TUL 31 - Malu

1875 Kata
“Ehem… ehem!” Savira membeliak ketika mendengar suara dehaman seseorang dari belakang tubuh Langlang. Langlang sendiri langsung berdecak sebal ketika wajahnya baru saja menggeliat ke samping. Hendak mencium Savira. “Ganggu banget, sih!” rutuknya sambil menoleh sedikit ke belakang. Savira ikut memiringkan kepalanya ke arah kiri seraya reflek melihat orang yang berdiri di belakang Langlang. “Mas Lewa,” pekiknya. Namun baru sedikit Savira menoleh, Langlang langsung menarik tubuh Savira agar kembali sejajar dengan tubuhnya. “Baju kamu!” desis Langlang sambil melotot padanya. Dan detik itu juga Savira langsung menangkup mulutnya dengan sebelah telapak tangan sementara sebelahnya lagi langsung memeluk pinggang Langlang seraya merapatkan tubuhnya agar tertupi. “Gimana ini?” Langlang mengulum senyum geli untuk sesaat sebelum kembali menoleh dan mengusir Pahlewa dengan bahasa tubuh. “Iya. Iya,” dumal Pahlewa lalu, “Saya nggak liat apa-apa kok, Vira!” Telapak tangan Savira yang melingkari pinggang Langlang langsung meremas kuat. Membuat Langlang sedikit meringis karena kaget. “Sakit, Vira,” godanya padahal biasa saja. “Maaf.” Savira mendongak dengan bola mata memelas. Seperti bola mata anak anjing yang menggemaskan, ditambah dengan bibir bawahnya yang digigit, Langlang rasanya tidak bisa menahan diri lagi. “Jadi dari tadi Mas Lewa dengar pembicaraan kita?” imbuhnya. Wajah Savira terlihat panik sekaligus menggemaskan di mata Langlang. Dan ketika pria itu mengendikkan bahunya santai, Savira malah merungut. Membuatnya tampak makin menggemaskan. Langlang kehilangan kendali dan berakhir mencubit kedua pipinya dengan gemas. “Kamu menggemaskan sekali sih, Vira. Hm? Bikin jantung saya jadi nggak sehat.” Savira berdecak. Langlang terkekeh lalu memeluknya erat. “Jadi, saya dimaafkan?” “Kenapa minta maaf?” “Karena tadi kamu marah. Kamu salah paham sama saya, Vira.” Meski tak membalas pelukan Langlang, keterdiaman Savira saat dipeluk sudah cukup membuat Langlang lega dan senang. “Saya masih nggak percaya.” Langlang mendesah berat lalu mengulur pelukan. Tangannya meremas kedua lengan atas Savira sambil menatap wanita itu dengan penuh kelembutan. “Saya nggak akan janjikan kamu apapun. Tapi satu yang saya ingin katakan, beri saya kesempatan untuk membuat kamu jatuh cinta dan membuktikan kalau saya menyayangi kalian. Kamu dan juga Shindu.” Savira memalingkan wajah. Tak tahu harus menjawab apa hingga akhirnya ia tersadar. Melepaskan diri dari Langlang lalu memunggunginya. Sambil mengancingkan kembali pakaiannya, Savira berkata, “Saya nggak bisa segampang itu percaya sama kata-kata kamu.” “Setidaknya jangan menghindar lagi seperti kemarin. Hm?” Sebuah pelukan hangat melingkari tubuh Savira dari belakang. Membuatnya makin menegang ketika dagu Langlang jatuh di bahunya. Deru napas Langlang yang menampar kulitnya membuat degup jantung Savira mendadak ramai. Langlang yang menyadari hal itu hanya tersenyum geli sambil mengeratkan pelukan. “Saya suka kamu, Vira. Dan Shindu… saya tidak berniat menjadikan dia alat untuk bisa mendapat perhatian kamu. Kamu bisa buktikan itu sendiri.” Langlang mencium bahu Savira. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang ia rindukan beberapa hari ini. Dan Savira makin dibuat berdebar. Matanya memejam rapat-rapat, menikmati kecamuk rasa yang kini sedang berdesakkan mengisi rongga dadanya. “Saya tidak akan meminta kamu untuk mempercayai ucapan saya. Karena itu saya akan buktikan,” pungkasnya lalu memperat pelukannya lagi pada Savira. “Mas tolong lepas!” “Jawab dulu.” “Jawab apa?” “Iya atau tidak?” “Untuk?” tanya Savira reflek menoleh ke samping. Membuat wajah mereka berdekatan. Namun alih-alih melakukan apa yang ingin Langlang lakukan sebelumnya, pria itu melepaskan Savira dan membalikkan tubuhnya. “Kali ini saya sungguh-sunguh. Boleh ‘kan saya dekat kalian?” “Nggak ada yang larang.” Langlang terkekeh geli. “Okay! Berarti nggak ada penolakan lagi.” “Saya nggak bilang gitu.” “Saya nggak minta pendapat kamu.” “Tadi nanya. Gimana, sih?” “Saya tanya saya boleh nggak dekat dengan kamu. Tapi soal penolakan, itu pernyataan. Bukan permintaan.” “Terserahlah.” Savira mengalah. Ia sudah ingin pergi karena malu sudah bersikap impulsif dan kali ini ada yang memergoki mereka. Beruntungnya Langlang menghentikan sikap impulsifnya. Kalau tidak, Savira tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dan dilihat Pahlewa selanjutnya. Savira mengeluh sendirian di bangku tengah ketika mobil kembali membawanya ke rumah. “Kamu dari mana, Vira?” “Aku…” Zaki menatap Savira lekat. “Aku apa?” “Aku dari rumah Mas Lewa, Mas.” “Ada perlu apa kamu ke sana?” “Mas kenapa nggak bilang, sih, kalau anak-anak pergi sama mereka? Aku ‘kan jadi kesel. Aku kira…” “Kamu ini kenapa, sih? Kemarin kamu jalan sama dia. Sekarang malah kesel. Kamu nih kenapa, sih?” “Mas kok–“ “Ada apa ini? Bukannya masuk?” sela Caroline. Zaki menunjuk Savira dengan mengendikkan dagunya pada sang istri. “Tuh, Savira aneh lagi.” “Aneh kenapa?” Caroline mendekati Savira. “Kamu dari mana Vira?” “Dari–“ “Dari rumah Langlang, calon bapak barunya Shindu.” Caroline berdecak sambil mendelik karena sang suami memotong ucapan Savira lebih dulu. Zaki sendiri tak peduli. Mengendikkan bahu lalu berlalu ke dalam rumah lebih dulu. “Kamu habis ngapain dari rumah dia?” Savira hanya menggeleng. Caroline menduga ini pasti ada hubungannya dengan kepergian anak-anak dengan Langlang dan Pahlewa tadi siang. “Masuk dulu. Mandi terus makan. Kamu melewatkan makan malam. Shindu sampe nggak mau makan karena nyariin kamu,” ujar Caroline. Savira langsung merasa bersalah. “Shindu nggak makan, Mbak?” “Udah makan. Tadi dibujuk Mas Zaki. Lagi kamu nih kenapa marah sama Shindu?” Savira kembali menunduk. Akhir-akhir ini perasaannya tak karuan. Dan itu semua dipengaruhi hubungannya dengan Langlang. “Nggak papa, Mbak.” “Mbak tau, dibalik nggak apa-apanya kamu itu ada apa-apanya. Tapi kalau kamu memang belum mau cerita, nggak papa. Sekarang masuk dulu, yuk!” Patuh. Savira mengikuti Caroline. Masuk kamar, membersihkan diri lalu makan malam sebelum akhirnya ia menemui Shindu yang sejak tadi main di kamar si Kembar. “Bunda!” Savira tersenyum sambil merentangkan tangan dan berlutut menyambut sang putra. “Bunda ke mana aja? Bunda marah, ya, sama Shindu?” “Nggak. Bunda tadi beli obat. Bunda sakit perut,” dustanya. “Perut Bunda kenapa? Yang mana yang sakit?” “Sekarang udah nggak papa, kok. Shindu mau bobo sekarang sama Bunda?” dustanya lagi dengan rasa bersalah. Bocah itu mengangguk lalu berpamitan lebih dulu pada kedua bibi kembarnya. Sambil memeluk dan mengusapi Shindu di atas tempat tidur, ibu dan anak itu bicara dari hati ke hati. “Bunda kenapa marah Shindu main sama Om Baik dan Om Lucu?” “Bunda nggak marah kok. Bunda cuma nggak tahu Shindu sama onti-onti pergi main. Daddy sama Mommy nggak kasih tahu Bunda. Jadinya Bunda salah paham.” Shindu mendongak. “Jadi Shindu masih boleh main sama Om Baik dan Om Lucu?” “Boleh. Tapi bilang dulu sama Bunda, ya? Janji?” “Janji!” Keduanya saling mengaitkan jari kelingking lalu Savira kembali memeluk Shindu. “Shindu suka sama Om Baik?” “Suka, Bunda. Om Baik pinter gambar. Shindu mau belajar gambar biar nanti bisa buat gambar Bunda, Ayah sama Shindu. Kayak di foto itu.” Tangan bocah kecil itu menunjuk ke arah foto keluarga kecil mereka yang sudah lengkap dengan kehadiran Satya di dalamnya. Hasil editan fotografer yang mereka kunjungi beberapa waktu lalu. “Ayah pasti bangga sama Shindu.” “Iya, Bunda?” Savira mengangguk. “Kalau Shindu nanti jadi pelukis, boleh?” “Boleh. Shindu mau jadi apapun, Boleh. Yang penting Shindu bahagia.” “Makasih, Bunda.” *** “Mas Lewanya mana?” Savira baru tiba di kafe yang sebelumnya dikunjungi Shindu dan Si kembar bersama Langlang dan Pahlewa sebelumnya. Minggu ini mereka punya jadwal main lagi bersama Langlang dan Pahlewa. Namun kali ini Savira ikut bersama ketiganya dan datang setelah shift kerjanya di rumah sakit selesai. Langlang hanya mengendikan bahu sambil mengeluarkan perlatan menggambarnya seraya menjawab pertanyaan Savira yang duduk di hadapannya. Savira berdecak lalu mengeluarkan ponselnya. Menghubungi Pahlewa yang keberadaannya tak terlihat. Padahal sebelumnya ia sudah janji akan menemani mereka main di kafe day care tersebut. “Saya di sini, Vira.” Suara Pahlewa sontak membuat Savira yang sedang melekatkan ponsel di telinganya langsung mmenoleh. Pria itu datang membawa makanan yang dipesan bersama si kembar. Langlang terkekeh geli melihat ekspresi Savira. Wanita itu pasti menduga ia membohonginya karena kehadiran Pahlewa dan Si kembar yang tidak ada. “Panik banget, sih! Kangen, ya, sama aku?” goda Pahlewa sambil menaik turunkan alis dan menoel-noel Savira. Langlang yang melihat hal itu langsung melempar penghapus pada sahabatnya tersebut. “Mas! Jangan lempar-lemparan gitu di depan anak-anak. Nanti dituruti.” Savira memperingatkan Langlang. Pahlewa menjulurkan lidah seraya mengejek sahabatnya tersebut. “Ck! Iya, Sayang. Maaf.” “Mas!” Kali ini Pahlewa yang berdecak. “Sayang… sayang palalu peyang.” “Mas!” Lagi. Savira memijat keningnya yang berdenyut. Kedua pria itu hanya saling berdecih. “Kalau berantem terus, aku bawa anak-anak pulang saja.” “Eh jangan!” cegah keduanya namun Pahlewa yang berhasil meraih lengan Savira karena ia duduk di sebelah wanita itu. Langlang hanya bisa meruntuk sementara Pahlewa merasa puas karena bisa membuat sahabatnya kalah. “Shindu… sini, Sayang,” seru Langlang melambaikan tangan. “Yang Om ajarkan kemarin bagaimana?” Savira menatap keduanya begitu lekat. Langlang bahkan membiasakan bahasa baku ketika bicara dengan Shindu. Padahal ketika ia bicara dengan Pahlewa, mereka menggunakan bahasa santai yang tidak baku sama sekali, bahkan tak jarang kasar. Pun padanya. Langlang selalu menyebutkan dirinya dengan kata saya. Membuat Savira merasa pria itu terlalu sopan meski kelakuannya sangat menyebalakan. Sering seenaknya hanya karena mereka pernah melakukan ciuman panas. Blush… Ya. Ciuman. Wajah Savira mendadak panas mengingat adegan mereka di mobil kala itu. Ditambah tiga malam yang lalu, ketika dengan impulsifnya Savira bertingkah seperti perempuan murahan. Lagi. Murahan. Satu lagi kata yang kini merusak perasaan Savira. Sebuah kata yang pernah dilontarkan seseorang hingga membuatnya hampir mengakhir hidup. Ingatan masa lalu itu masih membekas dan melekat kuat. Meski tak lagi mengingatnya terus menerus, rasanya tetap saja mengganggu. Savira seolah belum berdamai dengan dirinya sendiri hingga masa lalu pahit itu terus menghantui. Kisah cinta rumit yang membuatnya terpasung dalam luka yang menahun. “Vira?” “Hm?” “Kenapa melamun?” Langlang ikut menatap ke arah Savira yang kemudian tersenyum menggelengkan kepalanya. Senggolan kaki Langlang di kakinya tiba-tiba membuat Savira menunduk sesaat sebelum menatap Langlang. Pertanyaan itu terlukis di wajahnya ketika Langlang yang fokus mengajari Shindu menggambar masih bisa memberikan secarik kertas kecil berisi tulisan padanya. “Senyum. Supaya kamu semakin cantik hari ini,” tulisnya diikuti emoticon senyum dan hati. Savira langsung berdeham dan meremas kertas itu meski tak membuangnya. Langlang yang memperhatikan hal itu mengulum senyum geli sambil menggeser gelas minum Savira ke hadapannya. “Minum. Cuaca panas sekali sepertinya. Sampai-sampai pipi kamu merah begitu,” cibirnya sengaja menggoda. Shindu dan Si kembar kompak mendongak dan menatap wajah Savira untuk beberapa jenak. Rasa kikuk langsung menyergap hingga Savira hanya bisa tersenyum kaku sebelum anak-anak itu kembali sibuk dengan gambarnya masing-masing. “Lanjutin aja. Gue nggak liat, kok,” cibir Pahlewa yang terlihat fokus dengan ponsel namun rupanya tau apa yang dilakukan keduanya sampai-sampai Savira salah tingkah. Ya Tuhan. Savira rasanya ingin menghilang sementara yang bisa ia lakukan hanya memalingkan wajah, menyedot minumannya dengan tergesa kemudian mengibas-ngibas wajahnya yang memanas karena ulah dua pria yang bersamanya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN