Bab 3 Hukuman Untuk Sebuah Kebodohan

1770 Kata
Persiapan pernikahan Janice dan Julian telah hampir sepenuhnya selesai. Selama satu pekan terakhir, Janice sibuk mengurus segalanya. Mulai dari gedung, gaun pernikahan, dan juga daftar tamu undangan. Julian hanya menghubunginya dua kali untuk menyampaikan konsep pernikahan yang ia inginkan. Sebuah pernikahan sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga terdekat saja. Mungkin hanya ada satu atau dua orang teman yang diundang untuk turut menjadi saksi atas pernikahan mereka. Awalnya Janice merasa senang ketika mendengarkan konsep pernikahan yang diinginkan oleh Julian, karena secara kebetulan konsep pernikahan impian Janice sama persis seperti konsep yang dipilih oleh Julian. Namun dua minggu sebelum pernikahan dilangsungkan, Janice mendapatkan kabar jika Julian ingin mengubah konsepnya. Pria itu menginginkan sebuah pernikahan mewah dengan ribuan tamu undangan. Harus ada gedung mewah dengan makanan yang melimpah, pakaian pernikahan mereka juga harus cantik dan elegan. Bukan lagi pernikahan sederhana, tapi mereka akan melangsungkan pernikahan mewah yang sangat meriah. Meskipun tidak terlalu setuju dengan perubahan konsep tersebut, Janice tidak banyak memberikan protes. Dia tetap melakukan segala hal yang diinginkan oleh Julian salah satunya melakukan fitting baju pengantin secara terpisah. “Ada apa dengan pengantinnya? Mengapa memilih jadwal yang berbeda? Kalian ingin memberikan kejutan di hari pernikahan?” Seorang wanita paruh baya yang biasa dipanggil sebagai Nyonya Gia datang untuk memeriksa hasil gaun pengantin yang dipesan oleh Janice. Wanita itu adalah pemilik butik yang selalu melayani Janice sejak pertama kali ia datang ke butik tersebut. “Kami terlalu sibuk untuk menyamakan jadwal pertemuan.” Janice menjawab dengan seadanya. “Kalian akan menikah tapi masih memikirkan kesibukan masing-masing?” Wanita itu menatap Janice dengan pandangan geli. Janice mengendikkan bahunya dengan pelan. Tidak ada alasan lain yang lebih masuk akal dibandingkan kesibukan bekerja. Semua orang di butik ini mengetahui siapa pria yang akan menjadi calon suami Janice, dia adalah seorang pengusaha yang namanya cukup terkenal karena memiliki berbagai properti mewah salah satunya adalah hotel bintang 7 di pusat kota. Karena kepopuleran Julian, semua orang juga jadi mengetahui latar belakang keluarga Janice yang juga berasal dari keluarga terpandang yang memiliki bisnis properti. “Itu jauh lebih baik dari pada memiliki pasangan pengangguran.” Seorang wanita yang sedang mengukur lingkar pinggang Janice turut memberikan komentar. "Jangan menceritakan penyesalanmu kepada seorang wanita yang akan menikah!" Nyonya Gia menegur pegawainya. Janice tersenyum singkat. Suasana di butik ini memang terasa menyenangkan, ada banyak pegawai yang selalu bersikap ramah setiap kali Janice datang. Begitu juga dengan Nyonya Gia yang sering memberikan Janice nasehat mengenai pernikahan. "Lingkar pinggangnya semakin berkurang." Kata pegawai wanita yang baru selesai mengukur lingkar pinggang Janice. Gaun pernikahan yang Janice pesan sudah hampir selesai dikerjakan, tapi secara tiba-tiba berat badan Janice menurun sehingga mereka harus melakukan perombakan ulang untuk mengecilkan beberapa bagian di gaun tersebut. “Wajar jika kau semakin kurus saat menjelang pernikahan. Kau pasti menghadapi hari-hari yang berat.” Janice mengangkat pandangannya, mencoba mengingat hal-hal berat apa yang ia alami selama satu pekan belakangan. Setelah Janice dan mengkonfirmasi berita pernikahan mereka, Callista langsung menjambak rambutnya dan menyebut Janice sebagai seorang w************n yang tidak tahu diri. Callista juga kembali mengungkit kesalahan Janice di masa lalu, sebuah cerita yang langsung membuat Julian mengalihkan tatapannya dari Janice. Belum cukup sampai di situ, ibu kandungnya juga mengatakan hal yang sama. Dia tidak akan datang ke pernikahan Janice dan Julian, jika ia dipaksa untuk datang maka dia bersumpah akan membuat Janice celaka saat itu juga. Ketika mendengarkan sumpah ibunya, Janice hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia mengerti kenapa ibunya