Begitu sampai di ujung gang menuju ke rumah, seseorang membukakan gerbang yang menjulang tinggi itu lalu menunduk dengan hormat ketika mobil yang Janice tungpangi melewati gerbang tersebut.
Janice sering mengernyit dengan bingung ketika mendapati para pelayan mematuhi sistem hierarki yang terdengar sedikit konyol jika diterapkan di kehidupan modern. Janice yang dulu sering bermain dan berteman dengan beberapa pelayan di rumahnya jelas merasa frustasi mendapati bahwa pelayan rumah Julian hanya akan berbicara untuk menanyakan menu makan malam. Apalagi dia selalu merasa kesepian padahal baru dua hari tinggal di rumah ini.
Langkah kaki Janice bergerak dengan pelan untuk masuk ke dalam rumah. Janice melakukan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pelayan bahwa Janice tidak perlu memencet bel melainkan tinggal membuka pintu menggunakan sidik jarinya. Ia tidak tahu bagaimana Julian bisa mendapatkan sidik jarinya, dan sepertinya Janice tidak akan membicarakan hal remeh semacam itu mengingat jika Julian tampak sangat enggan berbicara dengannya.
Sesekali Janice berpikir jika kesempatan yang Dewa berikan akan berakhir dengan sia-sia karena Janice tidak berhasil melakukan apapun.
“Oh, kau akhirnya pulang.”
Janice menolehkan kepalanya ke arah ruang santai yang berada tepat di depan kamarnya.
Pelayan mengatakan jika Julian belum pulang sehingga Janice berjalan dengan santai menuju ke kamarnya. Namun Janice lupa bertanya tentang siapa pemilik mobil merah yang terparkir di halaman rumah. Dan ternyata mobil itu milik Callista.
Janice merasa jika ia adalah saudari yang buruk karena tidak mengenali mobil kakaknya sendiri. Tapi mengingat jika mereka memang bukan saudara yang saling memperhatikan, Janice memilih untuk tidak terlalu peduli dengan perasaan bersalahanya.
“Dari mana saja kau, Janice? Bukankah seharusnya kau mengurung diri di rumah ini?” Callista bangkit berdiri sambil menggenggam gelas berisi sampanye miliknya.
Janice memperhatikan kakaknya yang entah kenapa memulai pembicaraan terlebih dahulu padahal biasanya ia selalu enggan berbicara dengan Janice.
“Mengunjungi toko bunga.” Janice menjawab dengan tenang.
Ia cukup was-was ketika mendapati bahwa hanya dirinya dan Callista di ruangan santai. Para pelayan menghilang entah kemana, sepertinya memang sengaja dilarang untuk melewati ruang santai.
Janice masih ingat hal-hal nekat apa saja yang pernah dilakukan kakaknya sejak mereka masih kecil.
“Toko bunga itu akan segera ditutup, bukan? Lalu kenapa kau masih mengunjunginya?”
Janice tidak terkejut jika kakaknya telah mengetahui semuanya. Julian jelas sudah menceritakan rencana penutupan toko bunga Janice mengingat jika mereka pasangan kekasi.
“Kau tetap terlihat sangat menyedihkan, dan aku benci mengetahui bahwa kita adalah saudara.”
Juga sudah berulang kali Callista mengatakan kalimat yang sama. Betapa dia benci karena memiliki darah yang sama dengan Janice.
Callista adalah seorang wanita mandiri, dia bisa melakukan segalanya seorang diri, bukan hanya satu atau dua hal, namun Callista mengusai semuanya dengan kedua tangannya sendiri. Kakaknya berjuang keras untuk meningkatkan kemampuan demi bisa menjadi pewaris yang berkualitas… namun tiba-tiba Janice lahir dan membuat segalanya harus dibagi menjadi dua dengan adil. Mulai dari kasih sayang orang tua, perhatian, juga banyak hal-hal kecil yang awalnya hanya tertuju untuk Callista.
Seumur hidupnya Janice telah menerima bahwa Callista tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai saingan. Namun entah kenapa rasanya masih menyakitkan ketika Callista mengatakan dengan terang-terangan jika wanita itu tidak mau mengakui keberadaannyan.
“Sayangnya kita memang saudara, kak.” Entah keberanian dari mana, tapi tiba-tiba saja mulut Janice mengatakan sebuah kalimat yang mengejutkan.
“Apa kau bilang?” Callista meradang, wanita itu menatapnya dengan marah. Lalu sedetik kemudian dan menampar pipi Janice dengan keras.
Janice memegang pipi kanannya yang terasa panas dan perih. Sekalipun seorang wanita, Callista memiliki kekuatan yang cukup untuk membuat Janice terhuyung karena tamparannya.
Janice menatap kakaknya dengan nanar.
