mungkin menyesali perbuatannya di masa lalu. Karena itu hidupnya seperti sekarang ini, Tuan.” Kagawashi menoleh dengan tatapan berbahaya. Tatapan yang justru membuat Savira merasa kasihan. “Biarkan dia membayar penyesalannya dengan tetap hidup. Membunuhnya sama saja membuat ia membayar kesalahannya dengan mudah.” Savira tahu ia sudah lancang membaca isi surat dari mendiang adik Kagawashi dan kini ia harus berhadapan dengan tatapan membunuh Kagawashi yang terhujam padanya. Savira tahu keputusanya adalah hal buruk dan mungkin saja membuatnya bisa mati saat ini. Namun membiarkan seseorang yang sudah tak berdaya mati di hadapannya juga adalah keputusan yang lebih buruk. “Adik anda pasti tidak akan suka kalau anda melakukan hal ini. Bagaimanapun dia adalah pria yang adik anda cintai dan memberikan anda seorang keponakan.” Savira terus saja bicara dan membuat Kagawashi menggemerutukkan giginya. Samurai itu jatuh dan langkah Kagawashi memburu Savira yang tak sempat kabur. Pengawal Savira langsung dihadang pengawal Kagawashi ketika tuan mereka semakin mendekat dan berdiri tepat di hadapannya Savira. Jantung Savira bertalu-talu lantang. Tubuhnya tersentak ke belakang ketika telapak tangan Kagawashi mencengkram dagunya dengan kuat. Membuat Savira mendongak sambil meringis kesakitan dan memegangi tangan Kagawashi. Pikiran Savira sudah berkecamuk ketika tatapan Kagawashi semakin menghunus padanya. “Kau selalu saja banyak bicara!” Savira tidak bisa membalas. Selain kesulitan bicara, tatapan Kagawashi juga membuatnya tergugu. Netra mereka saling bertumbukkan untuk beberapa saat. Dan Savira baru menyadari sesuatu yang membuatnya terhenyak dalam diam. Kedua tangannya yang mencengkram lengan Kagawashi seketika melemah dan luruh. Hal itu membuat Kagawashi heran dan perlahan melepaskan cengkramannya di dagu Savira. “Obati dia!” titahnya kemudian pergi meninggalkan Savira yang luruh ke lantai. Pengawal Savira langsung menghampiri nyonyanya begitu pengawal Kagawashi melepaskannya. “Nyonya, anda baik-baik saja?” Savira terdiam. Sang pengawal meraih kedua bahu Savira dan mengguncangnya dengan kencang sambil meneriakkan namanya lebih keras. Savira mengerjap lalu menatap ke arah pria yang masih tergelatak di lantai dengan luka yang cukup mengenaskan. “Bantu aku berdiri!” Pengawal Savira mengangguk. “Bawa aku ke sana.” “Tapi, Nyonya–“ “Kamu tidak dengar tadi Tuan Kagawashi memintaku mengobatinya? Atau kita tidak akan pernah bisa keluar dari rumah ini hidup-hidup.” Pengawal Savira mendesah pasrah dan hanya bisa menuruti perintah nyonyanya. Savira lantas meminta pengawal Kagawashi membawa pria yang adalah adik ipar Kagawashi tersebut ke dalam kamar. Dengan perlengkapan medis yang diberikan, Savira mengobati pria yang terlihat tak peduli dengan hidupnya lagi itu sambil menatapnya datar. “Jika kamu merasa bersalah, hidup lah. Karena itu cara satu-satunya untukmu bisa menebus kesalahan pada wanita yang begitu mencintaimu dan rela berkorban demi kebahagiaanmu.” Laki-laki itu masih menatap kosong ke depan. Kondisinya terlihat buruk dan mengenaskan sekali. Matanya lebam dan salah satunya tidak bisa dibuka. Savira mendesah pasrah lalu merogoh saku pakaiannya dan mengeluarkan kertas yang sempat dibuang Kagawashi tadi. Gulungan kertas itu ia rapihkan sebelum menyerahkannya pada pria tersebut. “Baca lah. Ini pesan terakhir istrimu yang ia simpan di dalam bandul kalungnya,” ujar Savira. Padangan laki-laki itu akhirnya berpaling dengan seraut terkejut kemudian menatap kertas yang masih dipegang Savira. Dengan segera tangannya meraih kertas yang Savira berikan dan membacanya dengan panik. Savira memilih