Flashback
Janice melangkahkan kakinya dengan riang, sesekali ia melompat dan meninju udara dengan kepalan tangannya. Rasanya ini adalah hari yang paling indah di dalam hidupnya karena selain mendapatkan juara satu dalam lomba melukis, Janice juga mendengar kabar dari pelatih tarinya jika bulan depan ia akan tampil di ballroom Opera La Bassile, salah satu pagelaran tari kontemporer paling terkenal di kotanya.
Janice sangat menyukai balet sejak berusia 7 tahun. Terhitung Janice mulai menggeluti tarian tersebut selama lima tahun terakhir sejak ayahnya memperkenalkan dirinya pada salah satu pelatih tari terkemuka. Janice mendapatkan latihan secara privat, tapi sesekali dia juga sering tampil bersama dengan teman grupnya yang juga dilatih oleh Miss Selina, pelatihnya. Tapi selama ini Janice hanya tampil di pagelaran kecil, bukan di Opera La Bassile yang dikenal cukup selektif dalam merekrut anggota baru.
Bagi Janice, balet adalah bagian dari hidupnya. Hanya balet yang bisa mengembalikan rasa percaya dirinya setiap kali dia harus disandingkan dengan kakaknya yang memiliki segudang bakat. Balet adalah satu-satunya hal yang tidak dikuasai oleh kakaknya, tidak seperti bakatnya yang lain yang selalu ditandingi oleh Callista karena perempuan itu jauh lebih cepat mempelajari hal baru dibandingkan Janice. Namun bukan karena itu saja Janice menyukai balet, sejak awal ia memang tertarik dengan tarian kontemporer, salah satunya adalah balet. Janice juga bisa melakukan dance modern, tapi tidak sebaik saat ia melakukan tarian balet dengan diiringi oleh musik klasik.
Dan sore ini, Janice mendengar dari pelatihnya jika mulai besok Janice akan berlatih dengan tim barunya di gedung Opera La Bassile karena bulan depan Janice akan melakukan debut pertamanya sebagai anggota termuda dalam grup tersebut. Kata Miss Selina, Janice akan bergabung dengan grup yang memiliki rentang usia 14-15 tahun.
Rasanya Janice tidak bisa percaya jika ia akan bergabung dengan grup yang jarak usianya dua tahun lebih tua darinya. Apalagi dia akan menjadi anggota termuda dalam grup tersebut.
Masa depan Janice sebagai penari kontemporer pasti akan terjamin jika ia melakukan debut bersama dengan Opera La Bassile. Jika ia beruntung, maka bisa saja Opera tersebut menawarkan kontrak tetap dengannya setelah ia selesai melakukan debut yang biasanya memakan waktu sekitar satu atau dua tahun.
Untuk saat ini Janice tidak ingin berharap terlalu tinggi, ia hanya ingin fokus mempersiapkan diri agar bisa memberikan yang terbaik di penampilan perdananya sebagai anggota debut Opera La Bassile. Dan pastinya Janice bersemangat untuk segera pulang dan menceritakan keberhasilannya kepada kedua orang tuanya.
“Wah, kau mendapatkan piala, Janice?”
Begitu masuk ke dalam rumahnya, Janice langsung disambut oleh pertanyaan Jacob yang tampak penasaran. Pemuda itu bangkit berdiri dari sofa santai yang ia duduki bersama dengan Callista, lalu menghampiri Janice yang sedang tersenyum di ujung ruangan.
“Juara melukis?” Tanyanya lagi.
“Iya. Aku baru saja mendapatkannya hari ini.” Janice menyerahkan pialanya kepada Jacob agar pemuda itu bisa melihatnya dengan jelas.
Jacob bertepuk tangan sambil menatapnya dengan bangga. “Julian, Callista, lihatlah apa yang Janice dapatkan.” Jacob menoleh lalu menunjukkan pialanya kepada Callista yang sedang duduk dengan enggan, juga Julian yang tampak acuh.
“Aku juga sering mendapatkan juara. Bahkan bukan hanya pada perlombaan tingkat sekolah seperti yang Janice dapatkan.” Callista merespon dengan sengit.
Janice meringis ketika mendengarkan kalimat sinis yang Callista katakan. Kakaknya itu memang sangat jarang berekspresi senang jika membicarakan hal yang menyangkut tentang Janice.
Sebenarnya tidak berbeda jauh dari Julian yang juga jarang memberikan perhatian kepada orang lain. Namun bedanya, Julian bersikap acuh pada semua orang, tidak hanya kepada Janice saja.
“Aku tahu. Tapi kali ini kita juga harus memberikan selamat kepada Janice. Dia berhasil menjadi juara pertama.” Jacob tetap berusaha untuk mencairkan suasana.
Kadang Janice merasa penasaran dengan Jacob yang masih tetap bisa bertahan ketika harus berhadapan dengan Callista dan Julian.
“Itu hanya piala kecil. Seharusnya kau tidak terlalu membanggakannya.” Callista bangkit berdiri lalu melangkahkan kaki sambil sesekali menghentak dengan kesal.
Jacob ternganga ketika melihat reaksi Callista. Bukannya marah atau tersinggung, Jacob justru tertawa geli melihat tingkah Callista.
“Sepertinya dia iri karena aku memujimu.” Kata Jacob sambil mengembalikan piala milik Janice. “Ngomong-ngomong, selamat karena berhasil menjadi juara pertama. Aku sudah menduga jika kemampuan melukismu akan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Aku harap lain kali kau akan kembali menjadi juara.” Jacob tersenyum sambil mengusap rambut Janice dengan lembut.
Janice tersenyum dengan malu. Ia tidak menyangka jika Jacob akan mengusap rambutnya padahal seingat Janice, Jacob sangat jarang menyentuh rambut Callista.
“Aku akan melakukan debut dengan Opera La Bassile. Kuharap kau mau datang untuk menonton pertunjukan itu.” Janice berbicara dengan malu-malu.
“Oh ya? Kau berhasil melakukan debut di sana? Astaga, kau sangat hebat, Janice.” Jacob menatapnya dengan tidak percaya hingga membuat Janice semakin tersipu malu.
Janice melirik ke arah Julian yang juga sedang menatapnya secara terang-terangan.
Seperti biasanya, Julian selalu sibuk dengan buku tebal di tangannya. Sejak dulu Julian memang lebih suka larut di dalam buku yang ia baca dibandingkan ikut memperhatikan orang di sekitarnya. Apalagi setelah Julian masuk universitas sejak dua tahun lalu. Pemuda berusia 18 tahun itu akan segera masuk ke semester 3 dalam beberapa bulan lagi.
“Kita akan membicarakan tentang debutmu lagi nanti. Sepertinya aku harus mengejar Callista sebelum ia bertambah marah dan mengabaikanku selama satu pekan.” Jacob tertawa di akhir kalimatnya.
Janice mengangguk lalu tersenyum ketika melihat Jacob mulai melangkahkan kaki untuk naik ke lantai dua. Pemuda itu sudah hafal setiap sudut rumah Janice karena terlalu sering berkunjung. Oleh sebab itu ia tidak terlihat kikuk ketika harus menaiki tangga dan mencari Callista sendirian.
Hembusan napas terdengar dari hidung Janice. Ia menatap piala dalam genggamannya dengan bangga. Ini adalah awal dari perjalanannya, sebentar lagi Janice akan mulai menapaki karir dan mimpi-mimpinya sebagai seorang penari balet profesional. Dan mungkin juga ia masih memiliki banyak kesempatan untuk semakin mengembangkan bakat melukisnya.
Senyuman Janice semakin lebar ketika memikirkan rencana-rencana yang ia susun selama bergabung dalam debut bersama dengan Opera La Bassile.
“Selamat atas kemenanganmu.”
Terdengar suara Julian yang memberikan pujian dengan singkat. Pemuda itu menatapnya sekilas lalu tersenyum kecil di sudut bibirnya hingga membuat Janice hampir ternganga karena selama ini tidak pernah melihat Julian tersenyum, bahkan kepada Jacob sekalipun.
“Y—ya. Terima kasih banyak, Julian.” Janice ikut tersenyum dengan kaku.
Biasanya Julian hanya akan berbicara sepenggal kalimat lalu kembali sibuk dengan buku yang ia baca, namun kali ini berbeda. Julian menatapnya cukup lama sebelum kembali mengajukan pertanyaan.
“Kau akan debut dengan La Bassile?”
Janice hampir menampar pipinya sendiri untuk memastikan jika pertanyaan Julian bukan khayalannya.
Apakah Julian benar-benar bertanya kepadanya?
Janice sempat terdiam selama beberapa saat sambil mengernyitkan dahinya dengan kebingungan.
Tatapan Julian yang tampak serius membuat Janice sadar jika pemuda itu sedang menantikan jawabannya. Dan itu artinya Julian benar-benar bertanya kepada Janice.
“Iya. Mungkin bulan depan aku akan mulai melakukan pertunjukan setelah menjalani karantina selama satu bulan.” Janice menyampaikan dengan singkat apa yang dikatakan oleh pelatih tarinya.
Julian kembali melengkungan sudut bibirnya. “Selamat kalau begitu.”
Janice ikut tersenyum, ia menghampiri Julian dan duduk di hadapannya. “Terima kasih banyak, Julian.”
Tatapan mata Janice terlihat antusias ketika membaca judul buku yang sedang dibawa oleh Julian.
“Kau membaca tentang musik klasik?” Tanya Janice sambil menunjuk ke arah sampul buku berwarna putih dan emas tersebut.
Julian membalik bukunya dan menunjukkan kepada Janice sehingga ia bisa membaca judul di sampulnya dengan lebih jelas.
“Aku mempelajari semua hal.” Jawab Julian dengan tenang,
Janice semakin antusias, ia tidak menyangka jika Julian tidak hanya belajar tentang bisnis seperti jurusan kuliahnya, tapi juga menyempatkan waktu untuk belajar tentang hal-hal umum seperti musik dan sebagainya.
“Wah, ini buku yang cukup menarik.” Janice mengembalikan buku tersebut kepada Julian.
“Kau ingin membacanya?”
Janice kembali terkejut. Ia mengangguk dengan pelan sambil tersenyum. “Apakah boleh?” Tanyanya.
Julian menutup buku tersebut lalu kembali menyerahkannya kepada Janice. “Kau bisa membawanya selama satu pekan. Minggu depan aku akan mengambilnya darimu.”
Janice melototkan matanya dengan tidak percaya.
“Sungguh? Aku benar-benar boleh meminjamnya?” Tanpa sadar Janice memekik dengan antusias.
Sekalipun tidak terlalu rajin membaca buku, kadang-kadang Janice suka membaca beberapa buku yang memiliki tema menarik, musik klasik adalah salah satunya.
“Hanya satu minggu.”
Janice tersenyum dan menganggukkan kepala. “Satu minggu sudah lebih dari cukup untukku.” Jawabnya sambil memeluk buku yang Julian berikan.
“Baiklah.” Julian membereskan beberapa barang miliknya lalu mengemas semuanya ke dalam tas hitamnya.
“Kau akan pulang?” Janice menatap Julian dan tangga rumahnya secara bergantian.
Biasanya Julian dan Jacob akan datang dan pulang bersama. Jika Jacob masih sibuk membujuk Callista yang sedang merajuk, bukankah seharusnya Julian tetap duduk di ruang santai untuk menunggu Jacob?
“Tidak, aku akan pergi ke taman bunga Bibiku.” Julian mengeluarkan ponsel miliknya.
Janice menatap dengan takjub, sekalipun orang tuanya mampu memberikan ponsel, Janice masih belum cukup umur untuk memiliki benda tersebut. Sesekali Janice akan mengintip Callista yang sibuk memainkan berbagai macam game di ponselnya, tapi Callista tidak pernah membiarkan Janice menyentuh ponsel miliknya.
Melihat Julian memainkan ponsel dengan sibuk membuat Janice merasa penasaran. Apakah Julian juga memiliki game seperti Callista?
“Aku tidak pernah melihatmu menggunakan ponsel. Kupikir kau tidak punya ponsel.” Janice berbicara sambil mengekor Julian yang sedang berjalan menuju ke pintu depan.
Julian terkekeh pelan. “Tentu saja aku punya. Ponsel menjadi benda paling penting belakangan ini.”
Janice mengangguk dengan paham. Ayah dan ibunya juga berkata demikian, tapi mereka tetap melarang Janice memiliki benda tersebut sebelum usianya 17 tahun. Kata mereka, radiasi dari layar ponsel terlalu berbahaya untuk anak dibawah umur.
“Jadi kau akan meninggalkan Jacob? Sepertinya dia masih berada di lantai dua bersama dengan kakakku.” Janice berhenti di ujung pintu karena Julian juga berhenti melangkah. Sepertinya pemuda itu sedang menunggu mobil jemputannya yang masih di parkir garasi rumah Janice.
“Jacob tidak suka berkebun. Biarkan dia di sini bersama Callista.”
Janice kembali mengangguk. Ia memilin kedua jarinya, sedang menimang sebuah rencana yang tiba-tiba terpikir olehnya.
“Apakah aku boleh ikut berkebun? Aku suka pada tanaman.” Janice menatap dengan ragu.
Mengingat jika selama ini ia tidak terlalu akrab dengan Julian, sepertinya wajar jika pemuda itu menolak Janice untuk ikut dengannya. Julian pasti tidak nyaman jika harus mengajak seorang anak kecil sepertinya.
“Kau tidak keberatan pada cacing dan serangga?”
Tanpa Janice duga, Julian justru mempertimbangkan keinginannya.
“Aku tidak takut pada keduanya.” Janice tersenyum antusias.
Sebuah mobil hitam melintas di depan halaman rumah Janice. Ia tidak mengenali kendaraan tersebut sehingga kemungkinan besar mobil itu bukan milik keluarganya, melainkan mobil jemputan Julian.
“Baiklah, ayo kita mengunjungi Bibiku.” Julian menggenggam tangan Janice dan menuntunnya untuk masuk ke dalam mobil.
***
Janice menatap halaman rumah Julian dengan nanar.
Tidak ada bunga, tumbuhan, atau apapun yang bisa membuat rumah itu tampak lebih hidup. Hanya ada sebuah pohon besar di sisi kiri pagar rumah. Namun sepertinya pohon tersebut tidak terlalu terawat mengingat Janice bisa melihat banyak ranting kering yang tidak dipotong dengan baik.
Rumah Julian sangat indah, Janice tidak bisa memungkiri fakta itu, namun sebagai sebuah rumah yang dibangun di tengah hutan, tempat ini terasa sangat asing. Bagaikan halaman yang terpisah dari ekosistem sekitarnya.
Janice merasa tidak percaya jika segala hal tentang Julian telah berubah dan membuatnya jadi merasa asing dengan pria itu.
Mereka pernah sedekat nadi sebelum menjauh bagaikan bumi dan matahari…
Janice menyadari fakta tersebut dengan murung.
Dulu Julian adalah orang pertama yang mengenalkan Janice pada bunga dan tumbuhan. Pemuda itu mengajari Janice banyak hal, bahkan mungkin jauh lebih banyak dari pelajaran umum yang Janice dapatkan di sekolah.