sangat membenci dirinya. Alasan yang sama yang membuat Callista sering menyakitinya, pun dengan Julian yang tidak pernah lagi berbicara dengannya selama lima tahun terakhir. Seburuk apapun mereka memperlakukan Janice, selama ini tidak pernah ada satupun perlawanan yang ia berikan. Janice menerima semuanya sekalipun kadang ia harus menangis sendirian karena tidak sanggup menahan kesedihan hatinya. Perbuatan Callista memang sering membuat Janice terluka secara fisik, tapi sumpah yang dibuat oleh ibunya jauh lebih menyakitkan. “Gaun ini akan selesai kurang dari dua hari lagi. Kami akan langsung mengirimnya ke rumahmu, jadi kau tidak perlu repot untuk datang ke sini lagi.” Nyonya Gia menatap Janice sambil tersenyum lalu menuliskan sebuah catatan di dalam bukunya. “Nyonya?” “Ya? Ada lagi yang kau butuhkan?” “Bisakah anda mengirimkan gaun itu ke apartemenku saja?” Tanya Janice. “Bukankah kau tinggal bersama dengan orang tuamu?” Janice menganggukkan kepalanya, dalam setiap kartu identitas yang ia miliki, alamat tempat tinggalnya masih tertuliskan alamat rumah orang tuanya. Tapi menurut Janice, akan lebih baik jika gaun itu disimpan di apartemennya sendiri. Sejujurnya Janice tidak ingin berpikirkan buruk, tapi selama ini Callista selalu berani melakukan hal-hal di luar batas ketika ia sedang kesal. Janice tidak ingin gaun pernikahannya menjadi salah satu korban dari kemarahan Callista. “Maafkan aku.” Nyonya Gia tersenyum sejenak. “Tolong tuliskan alamatmu..” *** Jenice menatap seluruh isi ruangan apartemennya yang tampak mulai kosong karena beberapa barang telah dipindahkan ke rumah Julian yang ada di pinggir kota. Sekalipun Julian banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di tengah kota, pria itu lebih memilih untuk tinggal di lingkungan yang tenang, tepat di samping perbatasan kota dengan pegunungan. Janice belum pernah datang ke rumah Julian, tapi dari keterangan ayahnya, Julian memiliki rumah besar yang sangat indah. Ada halaman luas yang masih kosong sehingga Janice bisa menanam bunga di halaman tersebut. Menurut ayahnya, mungkin sebaiknya Janice mulai mengurangi kegiatannya di toko bunga dan lebih fokus untuk mengurus rumah tangganya. Untuk sesaat Janice termenung ketika mendengarkan nasehat dari ayahnya. Janice masih ingat dengan jelas bagaimana raut bahagia yang ditampilkan oleh ayahnya ketika pria itu baru saja pulang dari rumah Julian. “Kau tidak akan kesepian lagi, Janice. Rumah Julian akan menjadi tempat yang menyenangkan untuk kalian.” Janice tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan samar. Diantara semua orang yang mendengar berita pernikahan Janice dan Julian, hanya ayahnya saja yang bisa memberikan respon baik. Ketika semua orang menyudutkan Janice dan menganggapnya tidak pantas menjadi pasangan Julian, ayahnya adalah orang pertama yang memberikan pelukan kepada Janice. Menguatkan Janice dan memberikan dukungan kepadanya. “Aku tidak pernah merasa kesepian. Papa tidak perlu khawatir..” Janice memberikan secangkir teh yang baru saja ia buat. “Apartemen ini adalah satu-satunya tempat dimana kau bisa menjadi dirimu sendiri. Sekalipun Papa sedang bersamamu, jangan mencoba untuk menjadi Janice yang lain. Papa mengerti bagaimana perasaanmu saat ini.” Janice mengulum senyuman. Sekuat tenaga ia berusaha untuk menahan tangisannya. “Aku selalu menjadi diriku sendiri.” Jawab Janice. “Janice, setelah kau menikah, Papa sudah tidak memiliki hak untuk mengatur hidupmu. Tapi kau tahu jika Papa akan selalu ada untuk membantumu.” Janice kembali menganggukkan kepalanya. Selama ini ayahnya telah menjadi ayah yang terbaik. Yang tidak pernah meninggalkan Janice sekalipun ia sedang berada di titik terendah, yang tidak pernah menyalahkan Janice meskipun ia tahu jika kesalahan putrinya terlampau sulit untuk dimaafkan. “Papa senang karena kau menikah dengan Julian. Papa juga sangat senang karena akhirnya kalian berhasil bangkit dari kesedihan di masa lalu.” Ayahnya berbicara sambil tersenyum. “Papa tahu jika selama ini Julian menyimpan perasaan kepadamu. Kalian sudah cukup saling menyakiti, kini saatnya untuk memulai hidup yang baru.” Janice menggigit bibir bawahnya. Merasa sesak setiap kali melihat senyuman ayahnya yang tampak begitu bahagia. Tanpa pria itu tahu, sebenarnya pernikahan tersebut adalah awal dari hukuman yang harus diterima oleh Janice. Pernikahan mereka bukan tentang saling mencintai atau saling membutuhkan, tapi tentang upaya Julian untuk menyembuhkan sakit hatinya sendiri. Dan Janice sama sekali tidak keberatan jika ia harus menjadi objek balas dendam Julian. Kesalahan Janice terlampau besar untuk dimaafkan, tidak ada cara lain untuk menghilangkan kesalahan tersebut selain dengan cara balas dendam. Suara dering telepon membuat lamunan Janice berakhir, ia menolehkan kepalanya ke arah ponsel yang berada di atas meja rias. Sebuah nomor yang sering menghubunginya selama beberapa hari terakhir ini menjadi nama yang tertulis di layar tersebut. “Ya, Julian?” “Semua barangmu sudah sampai di rumahku?” Janice sudah mengirimkan sebagian barang pentingnya, tapi sampai saat ini ia masih belum tahu apakah barang itu sudah sampai atau belum. “Aku tidak tahu. Mereka masih belum memberikan kabar kepadaku.” “Bagaimana persiapan pernikahan?” Jantung Janice berdegup kencang ketika Julian menanyakan tentang persiapan pernikahan mereka. Sekalipun mereka menikah dengan alasan yang balas dendam, Janice tetap tidak bisa menutupi setitik rasa bahagia yang mengusik hatinya. Bagiamanapun juga, mereka akan menikah.. Dan Janice adalah tipe orang yang mempercayai kesucian pernikahan. Satu pernikahan untuk seumur hidupnya. “Semuanya berjalan lancar. Aku akan segera mengirimkan progres persiapan pernikahan kita. Aku juga sudah selesai melakukan fitting baju, mereka sedang menunggumu untuk melakukan pengecekan akhir. Kuharap kau tidak terlalu sibuk sehingga bisa datang ke butik besok atau lusa.” “Aku akan berangkat ke Jepang.” Janice mengernyitkan dahinya. “Jepang?” “Bersama dengan Callista.” Lanjut Julian. Janice memejamkan matanya. Apa lagi yang terjadi? Kenapa tunangannya pergi ke luar negeri bersama dengan kakaknya? “Apakah kalian memiliki pekerjaan yang sama sehingga harus pergi ke luar negeri? Tap—tapi kita akan menikah, Julian.” “Aku sedang berlibur bersama dengan Callista.” Tanpa sadar air mata Janice mengalir. Ternyata balas dendam itu sudah dimulai meskipun mereka masih belum menikah. Apakah berlibur dengan Callista adalah salah satu rencana balas dendam yang disusun oleh Julian? “Julian, apa yang kau lakukan? Aku sudah menunggumu sejak tadi!”“Aku sedang menghubungi Janice.”“Ah, calon istrimu? Apakah kau sungguh ingin melanjutkan rencana pernikahanmu? Adikku adalah perempuan yang cocok untuk dipermainkan..”“Berhentilah menggodaku, Callista. Kau tahu apa tujuanku menikahi adikmu.”“Dia seperti boneka bodoh yang rela dipermainkan. Dia seharusnya tahu bagaimana hubungan kita selama ini. Dia pikir bisa mendapatkanmu setelah menikah denganmu?” Janice menutup panggilan tersebut secara sepihak. Napasnya mulai tidak beraturan ketika mendengar suara Callista di sambungan telepon. Dengan sekuat tenaga, Janice menarik napasnya. Berusaha keras untuk menenangkan tangisannya sendiri. Ternyata, meskipun sudah terbiasa dengan luka, Janice tetap merasa tersakiti ketika kembali mendapatkan luka yang lain. Janice pikir hatinya sudah mati rasa, tapi ternyata Janice salah. Mungkin malam ini Janice harus kembali merenungi kesalahannya. Kesalahan yang membawanya sampai pada titik yang terlalu jauh. Di masa lalu Janice pernah membuat kesalahan bodoh, dan meskipun dia sudah cukup sering menyesali kesalahan tersebut, tidak ada yang berubah dari hidupnya. Janice tetap harus menerima konsekuensi dari kesalahannya. Mungkin kali ini balasan atas kebodohannya baru akan dimulai. Selama lima tahun terakhir, segala caci dan maki yang Janice terima hanyalah sebuah permulaan untuk menuju pada hukuman yang sebenarnya. Namun, setelah semua yang ia terima, haruskah Janice kembali mengambil keputusan bodoh dengan membiarkan dirinya larut di dalam duka dan rasa sakit? Haruskah ia mengulang waktu-waktu menyakitkan yang penuh dengan air mata? Haruskah Janice menyerahkan hidupnya untuk menanggung kesalahan di masa lalunya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN