Musuh Lama

2998 Kata
Nabila hanya bisa tertawa mendengar pertanyaan Echa. Jujur saat ini Ferril memang masih belum tahu. Tapi nanti? Nabila tak yakin. "Sekalipun dia deketin cewek lain, kenyataan kalo dia cuma perduli sama lo itu bikin gue salut sih. Ada ya cowok kayak dia?" Echa terkekeh. Ia juga terheran-heran. "Tapi rata-rata cewek yang deket sama dia itu jauh dibandingkan gue, Bil. Apa coba yang dia cari dari gue?" Nabila menutup mulutnya. Takut tawanya menganggu. Mereka sedang dalam perjalanan. Bus sudah berjalan selama hampir setengah jam perjalanan. Perjalanan menuju Bandung tentu saja masih sangat lama. "Itu juga. Bener sih." Echa terkekeh kecil. Tak tersinggung karena kenyataannya memang begitu. "Dia lebih sepadan dengan cewek-cewek seperti itu dibandingkan sama gue." Bahkan Echa juga mengakui kalau Ferril juga akan cocok dengan Nabila yang cantik. Tapi anehnya, lelaki itu malah tertarik padanya. Apa yang lelaki itu cari? Ia tak memiliki sesuatu yang menarik. "Yaah. Berkecil hati nih?" "Gue hanya ngomong tentang kenyataan yang terjadi. Kehidupan gue sama dia itu kayak bumi dan langit. Gak mungkin bersatu. Sifat gue dan dia juga bertolak belakang." "Tapi, Cha. Justru sifat lo yang cuek kayak gini yang bakal bisa bertahan menghadapi cowok tengil kayak dia. Sekarang gue tanya, lo percaya gosip itu?" Echa spontan menggeleng. "Tuh kan." Gadis itu tertawa. "Gue tahu dia mungkin hanya temenan atau memang kayak gitu cara dia membiarkan cewek-cewek itu untuk masuk ke dalam kehidupan pribadinya." "Tuuh kan. Lo aja bisa baca si Ferril kayak gimana. Berarti lo gak raguin perasaan dia kan?" Echa menghela nafas. "Sekalipun gak ada keraguan sama dia, bukan berarti gue mau sama dia, Bil. Gak semudah itu. Gue aja pusing dengan kehidupan gue sendiri. Nikah bukan solusi untuk menyelesaikan masalah gue gitu aja." Nabila mengangguk-angguk. Benar juga. "Ya udah berarti gak ada jalan untuk Ferril nih?" Dengan mantap Echa mengangguk. "Barangkali memang belum jodohnya." Echa terkekeh mendengar itu. Usai mengobrol yang lain, Nabila memilih untuk memejamkan mata. Sementara Echa sibuk melihat jalanan yang mulai didominasi warna hijau entah pepohonan dan terkadang perkebunan. Ia berpikir banyak hal dan tidak ada urusan pernikahan di dalam kepalanya. Ia hanya ingin menuntaskan masalah ini sebisanya. Ia juga ingin memulai hidup yang baru dan melupakan apa yang sudah terjadi. Tiba-tiba terbersit untuk bekerja di luar negeri. Tentu bukan seperti pekerjaan asisten rumah tangga tapi dengan celah lain. Ia sudah mencoba mencari lowongan pekerjaan. Terdapat beberapa posisi yang bisa ia ajukan. Meski bukan di bidangnya namun ia punya misi kain jika mendapat pekerjaan di sana. Apa misinya? Ia masih mempunyai mimpi untuk bisa melanjutkan kuliah. Mungkin ia akan mencari biaya sendiri sehingga ia perlu bekerja cukup keras. Ia juga akan mencari celah lain dengan beasiswa kampus atau bekerja sebagai asisten profesor. Itu juga akan membantu. Katanya kan banyak jalan menuju Roma. Jadi ia tidak menutup diri pada setiap kesempatan yang ada dan yang bisa ia luangkan. Ia kembali melihat website-nya, namun masih belum ada murid baru yang mau memilihnya sebagai guru les. Ia menarik nafas dalam. Belajar untuk tak berkecil hati. Karena apapun yang ia alami, pastilah akan ada sesuatu yang besar dan menantinya. Ia tak tahu apa itu. Ia kembali melihat ke arah jendela. Tatapannya mengawang. Lamunan