Dulu saat ia masih kecil, saat pikirannya naif dan bodoh, Janice selalu berharap jika suatu saat nanti ia dan Callista bisa menjadi saudara yang rukun dan damai. Mereka bisa melakukan banyak hal-hal perempuan bersama seperti menggunakan riasan, memakai masker kulit, dan pergi ke salon untuk perawatan rambut. Sayangnya semua itu hanya harapan seorang gadis naif berusia 12 tahun.
Sekarang mereka sudah dewasa, bukannya membaik, hubungan mereka justru semakin buruk.
“Sekarang kau tahu dimana posisimu?” Tanya Callista dengan dingin.
Janice tidak mengerti kenapa semua orang selalu mempertanyakan eksistensinya. Janice juga manusia, ia tidak pernah memilih untuk dilahirkan sebagai saudari Callista. Bahkan jika bisa, Janice lebih memilih untuk tidak dilahirkan dari pada ia harus hidup sebagai wanita menyedihkan yang ditakdirkan untuk menerima semua caci dan makian.
Kesalahannya memang sangat fatal, tapi tidak bisakah Callista sadar dan mengingat bahwa wanita itu juga bersalah?
“Aku adalah istri Julian, dan aku tahu dimana posisiku..” Janice menjawab dengan tenang.
Callista tertawa sinis, tampak berusaha untuk menunjukkan raut jijik yang ia buat-buat.
“Kau pernah tidur dengannya?”
Janice terperanjat ketika mendengar pertanyaan itu.
“Kau tahu kemana dia pergi di malam hari?”
Julian memang selalu pulang sebelum jam makan malam, tapi Janice tidak pernah tahu apakah pria itu pergi lagi atau tidak.
“Dia selalu menemuiku..” Callista menatapnya dengan senyuman yang tersungging bagaikan sebuah kemenangan karena berhasil membuat Janice bungkam seribu bahasa.
“Dia menyukai tubuhku, oleh sebab itu ia tidak pernah bisa lepas dariku. Sementara kau? Sekalipun kau istrinya, dia tidak pernah menyentuhmu, bukan?” Callista menekan setiap kalimat sehingga membuat Janice semakin tercekat.
Sejak awal Janice tahu jika Callista dan Julian adalah dua orang dewasa yang pastinya menjalin hubungan yang dewasa juga. Namun mengetahui sendiri jika suaminya lebih memilih tidur dengan kakaknya adalah hal yang paling menyakitkan.
“Kenapa kau melakukan ini, kak?” Janice bertanya dengan getir.
Pertanyaan itu membuat Callista memberenggut dengan kesal. Wanita itu mendengus pelan lalu menatap Janice naik turun seolah sedang menilainya.
“Karena aku ingin menunjukkan dimana posisimu. Kau istrinya, bukan? Lantas kenapa dia tidak tertarik denganmu?” Callista membalik perkataan Janice dengan telak.
Janice menundukkan kepala, ia berusaha untuk tetap mendapatkan kekuatan sekalipun saat ini sudah tidak ada satupun kata yang mampu melawan Callista. Kakaknya benar.. wanita itu mengatakan hal yang benar bahwa sekalipun Julian menikahi Janice, pria itu tidak pernah tertarik dengannya.
“Sekarang kau juga harus tahu bagaimana bersikap di depanku, Janice. Suamimu adalah kekasihku, dia jelas lebih mendengarkan aku dibandingkan dirimu.” Bisik Callista dengan pelan.
Kakaknya menatap dengan senyum kemenangan, lalu kembali menurunkan tatapannya dengan tenang.
Janice menghembuskan napasnya dengan pelan, lalu ia teringat pada waktu yang Dewa berikan sehingga Janice mencoba untuk mencari peruntungan.
“Biarkan aku mengubahnya, kak. Dia hidup sangat menderita..” bisik Jenice dengan suara bergetar. Janice tidak tahu dimana dia mendapatkan keberanian, tapi mengingat jika Janice tidak memiliki banyak kesempatan, maka ia akan memanfaatkan waktunya dengan sebaik mungkin. Sekalipun ia harus kembali menerima caci dan maki dari Callista.
“Kau membicarakan tentang Julian?” Callista tersenyum mengejek.
Janice menganggukkan kepala. “Aku tidak ingin melihatnya menderita.”
“Kau memang sangat naif. Bukankah kau sendiri yang menyakitinya?” Tanya Callista.
Janice menatap kakaknya dengan getir. Kesalahannya memang sangat besar, tapi Janice melakukan semuanya dengan tidak sengaja. Jika bisa, Janice akan memutar waktu dan menghentikan perbuatan bodohnya. Namun tentu saja Janice tidak bisa… ia hanya manusia biasa yang beruntung karena Dewa menyukai suaminya sehingga Dia memberikan kesempatan kepada Janice sebelum ia harus menghadapi hukuman atas kesalahannya.
“Aku tahu, oleh sebab itu izinkan aku menebus kesalahanku.” Lagi-lagi Janice berbicara dengan suara tercekat. Napasnya terasa sesak setiap kali ia melihat betapa hebat kehancuran yang telah ia berikan kepada pria itu.
Callista memundurkan langkahnya, lalu juga menatap Janice dengan mata memerah yang tampak menahan tangis.
Selama lima tahun terakhir, Janice tidak pernah melihat Callista menangis. Bahkan mungkin seumur hidupnya, baru kali ini Janice menyaksikan Callista berusaha keras untuk menahan tangisan.
“Kau tidak pernah tahu betapa Julian sangat menderita, Janice. Pria itu menyimpan banyak luka sejak ia masih sangat muda, dan kau menambah penderitaan dengan merenggut seseorang yang sangat penting untuknya.” Callista mengusap air mata dengan punggung tangannya. Sedetik kemudian wanita itu kembali menguasai ekspresinya dengan menampilkan wajah keras seperti yang biasa ia tunjukkan.
“Apakah kau pernah ada di sampingnya selama ini? Kau pernah memikirkan betapa sulit Julian bertahan?” Callista menatap Janice dengan nanar.
Janice bergeming, mendengarkan segala hal yang Callista ucapkan untuk semakin memperdalam luka di hatinya.
“Hampir setiap malam Julian tidur dengan tidak tenang karena ia selalu memimpikan hari itu. Dia menderita seorang diri.. tapi kau jelas tidak peduli akan hal itu, bukan? Sebab sejak dulu aku mengenalmu sebagai seseorang yang selalu menghancurkan hidupku. Dan kau juga membuat Mama dan Papa menderita karena perbuatanmu! Julian berencana untuk menghancurkan mereka, oleh sebab itulah aku selalu memohon kepadanya, selalu berada di sampingnya untuk mencoba menyembuhkan hatinya. Tapi kau jelas tidak peduli dengan pengorbananku!”
Tidak! Janice tidak pernah berbuat demikian!
“Tapi lupakan tentang aku, kita sedang membicarakan Julian saat ini.” Kakaknya kembali tersenyum sinis. “Kau tahu seberapa sulit untuk mendekatinya hanya untuk membantunya melewati semua masa sulitnya selama lima tahun ini? Dia terlalu benci pada dirinya sendiri sehingga rela menghancurkan hidupnya berulang kali ini melakukan hal-hal tidak masuk akal demi keluarganya!”
Callista menarik napas dengan pelan sementara Janice masih berdiri dengan kaku di hadapannya. “Wanita yang kemarin datang bersamaku, kau mengenalnya sebagai ibunya Julian. Tapi sebenarnya wanita itu tidak jauh lebih baik dari seseorang yang egois dan tidak memiliki hati. Dia memperburuk kehidupan Julian dengan melimpahkan semua kesalahan kepadanya.”
Janice tetap bergeming, ia mendengarkan semua penjelasan Callista yang sebenarnya terasa seperti sebuah fakta menyakitkan yang kembali menghancurkan hatinya.
Seburuk apa kehidupan Julian selama ini?
“Kau tidak tahu tentang semua itu, bukan?”
Callista masih menunggu jawaban Janice, sementara bibir Janice terasa kelu hingga dia hanya diam sambil menundukkan kepala.
“Lalu kau datang dan tiba-tiba menghancurkan semua rencanaku. Apakah kau pikir aku akan diam saja? Aku berusaha keras untuk mendapatkan Julian, untuk menghiburnya agar dia memaafkan dirinya sendiri. Tapi kau justru memperburuk keadaan, Janice!” Callista mendorong Janice dengan kuat hingga ia terhuyung dan jatuh ke lantai. Janice mencoba untuk bangkit, tapi Callista menendang perutnya dan menginjaknya secara perlahan sehingga Janice menjerit kesakitan.
“Kenapa kau tidak mati saja?” Wanita itu semakin menekan injakan sepatunya di perut Janice.
Janice berpikir jika Callista tidak akan melepaskannya, namun secara tiba-tiba tubuh wanita itu mundur dengan cepat karena Julian menarik lengannya.
Julian?
Janice menatap dengan kebingungan, Julian juga meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada Callista yang sedang memberontak di dalam dekapannya.
Janice memanfaatkan waktu itu dengan berusaha bangkit berdiri dan melangkahkan kakinya untuk sedikit menjauh.
Callista menatap dengan tajam, tapi tampaknya wanita itu tidak berdaya karena Julian menahan kedua tangannya.
“Pergilah..” Gumam Julian sambil menolehkan kepala.
***
“Kau benar-benar memiliki kakak yang buruk. Lihatlah bagaimana tingkahnya yang bar-bar itu.” Ezra berjalan mondar-mandir di dalam kamar Janice.
Pria itu langsung muncul sesaat setelah Janice masuk ke dalam kamar. Dan sejak tadi ia terus mengomel karena mengeluhkan perilaku Callista.
“Dia memang seperti itu.” Jawab Janice dengan tenang.
“Sejak kalian kecil dia sudah sering menyerangmu?” Ezra menatap keheranan.
Janice mengendikkan bahunya. Jika diingat-ingat lagi, Callista memang sering menyerangnya. Terlampau sering hingga membuat Janice mendapatkan banyak bekas… entahlah. Bekas luka.
Janice menatap kaki kirinya yang sedikit bengkok. Ia bergumam pelan sambil mengusap tulang keringnya yang pernah patah beberapa tahun yang lalu. dan entah bagaimana, tulang Janice berakhir dengan kondisi yang menyedihkan hingga dia harus mengubur mimpinya sebagai seorang penari balet.
Mengingat hal tersebut membuat suasana hati Janice jadi semakin suram.
Sekalipun sudah bertahun-tahun berlalu, namun Janice masih tetap belum bisa melupakan mimpi masa kecilnya.
“Apakah orang tuamu membiarkan dia berbuat kasar seperti itu? Jika aku memiliki anak seperti kakakmu, kurasa aku akan menghukumnya setiap hari.”
Janice tertawa pelan.
“Bagaimana kau bisa tertawa di saat seperti ini?” Tanya Ezra dengan kesal.
“Mau bagaimana lagi? Selama ini aku tidak pernah mengadukan perbuatan kakakku sehingga orang tuaku tidak pernah tahu.” Janice mengendikkan bahunya.
Akhir-akhir ini Janice menyesal kenapa ia tidak pernah mengadukan perbuatan buruk Callista saat mereka masih kecil. Jika dulu Janice mengadukannya, maka Callista akan mendapatkan hukuman sehingga dia tidak berani lagi melakukan kesalahan yang sama.
Saat itu Janice terlalu naif dengan berharap jika suatu saat nanti Callista akan berubah dan menyayanginya layaknya seorang saudari.
“Kau ikut bersalah atas sikap jahatnya, Janice.” Ezra bergumam pelan.
Janice kembali menatap pria itu. “Begitukah?” Tanyanya.
“Sekalipun tidak sepenuhnya kesalahanmu, kurasa kau juga ikut bersalah karena membiarkannya melakukan perbuatan yang buruk. Anak kecil cenderung bertingkah buruk jika orang tuanya membiarkan dia tanpa memberi peringatan. Kakakmu itu pasti tidak pernah mendapatkan peringatan apapun mengingat seburuk apa tingkahnya saat ini.” Ezra memutar bola matanya.
“Aku sering merasa bersalah kepada kakakku.” Janice menundukkan kepala, mengusap perutnya yang terasa sakit karena Callista menginjaknya.
Tadi, setelah Julian menyuruh Janice pergi, ia langsung berjalan dengan lunglai untuk masuk ke dalam kamarnya tanpa mempedulikan teriakan Callista yang terus mengatakan caci maki. Julian sepertinya membawa Callista pergi karena beberapa saat setelah Janice masuk ke dalam kamar, ia melihat dari jendela jika mobil pria itu melaju meninggalkan halaman rumah.
“Apakah ini berhubungan dengan kesalahan yang kau lakukan? Yang membuat semua orang membencimu?” Ezra menyipitkan matanya, lalu sedetik kemudian pria itu menggeleng pelan. “Aku tidak ingin ikut campur dalam masalahmu.” Katanya sambil mengibaskan kedua tangan.
Sekalipun Ezra mengatakan jika pria itu tidak ingin ikut campur, entah kenapa Janice bisa melihat tatapan penasaran yang terpancar dari matanya.
“Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan masalah yang membuat mereka semua membenciku. Tapi kurasa kakakku memang sudah benci padaku sejak aku lahir.”
“Dia membenci seorang bayi yang baru lahir? Benar-benar membencimu tanpa alasan?”
Janice mengernyitkan dahi sesaat. “Jelas ada penyebabnya, tapi aku masih belum yakin apa alasan dia membenciku. Seingatku, sejak kecil kami memang tidak akrab. Aku jauh lebih dekat dengan Jacob dan Julian.”
“Siapa Jacob?”
Janice menegang, ia tidak sadar telah menyebutkan nama seorang pria itu.
Namun Janice mencoba untuk menampilkan ekspresi yang tenang sekalipun hatinya sedang tidak karuan.
Lalu ia juga memberikan jawaban dengan tenang untuk meyakinkan Ezra. “Dia adalah orang yang paling dekat dengan hatiku.”