Rasa Penasaran
Xena Karyl keluar dari ruang Direktorat Pendidikan Kampus dengan raut wajah lesu. Gadis berusia 21 tahun itu baru saja mengurus surat keterlambatan membayar uang kuliah. Dan kini, dia harus lanjut mengurus semuanya di loket keuangan rektorat di lantai dua.
Raut wajahnya benar-benar terlihat seperti banyak pikiran. Bahkan nampak seperti orang yang sedang tertekan. Bagaimana tidak? Berulang kali dia mengalami keterlambatan dalam membayar uang kuliahnya.
“Saya harap, ini yang terakhir kali kau terlambat membayar uang kuliah, Xena. Sudah sering sekali pihak kampus memberikan kelonggaran untukmu. Jadi tolong jangan dianggap enteng. Sekali dua kali tidak masalah, tapi kau sudah berulang kali mengalami keterlambatan. Ini yang terakhir ya Xena, tidak ada toleransi lagi setelah ini.”
Kepala Xena semakin pusing tatkala perkataan Miss Jena kembali terlintas dalam pikirannya.
Xena benar-benar mengalami perubahan yang sangat drastis semenjak kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan tunggal tahun lalu. Tidak ada harta yang tersisa, sebab entah mengapa semua aset milik keluarganya disita oleh pihak bank. Xena tak punya sedikit pun tabungan sejak awal.
Gadis itu dipaksa untuk berdiri di atas kedua kakinya sendiri sejak hari nahas itu terjadi. Xena juga kerap kali menangis karena terlalu lelah dengan keadaan. Dia sudah bekerja paruh waktu di sebuah cafe, dan mengambil job bermain piano jika libur, tapi tetap saja uang yang dia dapatkan tidak pernah mencukupi.
Xena sadar betul jika pengeluarannya sangat banyak. Harus di bagi merata dan itu tetap saja masih kurang. Bukannya tidak bersyukur dengan apa yang sudah ada, tapi memang benar-benar apa yang dia dapatkan tidak bisa mencukupi kebutuhannya.
“Xena!”
Puan yang baru saja turun dari lantai dua, lekas menoleh ke sumber suara. Xena menerbitkan senyum pada temannya yang saat ini tengah berlari cepat ke arahnya.
“Astaga, pelan-pelan Lauren! Kau ini benar-benar ya!”
Lauren hanya menyengir kuda, sebab sudah menjadi kebiasaannya yang suka berlari terburu-buru seperti ini.
“Dari mana kau? Rosie mencarimu tadi.”
“Rosie mencariku? Kenapa dia tidak kirim pesan saja padaku?”
“Dia bilang sudah mengirim pesan padamu. Tapi belum juga kau balas-balas. Sekarang dia sudah pulang duluan, entah siapa tadi yang menjemputnya. Pakai mobil Sedan.”
“Mungkin saja itu kekasihnya.” sahut Xena santai. Benar-benar tidak punya pikiran buruk sama sekali. Berbanding terbalik dengan Lauren yang sedikit-sedikit selalu curigaan.
“Ah, mana mungkin kekasih? Rosie saja tiap hari bilang ingin punya kekasih kok. Dia itu masih sendiri, belum ada kekasih, Xena! Atau jangan-jangan itu—simpanannya? Maksudku, semacam sugar Daddy?”
“Astaga Lauren, jangan curigaan begitu. Mungkin saja itu kekasih barunya. Karena masih baru, dia belum sempat memperkenalkan kekasihnya padamu.”
Lauren menghela napas pelan seraya menatap Xena yang selalu saja positif thinking.
“Pernah tidak sih Xen, sekali saja kau curigaan pada orang? Kenapa selalu positif vibes begini sih? Kan jadinya terlalu kelihatan jika kau ini salah masuk circle!”
Baru saja Xena hendak menyahuti, Lauren sudah lebih dulu kembali melanjutkan ucapannya. “Sudah lupakan saja. Ngomong-ngomong, kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Xena. Dari mana kau?”
“Ah, itu... Lau, aku harus pergi sekarang. Sudah waktunya aku pergi ke kafe.”
“Loh? Tapi Xen—”
“Aku tidak mau sampai telat. Kita bicara besok lagi ya, bye!”
Xena bergegas pergi, berlari meninggalkan Lauren yang masih berdiri di tempatnya saat ini. Sungguh, Bukan maksud hati ingin meninggalkan Lauren, tapi Xena tidak mau jika nantinya ditanya-tanya lagi.