berkelana ke mana-mana. Ia sedang memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Kemudian perlahan lelah dengan pikirannya sendiri hingga akhirnya ikut memejamkan mata dan mulai terlelap. Tubuh dan otak juga butuh istirahat panjang apalagi perjalanan kali ini memang cukup panjang. @@@ Sementara itu.... "Posisi di mana?" Padahal ia baru saja merebahkan badannya. Namun mendadak harus mengenakan baju lagi dan bersiap-siap untuk berangkat. Ponselnya ia jepit dengan bahunya. Ia menyimak ucapan Farrel di seberang sana. "Gudang 571-689." Itu kode. Ferril mengiyakan. Ia segera bergegas. Kemudian berjinjit ketika harus melintasi depan kamar Bundanya atau perempuan itu akan terbangun dan memarahinya jika berangkat lagi dijam-jam seperti ini. Jam-jam di mana ia seharusnya beristirahat. Tiba di garasi mobil, ia terkaget karena Papanya sudah di sana. Lelaki itu memberikan tablet canggihnya. "Hati-hati," pesan Papanya. Ferril mengangguk. Ia segera menyalakan mesin mobil dan berangkat. Fadlan menghela nafas. Ia tahu itu adakah tugas berat. Dulu ia sering bertengkar dengan istrinya karena perempuan tak tahu apa yang ia lakukan. Meski istrinya tak pernah menduga perselingkuhan saking percayanya. Namun yang istrinya selalu ingat adalah ia yang gila kerja. Ia terpaksa seperti itu demi keamanan keluarga besar mereka. Ini bukan hanya menyangkut bisnis semata tapi keselamatan mereka semua. Ardan juga baru melintas dengan mobilnya. Ia tak mungkin mengendarai motor semalam ini. Pasti dingin sekali. Lelaki itu berpapasan dengan Ferril yang juga baru membelokan mobilnya. Di belakang sana, ada Agha yang juga mengendarai mobilnya. Disusul Ando dan Hamas. Ini adalah pengalaman pertama Hamas. Lelaki itu tentu saja terkaget-kaget. Apalagi saat harus merahasiakannya dari Anne. Terakhir, Farrel turut melintas. Ia sangat berat hati meninggalkan istrinya apalagi membiarkannya sendirian di rumah. Satu-satunya hal yang ia lakukan adalah memastikan keselamatannya. Ia tak sempat memindahkan istrinya ke rumah Bunda karena itu artinya istrinya akan terbangun dan ia malah akan susah pergi. Itu akan lebih rumit lagi. Di sisi lain, Adit juga muncul bersama Pandu. Lelaki itu sengaja ikut menyempatkan diri. Ia sering absen karena kesibukan di gedung DPR. Namun berhubung Fasha menyetujui, ia berangkat saja. Perempuan itu tentu saja tahu apa yang dilakukan oleh para sepupunya. Namun harus tutup mulut pada yang lain. Maklum lah, Fasha kan sudah lama bekerja di perusahaan ayahnya. Mana mungkin ia tak tahu? Apalagi Rain juga tergabung namun malam ini tentu saja tak diizinkan ikut. "Terlalu berisiko," begitu tutur Ayahnya. Lelaki itu menyuruh Rain untuk menyalakan laptop saja dari kamar untuk membantu para sepupunya yang lain. "Kali ini kasus apalagi, Yah?" "Masih kasus serupa. Upaya pembobolan rekening. Namun mereka mulai menganggu kita." Ya rekening yang dimaksud adalah rekening perusahaan Ardan. Mungkin dikira paling gampang. Wira lah yang pertama kali menyadari hal itu saat tadi menemukan sesuatu menempel di motor anaknya. Barangnya memang sangat kecil tapi sangat berbahaya. Itu artinya Ardan sudah lama dikuntit tapi lelaki itu tak siaga, seperti biasa. Kelengahan ini akan sangat berbahaya untuk keluarga besar mereka. Tidak sedikit pengusaha yang menjadikan bisnis sebagai ajang persaingan. Bukan saling menjadi mitra tapi malah saling menjatuhkan. Hal umum memang. Namun