membereskan peralatan medis dan obat-obatan yang digunakannya ke dalam tas yang diberikan anak buah Kagawashi sebelumnya. Savira sudah merasa puas dan kini ia sudah bisa pergi dengan tenang dari rumah Kagawashi. Sebelum pergi, Savira sempat berbalik dan menatap pria yang masih memegangi surat mendiang istrinya itu dengan wajah penuh tangis penyesalan. Mendesah berat, Savira akhirnya melangkah pergi meninggalkan rumah Kagawashi tanpa sempat menenui sang pemilik rumah. Savira menitipkan pesan pada pengawal kepercayaan Kagawashi tanpa Savira tahu kalau Kagawashi sedang menatap dirinya dari jendela ruang kerja di lantai atas. Kagawashi terus melihat kepergian Savira dari balik tirai transparan yang menutupi jendela yang tepat berada di depan ia berdiri sekarang. “Apa yang harus saya lakukan tuan?” tanya pengawal kepercayaan Kagawashi. Kagawashi terdiam hingga keberadaan Savira dari rumahnya menghilang baru lah membuat tubuh pria itu berbalik. Kagawashi lantas duduk di kursi kebesarannya, menumpukkan kedua sikutnya di atas meja sambil menatap lurus ke depan. Jemarinya saling menaut dan menopang dagu sementara ekpresi wajahnya tidak bisa dijabarkan. Untuk waktu yang cukup lama, keheningan menguasai ruangan itu hingga Kagawashi membuka laci dan menyerahkan sebuah kartu nama pada pengawalnya. Tanpa perintah yang pasti, pengawal kepercayaan Kagawashi mengangguk paham lalu pamit ke luar ruangan. Sementara itu…. Savira yang tiba di rumah memilih langsung beristirahat ke dalam kamar. Shindu dan kedua anak Zaki masih di sekolah sementara Caroline juga sedang di kampus. Savira memilih untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang begitu lelah setelah pulang dari rumah Kagawashi. Dalam benaknya Savira berpikir kalau semuanya sudah selesai. Dan setelah hari ini, ia juga tidak berharap punya urusan lagi dengan Kagawashi. Matanya perlahan terpejam dan Savira terlelap hingga sore harinya. Begitu Savira selesai mandi dan berpakaian, Savira yang keluar kamar langsung mendapati Zaki dengan tatapan yang aneh. “Kenapa, Mas?” “Kamu sama Tuan Kagawashi habis ngapain?” “Hah? Maksudnya?” Zaki menarik tangan Savira dan membawanya ke dapur. “Lihat!” “Makanan?” tanya Savira aneh ketika Zaki membawanya ke meja makan. “Iya. Dan semua ini dikirimkan Tuan Kagawashi untuk kamu. Sebagai ucapan terima kasih. Kamu ketemu dia lagi diam-diam?” “Hah?!” peki Savira lagi lalu mengerjap bingung dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Vira!” “Aku juga nggak tau, Mas, kenapa Tuan Kagawashi ngirimin ini semua untuk kita.” Kening Zaki mengerut heran. “Kamu…” “Hm?” Savira menoleh dengan seraut polos dan bingung. “Kamu nggak pacaran sama Tuan Kagawashi ‘kan?” Bola mata Savira membelalak sempurna. “Mas ngomong apa, sih? Mungkin dia mau terima kasih aja karena waktu itu aku nolongin adik iparnya.” “Adik ipar? Maksud kamu yang kena luka tembak dan kamu operasi dadakan itu?” Savira mengangguk. “Kamu tahu dari mana kalau pria itu adik iparnya?” Savira menelan ludah dengan susah payah. “Kamu diculik lagi sama dia?” Savira menggeleng cepat. “Nggak, kok. Aku nggak diculik dan diapa-apain lagi kayak waktu itu.” “Oh, berarti bener, ya, kamu ketemu dia diem-diem di belakang Mas. Dan kalian–“ “Mas Zaki apa, sih?” rutuk Savira lalu membuka tiap bungkusan mewah yang diletakkan pengawal mereka di atas meja. “Vira?” Savira bergeming. “Kamu nggak punya pilihan lain apa buat dijadiin papa barunya Shindu?” “Hah?” “Shindu mau punya papa baru, Daddy?” Savira dan Zaki kompak menoleh ke arah sumber suara. “Memangnya siapa yang mau jadi papanya Shindu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN