Bab 9

1242 Kata
"Secepat itu, Pah?" tanyaku padanya. "Belum, malam ini baru ada jadwal ketemu dengan saudara Bu Desti asal dari Lampung." Mas Arlan kembali menautkan kedua alisnya, lalu membasahi bibirnya. "Emm, maaf, Pah, apa itu Tante Dian dan Om Khalil?" tanya Mas Arlan langsung menebak. Sebab Om dan tantenya sore ini memang berencana ke Jakarta. "Ya, betul, mereka ke Jakarta karena Papa yang suruh, dan bertepatan dengan pernikahan adikmu," jawab papa. "Sebenarnya Om juga mau bahas soal kakak kamu, Arlan," sambung Om Farhan sambil menyentuh bahu suamiku. Mas Arlan tersenyum. "Sebenarnya bukannya saya sok suci, Om. Meskipun kami saudara, tapi rasanya tidak etis kalau saya ikut campur dalam rumah tangganya, soal perselingkuhan Mas Gerry, sejujurnya saya sudah tahu, tapi memilih diam," terang Mas Arlan membuatku terkejut. Ia tidak pernah cerita padaku tentang hal ini, sebegitu rapatnya suamiku menyimpan aib saudaranya, begitu tidak inginnya suamiku ikut campur urusan orang lain meskipun kakaknya sendiri. "Tapi, Mas, kakakmu itu salah, wajib kamu luruskan," cetusku. "Luruskan pada Mas Gerry, itu sudah aku lakukan, Sayang. Memperingatkan orang yang salah jalan tentu sudah jadi kewajiban, tapi kalau dianya tidak peduli, mau bagaimana? Mas nggak mau kamu disebut perusak rumah tangganya, makanya jangan jadikan ini sebagai adu domba ya, biarkan alam yang mengungkap semua, kan bangkai serapat apa pun pasti tercium," tutur Mas Arlan selalu menyejukkan, pribadinya tidak pernah kasar dalam menasihati. "Sudah-sudah, kita bahas Bu Desti juga nanti lagi ya, setelah Papa bertemu dengan Om kamu, Arlan. Maaf kali ini bukan mau ikut campur, hanya ingin tahu saja kenapa Bu Desti membedakan kamu dan Gerry. Juga satu lagi yang ingin Papa sampaikan, Arlan, menurut berita yang kudengar, namamu itu dihapus dalam warisan oleh Bu Desti," terang papa lagi. Mas Arlan menghela napas berat sambil memejamkan matanya. Kali ini kuteliti wajahnya, ada kekecewaan yang terpancar saat ia memejamkan matanya. "Kalau iya Mama seperti itu, berati memang berita tentang aku bukan anaknya adalah benar," celetuk Mas Arlan. Aku mengelus bahunya, aku tahu ini hal yang menyakitkan. Bukan nominalnya, tapi caranya itu yang menyesakkan d**a. Om Farhan aku berikan isyarat untuk tidak membicarakan masalah Mas Gerry lagi yang akan bertemu dengan selingkuhannya malam ini. Dengan cepat Om Farhan pun mengangguk seraya paham dengan isyarat yang kuberikan. Kemudian, aku dan Mas Arlan pamit untuk pulang. Sebab, jam telah menunjukkan pukul sebelas siang. Papa tidak menawarkan mobilnya karena khawatir Mas Arlan tersinggung dengan ucapannya. Sebab, papa dan mama bilang orang yang menikah dengan wanita di atasnya rentan tersinggung jika masalah harta. Aku harus lebih hati-hati untuk tidak menyakiti Mas Arlan. "Kamu serius rela naik motor seperti ini? Kepanasan siang-siang," tanya Mas Arlan saat sepeda motornya mulai melaju kencang. "Sama aja, Mas, yang penting aku ada di dekat kamu terus," jawabku berteriak, karena hembusan angin dan suara lalu lalang kendaraan membuat tidak kedengaran saat bicara. Mas Arlan pun mengusap lembut pipi ini dengan tangan kirinya. Rasanya selalu dibuat meleleh hati ini dengan perlakuan dan sikapnya. Kami hampir tiba di gang dekat rumah, tiba-tiba mobil melintasi jalan becek sisa hujan tadi pagi. Cipratan pun mengenai celana kami berdua. Mas Arlan berhenti seketika mengusap kotoran yang ada di kakiku. "Woy! Baru punya mobil ya!" teriakku kesal. Dari merk mobil dan warnanya seperti aku kenal. Mereka pun sengaja berhenti dan membuka kaca jendela. Ternyata dua orang kaya yang baru merasakan punya mobil. "Kasihan banget sih, kotor ya? Makanya beli mobil dong, kerja bertahun-tahun belum punya mobil," ejek Mbak Dila sambil tersenyum sinis. Kaca jendela pun terbuka hanya setengah seraya berniat hanya mengejek. Aku menghela napas kasar, namun Mas Arlan menggenggam tangan seperti melarangku untuk meladeninya. "Susah ngomong sama OKB, bukan level saya!" teriakku. "Nilam," lirih Mas Arlan berbisik di telingaku. "Jangan ladeni ya," pintanya. "Iri bilang, Bos!" Mbak Dila dan Mas Gerry tertawa serempak di dalam mobil lalu menutup kaca jendelanya kembali. Mereka maju lebih dulu masuk gang, sedangkan kami memilih di belakangnya. Ada rasa kesal yang menggebu-gebu di hati ini. Namun, aku menahannya hanya demi menghormati Mas Arlan. Setibanya di rumah, aku masuk dengan pasang wajah cemberut, karena kaki dan sandal jadi kotor akibat ulahnya kakak ipar. Jalan pun aku hentakan ke dalam, Mas Arlan menyusulku dari belakang. Mama Desti yang sedang menyiapkan makan siang pun keluar dari dapur setelah mendengar suara deru motor terparkir di halaman. "Loh loh, istrimu kenapa itu merengut? Nyari perhatian kamu ya, Kan?" Mama Desti bertanya pada Mas Arlan yang sedang mengekor langkahku. Aku tak peduli, masuk ke dalam hanya mencium tangannya saja lalu jalan kembali menuju kamar. Begitu juga dengan Mas Arlan, ia melakukan hal yang sama sepertiku. "Mama tanya bukan dijawab malah pada nyelonong. Dasar pasangan aneh," gerutu mama kedengaran sampai telingaku. Setibanya di kamar, Mas Arlan ke kamar mandi dan ganti baju duluan, sedangkan aku masih duduk di atas ranjang dengan kaki yang masih ada sisa cipratan air kubangan tadi. Selepas dari kamar mandi, aku mengerutkan dahi karena melihat Mas Arlan membawa handuk kecil dan baskom berisikan air. Lalu ia berlutut di bawah kakiku. "Loh kamu mau ngapain, Mas? Kok sujud segala?" tanyaku keheranan. "Sudah, kamu diam di ranjang ya," jawabnya. Setelah itu handuknya dimasukkan ke dalam air dan membasuh kakiku, ia membersihkan kaki yang kena cipratan air kubangan. Aku terenyuh dalam perlakuannya, diam tapi bertindak yang membuatku tidak bisa marah padanya. Padahal aku cemberut tadi karena kesal Mas Arlan yang terlalu sabar dengan sikap iparnya. Namun, lagi-lagi laki-laki yang sedang membasuh kakiku meluluhkan hati ini. "Sudah bersih, sekarang kita makan siang yuk, Mama dan yang lainnya sudah nunggu," ajak Mas Arlan. "Ada OKB?" tanyaku. "Ada, kita makan jangan bicara, kalau dia nyerocos biarkan aja," pesan Mas Arlan sambil meraih tanganku lalu menggandeng ke ruang makan. Aku berhenti sejenak hanya untuk mengucapkan terima kasih padanya. Namun, lagi-lagi ada kata-kata yang membuatku tersentuh keluar dari mulutnya. "Dalam hubungan suami-isteri, kata maaf tidak berlaku pada istri, kan suami selalu salah," ejeknya membuat jari ini seketika menggelitik perutnya. Kami pun tertawa sambil melangkah ke arah ruang makan. "Udah baikan nih kayaknya, perasaan tadi marahan kalian berdua," sindir mama mertua. "Oh tadi ribut ya, Mah? Berantem mulu, kayak kami dong berdua akur terus ya, Mas," celetuk Mbak Dila membandingkan kehidupannya. "Kalian itu apa yang diributkan? Belum punya anak ya nikmatin dong kayak kita," sambung Mas Gerry. "Kurang piknik dia, Mas," ucap Mbak Dila membuat selera makan siangku hilang seketika. Mereka bicara tanpa menyaring lagi, seenaknya mulut saja. Mas Arlan memilih ambil piring, lalu menyendoki aku nasi dan lauk. Sebab, sedari tadi ia melihat aku terdiam tanpa pergerakan ingin makan. Bagaimana mau makan, sudah kenyang duluan mendengar mereka bicara. "Oh iya, nanti malam suamiku ada meeting dong dengan bos besar, coba Arlan seperti Mas Gerry, tentu sudah bikin kamu bahagia, Nilam, dibelikan rumah dan mobil. Sayangnya nasib Arlan tidak seberuntung Mas Gerry," terang Mbak Dila dengan bangganya bicara soal meeting. Padahal, suaminya bukan ada urusan kantor, apalagi meeting. Kasihan juga wanita sombong itu dibodohi oleh suaminya, dan mama mertuaku pun menimpali kesombongannya. "Oh ya, hebat ya anak Mama, meeting terus pasti dapat bonus gede nantinya itu Gerry," balas mama mertua memuji anaknya. Rasanya aku muak dengan sanjungan yang kudengar. "Iya, aku meeting diperkirakan sampai jam dua pagi, aku meeting berempat di ...." "Di Apartemen Pandawa nomor 147," sambungku sambil tersenyum dan mengangkat kedua alis, aku sengaja memotong pembicaraan Mas Gerry ketika ia hendak bicara di mana lokasi meetingnya. Biar sekalian ia tidak bisa berkelit lagi di hadapan istrinya, Mbak Dila pun tentu malu karena aku mengetahui lokasi meetingnya. Mata Mas Gerry membulat, bahunya menghadap ke arah istrinya, sesekali juga dihadapkan ke arah sang mama. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN