“Kau membunuhnya, Janice!”
Detak jantung Janice seakan berhenti ketika ia mendengarkan kalimat tersebut. Sebuah tuduhan tidak berdasar yang sudah dijukan kepadnya sejak ia pulang di tengah malam dua hari yang lalu.
Mata Janice mengerjap dengan perlahan, mencoba untuk menguatkan diri. Lalu pandangannya jatuh pada Julian, seorang pria yang duduk dengan pandangan kosong. Tampak mencoba untuk tetap bertahan, sama seperti yang sedang Janice lakukan.
“Janice satu-satunya orang bersama dengannya! Janice yang membunuhnya!” Callista kembali berteriak dengan keras. Air matanya mengalir, menampilkan ekspresi kesedihan yang mendalam.
Sementara itu, Janice tetap duduk dengan tenang. Berusaha memikirkan apa yang sebenarnya terjadi hingga ia harus dicerca dengan pertanyaan tidak masuk akal tepat setelah acara pemakaman yang diwarnai dengan tangisan kesedihan. Sudah dua hari, sudah dua hari Janice bungkam setiap kali Callista mulai memberikan tuduhan, namun tampaknya hari ini Janice harus membuat pengakuan.
“Aku membunuhnya..” Jawab Janice dengan suara bergetar.
Semua mata langsung tertuju padanya. Suara tangisan seorang wanita paruh baya juga terdengar cukup nyaring, lalu disusul dengan tangisan ibunya yang sedang berada dalam dekapan ayahnya. Lalu kurang dari dua detik kemudian, Callista memukul janice dengan gerakan menggila. Perempuan itu menjambak rambutnya, mencakar wajahnya, dan menendang perutnya.
Tidak ada satupun perlawanan yang Janice berikan. Ia menerima kemarahan Callista beserta semua pukulan dan makian yang diucapkan oleh kakaknya.
“Hentikan, Callista! Kau bisa membunuhnya!”
Ketika semua orang sedang sibuk dengan tangisan mereka, Julian datang untuk menarik Callista dari tubuh Janice yang sudah hancur karena penuh luka.
“Biarkan aku membunuhnya!”
“Berhentilah, Callista!”
Dari sudut matanya yang mulai menutup karena tidak sanggup menahan rasa sakit di tubuhnya, Janice melihat tatapan mata itu.. tatapan mata yang menunjukkan sebuah penderitaan yang tidak dapat diucapkan.
Julian, pria itu menatap Janice dengan mata sendu. Tampak sangat menderita, tapi dia tidak sanggup mengungkapkan penderitaannya.
Lalu, untuk yang pertama kalinya.. Janice menyesal karena telah mengenal pria itu. Janice menyesal karena akhirnya dialah yang menjadi penyebab dari penderitaan Julian. Janice menyesal karena setelah sekian lama mengabaikannya, kini tatapan Julian tertuju padanya, namun bukan untuk menyambut perhatian Janice, melainkan menunjukkan rasa sakit yang pria itu rasakan.