“Sejak kapan rumah ini tandus seperti padang gurun?” Janice menoleh, menatap seorang pelayan yang berjalan di belakangnya dengan ragu-ragu. Janice sempat menyuruh wanita itu untuk berjalan disisinya, tapi dia menolak dengan alasan kesopanan antara pelayan kepada majikan. Janice mengernyit bingung ketika mendengarkan alasan tersebut, tapi ia tidak banyak berkomentar.
“Saya adalah salah satu pelayan yang baru bekerja sekitar dua tahun terakhir. Semuanya sudah seperti ini sejak saya datang.” Pelayan tersebut memberikan penjelasan dengan sopan, persis seperti aturan yang sempat ia sebutkan beberapa menit yang lalu.
Janice tidak tahu siapa orang yang membuat aturan mengenai kesopanan tersebut. Tapi sepertinya di zaman modern seperti ini, tidak perlu menerapkan aturan tidak masuk akal semacam itu. Sekalipun mereka pelayan, mereka adalah manusia yang memiliki kedudukan yang sama.
Mungkin nanti Janice bisa mencoba akrab dengan beberapa pelayan mengingat jika mulai saat ini dia adalah seorang pengangguran tanpa pekerjaan yang hanya akan menghabiskan waktu di rumah sambil menantikan kepulangan suaminya. Sungguh menyedihkan mengingat jika suaminya tidak pernah menganggap Janice sebagai istri.
“Dulu Julian yang mengajariku menanam tanaman. Dia juga memberikan berbagai buku tentang jenis-jenis tanaman agar aku bisa belajar banyak hal.” Janice bergumam dengan pelan.
Pelayan yang berdiri di belakangnya tampak kebingungan, oleh sebab itu ia hanya merespon seadanya. “Itu sangat manis.”
Janice tersenyum singkat. Benar, Julian yang dulu memang sangat manis.. berbanding terbalik dengan sikap pria itu saat ini.
Mungkin pelayan yang sedang mendengarkan Janice juga tidak percaya jika Julian pernah menjadi pemuda yang manis sebelum berubah sangat drastis menjadi dingin dan tak tergapai seperti sekarang.
“Rumah ini terlihat suram, sama seperti Julian yang jarang tersenyum belakangan ini.” Janice menghembuskan napasnya. “Jika dulu dia berhasil membuat halaman rumahku dipenuhi oleh bunga yang kutanam bersamanya, kurasa sekarang waktu yang tepat untuk membalas kebaikannya.” Janice tersenyum singkat.
“Apa yang akan Nyonya lakukan?” Pelayan itu menatap Janice dengan cemas. Pasti dia juga melihat insiden perdebatan—ah, bukan—mungkin lebih tepat disebut sebagai insiden pembullyan Janice secara psikis yang dilakukan oleh Julian.
“Menanam bunga.” Janice mengedikkan bahunya.
“Sebaiknya Nyonya tidak melakukan itu mengingat jika Tuan tidak terlalu suka jika ada yang membuat perubahan di rumahnya tanpa mendapatkan izin darinya.”
Janice menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Kau benar.” Janice menghembuskan napas berulang kali. “Tapi aku tidak akan langsung membuat perubahan secara drastis. Mungkin aku bisa mulai dengan menanam satu bunga di ujung pagar, bagian yang tidak terlalu mendapatkan perhatian dari Julian.” Janice tersenyum singkat.
Membuat perubahan kecil di bagian yang tidak terlalu diperhatikan oleh Julian adalah ide yang paling tepat. Pria itu tidak akan menyadari jika Janice hanya melakukan perubahan kecil, tapi secara perlahan perubahan itu akan menghasilkan hal-hal besar yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Dan karena Julian tidak pernah memperhatikannya, Janice yakin pria itu juga tidak akan sadar jika Janice sedang mengusahakan banyak perubahan untuk pria itu. Hal itu disebut sebagai butterfly effect yang berarti sebuah hal kecil mampu membawa pengaruh besar karena tidak pernah disadari sebelumnya.