Jika sampai Lauren tau, dia baru saja selesai mengurus keterlambatan membayar uang kuliah, pasti Lauren akan marah padanya. Ya, pasti marah karena tidak mau jujur jika membutuhkan uang.
Sumpah demi Tuhan, Xena malu jika harus merepotkan Lauren. Temannya yang satu itu sudah terlalu baik padanya. Rasanya tidak enak hati dan terkesan tidak tau diri jika dia tetap meminta bantuan pada Lauren.
+++
Setibanya di kafe tempatnya bekerja paruh waktu, Xena langsung masuk ke ruangan khusus karyawan untuk berganti pakaian.
Masih ada sedikit waktu yang tersisa, sebelum dia benar-benar bekerja. Maka dari itu, Xena menyempatkan diri untuk mengisi perutnya dengan satu buah apel.
Gadis itu duduk di dekat jendela yang pemandangannya langsung ke area depan kafe. Xena diam-diam memperhatikan Martha yang baru saja keluar dari sebuah mobil yang dia ketahui adalah Aston Martin, yang harganya bisa mencapai 46 miliar. Termasuk harga yang fantastis dan bikin geleng-geleng kepala.
Rasa penasaran Xena pada rekan kerjanya tersebut semakin besar saja setelah melihatnya di antar oleh seseorang menggunakan mobil mewah.
Sebenarnya, sudah beberapa kali dia memperhatikan Martha yang seolah tidak pernah kekurangan uang. Gayanya semakin hari juga semakin berubah. Belum lagi barang-barang milik Martha seperti tas, jam tangan, kalung, dan cincin, selalu dari brand yang terkenal. Bahkan jika dilihat-lihat, Martha juga semakin cantik.
Padahal saat awal-awal bekerja, Martha sempat mengeluh juga sepertinya jika kerja menjadi pelayan apalagi part time begini, gajinya tidak mencukupi. Memang sih, Martha masih punya keluarga, tapi jika Xena pikir-pikir lagi, sepertinya tidak mungkin dalam waktu singkat Martha bisa membeli apa saja yang di inginkan.
“Oh, Xena? Aku pikir siapa yang duduk di pojokan. Ternyata kau rupanya.” seru Martha. “Tumben sekali kau datang lebih awal? Biasanya selalu mepet jam kerja.”
“Pulang lebih awal tadi dari kampus. Jadi bisa berangkat lebih awal ke kafe.”
“Oh...” sahut Martha ber-oh ria, seraya menganggukkan kepalanya mengerti.
Xena menggigit bibir bawahnya sembari berpikir untuk menanyakan sesuatu pada Martha. Rasa penasarannya benar-benar begitu besar. Tapi masih maju mundur karena takut jika Martha tidak nyaman dengan pertanyaannya.
“Kau kenapa Xen? Ada sesuatu yang sedang kau pikirkan?”
“Hah? Tidak, tidak ada.” jawab Xena sembari menggelengkan kepalanya. Lalu, dia mulai memberanikan diri untuk bertanya, selagi momennya saat ini pas. “Itu tadi, kau di antar siapa? Mobilnya keren.”
“Kau melihatnya?” tanya balik Martha dan Xena mengangguk. “Itu hanya teman.”
“Teman? Aku kira kekasihmu. Atau memang benar kekasihmu ya Martha?”
Martha terkekeh begitu mendengarnya. Dia yakin sekali jika Xena sedang berusaha untuk memancingnya. Rasa penasaran Xena jelas terlihat dari tatapan kedua matanya.
“Bagaimana bisa kau beranggapan jika orang yang mengantarku tadi adalah kekasihku? Padahal aku sama sekali tidak pernah bilang jika punya kekasih.”
“Hanya menebak saja. Jika pun benar, bukannya bagus ya? Aku lihat-lihat, kau punya banyak barang-barang baru. Dari pria itu juga? Jujur saja jika memang dia kekasihmu.”
“Astaga Xena, jika aku punya kekasih yang modelan begitu, tentu saja sudah aku pamerkan di semua sosial mediaku. Aku kenalkan juga pada teman-temanku jika aku punya kekasih tajir melintir. Tapi sayangnya dia itu hanya teman.”
Lalu tak berselang lama, Martha kembali melanjutkan, “teman tidur maksudnya.”
“Hah?”