mereka tak mau merusak semua pencapaian ini. Terlebih jerih payah Opa saat membesarkan perusahaan ini bersama saudaranya, ayahnya Regan, Manggala. Dulu mereka adalah satu perusahaan namun kemudian dipecah dengan sengaja untuk memperluasnya. Meski tetap berada di bawah naungan yang sama, ya di-back up Manggala. Sampai sekarang pun masih sama. Apalagi Manggala memang terus meluas meski hanya Regan yang memegangnya. Ia benar-benar mewarisi ilmu bisnis ayahnya. Mungkin karena ia dijadikan tumpuan. Rain sudah standby di depan laptop. Ia melihat pergerakan para sepupunya. Kali ini mereka hanya saling terhubung dengan satu sinyal. Tak ada rapat seperti biasanya karena ini jelas mendadak dan darurat. Ferril langsung melakukan eksekusi di lapangan. Suasana memang sangat mencekam. Apalagi saat masing-masing dari mereka harus menyetir sambil mengenakan perlengkapan. Terutama rompi anti peluru untuk keamanan masing-masing. Hamas agak gugup karena ini benar-benar pertama kali untuknya namun malah dihadapkan dengan situasi yang benar-benar genting. Sementara Adit agak tegang. Karena ini sepertinya lebih parah dari yang biasanya ia hadapi. Ini jelas terlihat lebih mengerikan. Ia juga bisa merasakan suara ayah mertuanya yang tampak tegang di seberang sana. Mengirim anak dan menantu ke medan pertempuran jelas membuat mereka sangat khawatir. Bahkan Opa pun menahan jantungnya agar tak terkena serangan. Ia juga was-was. Aidan yang dibangunkan Akib diam-diam terpaksa beranjak dari tempat tidurnya dan bersegera ke rumah Opa. khawatir terjadi sesuatu dengan lelaki itu. Jadi harus diawasi. "Enam-dua." Itu kode formasi oleh Farrel. Mereka langsung berpencar pada posisi masing-masing. Mereka memang harus memahami kode ini. Kalau tidak tentu akan kacau. "Kita gak maju lagi, Bang?" Hamas heran karena mobil Ando tiba-tiba berhenti. "Ini tempat kita," tuturnya. Sejujurnya ia juga sudah lama tak keluar. Harus menjaga istri yang sedang hamil. Selain itu, pekerjaan kantornya memang sedang menggunung. Jadi ia benar-benar hanya terfokus pada kedua hal itu. Mobil Pandu juga ikut terhenti. Ia bersembunyi di belakang sebuah gudang tua. Ia tampak bersiaga. Istrinya jelas cemas hingga susah tidur dan hanya bisa memantau lewat suara. Pandu membiarkan Fasha bisa mendengar apa yang terjadi di sini. Mungkin untuk memastikan keselamatannya. "Tahan!" Itu suara Opa. Mereka langsung bersiaga. Lelaki itu tampaknya baru menerima telepon dari seseorang. Karena layarnya tampak bergetar. "Oh malam Adhi!" Suara itu tampak ramah. Opa hanya berdeham. Baginya, ini bukan lah sesuatu yang bisa dianggap santai. "Tampaknya marah ya?" ia terkekeh sendirian. "Maaf-maaf. Aku gak tahu kalau dia itu cucumu." "Jangan mengada-ada, Romi. Kau tahu pasti siapa yang coba kau hadapi." Ia terkekeh. Ia pikir bisa mengelabui. Benar-benar tak berubah. Dari dulu masih menggunakan cara yang sama. Namun jangan salah, Farrel dan yang lain tidak akan terkecoh. Diam-diam Ferril memberikan kode kepada tim lain. Mereka memang tidak maju namun bukan berarti operasi ini berhenti begitu saja bukan. Apalagi musuh yang mereka hadapi adalah musuh lawas Opa sejak zaman awal membangun perusahaan dulu. Perusahaan pesaing yang tidak kreatif dan hanya bisa meniru produk-produk yang Opa Adhi kembangkan. Yang tidak pernah bisa menarik pasar sekalipun harganya dijual dengan murah. Kualitas memang akan berbanding lurus dengan harga. Orang sudah percaya dengan kualitas jadi untuk apa mencari yang murah jika ujung-ujungnya tak berguna? Buang-buang uang saja. Lantas tim lain yang dikirim tanpa sepengetahuan siapapun itu siapa? Oh tentu saja Adit dan Agha. Ia tidak membawa Ardan karena Ardan adalah target mereka dan sengaja dipasang di depan. Makanya Wira sungguh was-was melihat posisi anaknya. Sedikit demi sedikit bantuan memang mulai datang secara diam-diam. Sementara Agha dan Adit mulai berpisah untuk menyusup. Farrel yang biasanya tak turun lapangan juga mendadak turun hari ini. Ia mengganti mobilnya dengan salah satu motor dari tim yang baru sampai. Kemudian mengenakan helm dan segera beraksi. Ia mengambil senjata di pinggangnya, seakan bersiap-siap. Hanya sekedar memastikan barang itu untuk tetap di sana. Kemudian menghitung mundur sebelum benar-benar menarik gasnya hingga sampai pada putaran terakhir stang motor itu. Agha mempercepat langkahnya. Begitu pula dengan Adit. Adit melempar sesuatu dari ujung kiri gedung. Sementara Agha melempar sesuatu dari ujung kanan gedung. Mereka harus memastikan kalau petasan kecil itu akan bersatu di tengah-tengah gedung. Begitu terdengar ledakan kecil, mereka langsung melempar tali tempel ke arah dinding dan memanjat ala manusia laba-laba. Keriuhan itu mengundang banyak mata melihat. Hingga mereka langsung bersiaga. Satu per satu suara tembakan terdengar. Agha dan Adit terus menghindar hingga berada di bagian atas gedung kemudian kembali melempar sesuatu yang lebih besar dan membuat mereka kocar-kacir. Dalam sepersekian detik, tubuh Agha dan Adit ikut terpental bersama ledakan. Disaat itu lah, tali dilempar dari helikopter yang datang begitu cepat untuk menghindari ledakan dan menarik kedua orang yang sedang melayang itu. Begitu tertangkap, segera ditarik ke atas. Sementara itu, Ferril bergerak maju karena Ardan yang berdiri tak jauh dari gedung itu mulai dikepung. Ia sudah tahu kalau jumlah mereka tak sebanding malam ini karena mereka menghantam habis markasnya. Karena bagi mereka, ini adalah peringatan. Menganggu berarti memulai titik api. Jadi jangan salah kan mereka jika mereka bergerak lebih cepat dari itu. Dan disaat Ardan hendak ditembakkan, Farrel muncul dengan motornya yang baru saja melayang dan menembak habis semua orang yang ada di sekitar Ardan. Kaki Ardan sampai lemas. Ini jelas menegangkan. Disaat Ardan hampir roboh ini lah, Ando langsung menginjak pedal gas. Hamas bersiap membuka pintu belakang. Ia sudah berpindah posisi di sana dan langsung menarik tubuh Ardan. Ando mengendarai mobil tanpa berhenti. Terakhir, Pandu datang dengan tim media yang membuat perlawanan dari mereka berakhir. Tim media kantor tentu saja. Mereka bisa membuat berita ini dengan sekehendak hati mereka. Namun urusan pertama yang harus mereka hadapi adalah berhadapan dengan pemerintah. Pandu sudah menyiapkan laporan yang akan ia lempar ke pihak pengawas. "You! Out!" Ferril menitahkan siapapun yang memimpin operasi untuk membobol perusahaan Opanya untuk keluar. Seorang perempuan di kejauhan sana tampak terpukau dengan gaya keren Ferril yang malam ini tampak dingin dan mengerikan. Tidak seperti biasanya yang tampak tengil. "Ganteng juga," tuturnya. "Gue kira hanya cowok playboy biasa. Ternyata punya skill yang berbeda. Dia pemimpinnya huh?" Ia masih memantau dengan melipat kedua tangan di depan d**a. Melihat gerak tubuh Ferril. Lalu terkaget saat menoleh ke