'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya
Aku terluka, 'tak bisa dapatkan kau sepenuhnya
Aku terluka, melihat kau bermesraan dengannya
'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya
Harusnya yang kau pilih bukan dia
'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya
'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya
Harusnya yang kau pilih bukan dia
Oh...
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya
Harusnya yang kau pilih bukan dia
'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya
Aku terluka, 'tak bisa dapatkan kau sepenuhnya
Aku terluka, melihat kau bermesraan dengannya
'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya
Harusnya yang kau pilih bukan dia
'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya
'Ku 'tak bahagia, melihat kau bahagia
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya
Harusnya yang kau pilih bukan dia
Oh...
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya
Harusnya yang kau pilih bukan dia
Lagu mikha tambayong itu yang sering didengarin oleh Iqbal sesuai isi hatinya saat ini.
Semakin Iqbal ingin melupakan gadis yang telah mencuri hatinya kurang lebih enam tahun yang lalu, semakin besar pula rasa rindu yang ia miliki untuk gadis itu.
Hanya foto kenangan masa lalu yang menjadi pengobat rindunya saat ini, memikirkan gadis itu membuat Iqbal gila, ia hilang bagai ditelan bumi, bahkan untuk akun sosial media tidak ditemukan, sepertinya ia benar-benar ingin menghilang dari dunianya Iqbal.
Valencia Dilla Berlian, satu nama yang selalu mengisi hati Iqbal, yang sedikit mengubah sikap Iqbal yang petakilan menjadi lebih pendiam tapi bukan berarti ia menjadi introvert atau ice boy. Iqbal tetaplah Iqbal dengan mulut frontal yang terkadang menyebalkan.
Pria Dua puluh satu tahun itu adalah seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan arsitektur di Universitas Gadjah Mada.
Selama merantau ke Yogyakarta, Iqbal tidak pernah nge-kost karena diberi fasiliatas oleh Gavril —sang ayah— rumah minimalist yang ia huni bersama sahabatnya sejak SMP yang bernama Naufal.
Kalian masih ingat dengan Rara? Ya, gadis yang selalu membawa bekal untuk Iqbal saat SMP, sekarang mengikuti Iqbal kuliah di UGM dan menjadi adik tingkat Iqbal, hanya saja mereka berbeda fakultas. Perjuangan untuk mendapatkan hati Iqbal tak luntur hingga sekarang.
"Bal, lo ada bimbingan sama dospem jam berapa?" tanya Naufal yang menghampiri Iqbal di ruang TV.
Iqbal menatap sahabatnya yang baru selesai mandi. "Tumben lo mandi pagi, abis mimpi lo?" karena ini memang baru jam 7 pagi.
Naufal langsung melempar Iqbal dengan kulit kacang yang ada di atas meja ke wajah Iqbal. "Sembarangan, gue mah emang rajin mandi pagi. Gak kayak lo mandi pagi kalau ada keperluan doang."
"Sialan, lo. Gue nanti bimbingan jam 9-an," ucap Iqbal sekenanya.
Naufal hanya mengangguk dan menggonta-ganti channel TV, mencari yang bagus pagi ini namun nyatanya tidak ada yang menarik hanya berita, infotainment, acara musik dan juga cartoon anak-anak. Memang acara TV zaman sekarang tidak seindah zaman dulu.
"Nopal, lo ada bimbingan gak nanti?"
Naufal menggeleng. "Kagak ada, gue janjian sama doi besok."
"Dasar jones, dospem segala lo kata doi."
"Dospem gue emang cantik, masih muda. Lha dospem lo udah tua, rambutnya botak lagi,"
"Muda apaan? Umurnya seumuran sama bokap gue!" Iqbal langsung bangkit dari tempat duduknya dan tak lupa melempar bantal sofa ke wajah pas-pasan Naufal.
"Sialan lo, Bal. By the way lo dandan yang cakep ya, kan di kampus ketemu Yayang Rara." Ia sengaja menekankan kata Rara karena Iqbal pasti akan mengamuk. Lihat saja sebentar lagi Iqbal akan mengeluarkan suara toanya.
"GUE SUMPAHIN LO JONES SEUMUR HIDUP, NAUFAL ABIANSYAH."
Tawa Naufal pecah karena ia tahu betapa murkanya seorang Iqbal Navrilio Alfahreza jika dirinya membahas seorang gadis yang bernama Klayra Ardhina Ravania atau yang biasa disapa Rara itu.
***
Sesuai perjanjian, Iqbal akan menemui sang baginda raja alias dosen pembimbing yang botak, perut buncit, berbadan bulat dan kurang tinggi yang bernama Joko Mahendra atau yang akrab disapa Pak Jo, biar kelihatan gaul katanya.
Baru saja Iqbal hendak memarkirkan motor ninja putihnya, tiba-tiba seorang gadis yang sangat ingin dijauhi oleh Iqbal kini menghampirinya dengan senyuman manis terukir dibibirnya. Well, Rara memang manis.
Setelah membuka helm fullface-nya, Iqbal langsung turun dari motor dan berjalan seakan tidak melihat Rara.
"Kak Iqbal." Rara berlari menghampiri Iqbal lalu merangkulnya.
Segera Iqbal melepaskan tangan tersebut dan menatapnya tajam. "Don't touch me." Lalu berjalan begitu saja.
Sekeras apa pun usaha Rara meluluhkan hati Iqbal, tidak pernah berhasil seakan hati itu memang terkunci untuknya.
Tapi bukan Rara namanya kalau patah semangat, ia berlari ke arah Iqbal dan memegang pergelangan tangan Iqbal. "Aku bawa bekal buat Kak Iqbal."
Iqbal menghela napas dan berbalik menatap Rara dengan tatapan jengah, sungguh ia jengah diganggu terus oleh perempuan satu ini, rasanya Iqbal ingin sekali menendang Rara ke samudera atlantik agar tidak mengganggunya terus menerus.
"Lo ngerti Bahasa Indonesia, gak? Udah berapa kali gue kasih tahu, jangan buang tenaga lo cuma buat bikinin gue bekal."
"Tapi ini tanda kalau aku perhatian sama Kak Iqbal."
"Tapi gue gak butuh!"
Rara mencoba menahan air matanya setiap kali mendapat penolakan dari Iqbal, ia akan terus berusaha sampai hati Iqbal memberinya ruang sedikit saja, rasa itu terlalu besar hingga ia rela mempermalukan dirinya sendiri dengan mengejar satu cowok yang tidak mencintainya dari SMP hingga sekarang.
Rara menatap punggung Iqbal yang sudah berjalan ke depan lalu berteriak tidak peduli keadaan sekitar yang ramai. "SEKERAS APAPUN KAK IQBAL NOLAK AKU, AKU GAK AKAN NYERAH!"
Semua mata tertuju ke arah Rara, hanya ia satu-satunya gadis yang rela menjatuhkan harga dirinya hanya karena seorang cowok. Katakan Rara memang gila. Ya, ia gila karena cinta.
Iqbal menapakkan kakinya di ruang dosen mencari sosok yang dicarinya yang sedang duduk di kursi kebesarannya, seraya membaca beberapa dokumen. "Selamat pagi, Pak."
Pak Joko menengadah dan menatap Iqbal, kemudian tersenyum dan mempersilakan Iqbal duduk. Beliau ini memang terkesan ramah dan salah satu dosen yang disenangi oleh kebanyakan mahasiswa.
"Jadi begini Iqbal, saya akan melanjutkan study S3 ke luar negeri dan besok saya akan berangkat—"
Iqbal kaget dan langsung menyela ucapan Pak Joko. "Lalu bagaimana dengan skripsi saya, Pak?"
"Makanya jangan potong dulu, saya belum selesai bicara. Jadi, akan ada pengganti saya yang membimbing kamu, beliau dosen baru tapi sangat berkompeten."
Iqbal terperangah mendengar ucapan Pak Joko, ia takut kalau dospem yang akan menjadi pengganti Pak Joko adalah dosen killer yang seperti ingin memakan hidup-hidup mahasiswa bimbingannya, membayangkannya saja sudah mengerikan.
"Kalian bisa mulai bimbingan besok, saya akan atur pertemuan kalian, nanti saya w******p jam berapa dosennya bisa bimbing kamu."
"Killer gak, Pak?"
"Sepertinya iya, tapi saya rasa kamu akan betah dibimbing oleh dosen itu."
Iqbal hanya mangggut-manggut, berharap apa yang diucapkan oleh Pak Joko itu benar. "Jadi, saya gak jadi bimbingan nih, Pak?"
Pak Joko menggeleng. "Saya lagi sibuk urus keberangkatan saya."
Iqbal menghela napas. "Yah Bapak, saya kecewa lho. Saya bela-belain mandi pagi, padahal kan saya bisa irit air untuk masa depan."
"Irit air?" Pak Joko masih belum paham dengan pernyataan Iqbal.
Iqbal kembali menjelaskan. "Iya, Pak. Irit air buat anak dan cucu di masa yang akan datang."
"Kamu kan jomblo ngapain mikirin anak dan cucu?"
Kalau bukan dosen gue, udah gue sentil dah itu mulut.
"Kamu dikejar-kejar sama anak Fakultas Ekonomi yang bernama Rara itu, kan? Tapi kamu tolak."
Dasar dosen rumpi.
Iqbal mengangguk. "Karena saya masih menunggu seseorang, Pak."
"Jangan mengabaikan yang di depan mata hanya karena menunggu yang tidak pasti."
Setelah itu Iqbal pamit karena tidak mau mendengarkan perkataan sok bijak dosennya ini yang berakhir akan membuat hati Iqbal melankolis.