arah kiri. "Apa yang kamu lakukan di sini? Cepat pergi!" Ia mendesis. Kemudian bersegera kabur sebelum ikut terkepung seperti yang lain. Hanya sedikit yang bisa kabur dari operasi kali ini. Dari dua ribu orang yang memenuhi gedung tua itu, yang tersisa hanya tiga ratus. Jumlah yang masih banyak sebetulnya. Tapi yang berhasil kabur ada sekitar 40 orang. Bagi Ferril, persoalan ini bukan soal jumlah. Sekalipun hanya satu orang yang bisa kabur, tentu saja akan sangat berbahaya. "Oke! Oke! Damai, Adhi!" Lelaki tua itu benar-benar menyerah. Namun Opa juga tak akan percaya begitu saja. Dari apa yang lelaki llitu lakukan hingga sekarang. Ia curiga kalau afiliasinya semakin banyak saat ini. Tak semua pengusaha itu bersih. Ada banyak pengusaha kotor. Terlebih menghadapi pesaing yang lebih sukses. Tentu saja tidak bubar begitu saja. Mereka sudah memusnahkan banyak hal. Tapi bukan berarti otaknya juga ikut musnah kan? Maka pekerjaan selanjutnya adalah mengepung gedung ini dan mereka bergerak memeriksa semua data tanpa ada perlawanan dari mereka. Ferril menyerahkan urusan itu kepada timnya. Ia dan para sepupunya kembali ke markas. Ardan masih belum bisa menghilangkan syok ketika harus berdiri sendirian di depan gedung itu. Jelas itu mengumpan nyawa. Namun itu ide Ferril. Itu pertanda kalau Ferril serius dengan apa yang ia lakukan. Makanya ia hajar semuanya. Mereka tak membunuh. Ledakan tadi tak membuat mati karena dibuat bukan dari bahan beracun. Mereka hanya akan pingsan setidaknya selama lima hingga sepuluh jam. Tergantung dosis yang mereka hirup. Farrel juga tak membunuh. Tembakannya memang tembakan bius. Makanya mereka langsung tepar. Sekali tembak, bisa menghantam lebih dari tiga puluh orang. Peluru itu akan tersebar begitu ditembakkan. Tak menghajar Ardan yang berada di tengah-tengah sana karena lelaki itu lengkap mengenakan pelindung. Tentu saja tidak ada korban jiwa jadinya. Ferril merebahkan tubuhnya ke atas sofa. Hamas dan Ando memapah Ardan yang masih lemas. Yang lain muncul lantas ikut duduk di sofa. Berselonjoran kaki saking lelahnya. Mereka bahkan tak cukup istirahat. Operasi ini memakan waktu hingga hampir lima jam sejak jam sebelas malam tadi. Itu tandanya, ini hampir Subuh. "Rain bilang kalau mereka memang belum berhasil membobol. Chip itu sudah ditaruh sejak dua hari yang lalu." Ferril mengangguk-angguk. Rain menghubungi Adit karena yang lain tak mengangkat telepon. Mereka bahkan baru saja merebahkan tubuh saking masih lelahnya. Ferril menekan speaker sehingga suara Rain muncul lebih besar. Langsung terhubung ke speaker ruangan itu namun yang punya akses hanya lah Ferril. Hanya dengan satu jempolnya. "Mereka berencana mencuri data-data perusahaan. Ya modus lama. Ingin mencuri produk terbaru perusahaan kita." "Mata-mata di kantor ada?" Rain berdeham. "Namanya udah gue kirim ke bagian SDM. Besok langsung eksekusi aja." Ferril mengiyakan. Rain bekerja keras demi ini semua. Wira yang mengirim chip itu padanya usai di-scan menggunakan sebuah aplikasi. "Bersihkan sisanya, Rain. Waspadai apa yang mungkin terjadi." Rain mengiyakan. Ia mau-mau saja diperintah Ferril berhubung mereka sedang bekerja. Kalau di luar itu, jangan harap. Hahaha. Sementara iru, Ferril mengalihkan tatapannya pada Farrel. "Apa rencana lo, Bang?" "Lihat keputusan Opa. Tapi kita tetap harus jalan eksekusi." "Kita hajar aja." Yeah seperti biasa, Ferril selalu tidak sabar jika menghadapi masalah yang berulang. "Mau sampai kapan kita bernurani begini?" Farrel menghela nafas. "Kadang diperlukan," tuturnya. Itu tandanya tak perlu ada perdebatan. Mereka harus patuh pada Opa karena keputusan tetap di tangannya. Ferril mengangguk-angguk. Memang harus mengalah kalau sudah seperti ini. @@@ "Kau tahu Romi, urusan dengan Fiandra sudah lama selesai," tukasnya. Awalnya memang penuh ketegangan. Karena Opa Adhi jelas marah jika berurusan dengan keluarganya. Menyentil ketentraman berarti mengibarkan bendera perang. "Romi?" Suara Oma bergema. Opa Adhi dan Aidan sama-sama kaget. Mereka tak tahu kalau Oma terbangun bahkan sudah duduk di atas kursi rodanya. Perempuan itu hendak mengambil minum di dapur. Awalnya tak begitu memerhatikan kehadiran Opa Adhi dan Aidan di sudut ruang keluarga yang gelap karena memang minim cahaya dan penglihatan Oma memang sudah agak layu. Jadi tak begitu tajam lagi. Namun mendengar nama Romi jelas tak asing baginya. Romi tertawa di seberang sana. Ia langsung memanggil Oma tapi Opa langsung menutup suara itu agar tak terdengar oleh Oma. "Kartu remi Oma," sahut Aidan dan entah kenapa alasannya konyol semacam itu. Opa terkekeh tanpa suara. Oma geleng-geleng kepala. "Ngapain pula kalian memainkan kartu malam-malam begini?" tuturnya lantas balik badan dan bersegera ke dapur. Opa menghela nafas lega. Begitu pula dengan Aidan. Opa segera memasang telepon di telinganya. "Kita perlu bicara nanti," tukasnya. "Ingat kau. Ini terakhir. Tidak ada istilah pengampunan karena kau sudah berani mengusik ketenangan keluargaku." Opa selalu tak lupa mengancam kemudian mematikan telepon. Ia menitahkan agar Aidan segera tidur. Sementara ia juga hendak kembali ke kamar begitu istrinya bergerak ke kamar dengan secangkir air. "Ke mana lagi cucu-cucumu malam ini?" Oma tentu saja tahu. Ia selalu tahu wajah gelisah Opa Adhi. Sama seperti saat mengirim ketiga anak lelakinya dulu. Namun bebannya kali ini jelas lebih besar. Karena jumlah cucunya lebih banyak. Dan lagi, pertanyaan itu jelas terdengar sangat senewen. "Kamu mati di tanganku kalau satu dari mereka terluka." Dan ini adalah ancaman yang lebih mengerikan bagi Opa Adhi dari segala ancaman hidup yang pernah ia terima selama membesarkan perusahaannya. Ia hanya bisa terkekeh. Ya, harus dengan kata-kata apa ia menenangkan Oma? Tak berguna. Perempuan itu terlalu tahu tentangnya. Mereka sudah lama hidup bersama. Sementara itu, Aidan baru saja melapor pada Ferril kalau ia sudah bisa beristirahat. Itu tandanya Opa juga sudah bergerak tidur. "Beres," tukasnya. Ia memberi kode kepada para sepupunya yang ingin beristirahat. Tapi begitu menoleh ke arah kiri dan kanan, hanya suara dengkuran yang terdengar. Mereka sudah lebih dulu terlelap disaat ia tadi masih sibuk memantau dengan ponselnya. Ia menggelengkan kepala. Ia tahu kalau mereka semua sangat lelah dengan urusan ini. Seperti tak ada ujungnya. Ia juga mengambil tidur meski hanya sekian menit karena Farrel membangunkannya. Sudah waktu Subuh dan mereka harus menunaikan solat dalam keadaan apapun. Meski nyawa terancam sekalipun, kewajiban yang satu ini tetap harus dilaksanakan. Usai solat, ia masih berusaha untuk membuka matanya sesaat. Ia duduk di atas sofa sambil menyelonjorkan kakinya. Jemarinya mengetik sesuatu, hanya sekedar untuk menyapa seseorang di kejauhan sana. Pagi, Beeyb. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN