The King Of Vampire

1121 Kata
Begini lah manusia, Tuhan sudah menancapkan logika secara sempurna di kepalanya. Tapi kemampuan daya pikirnya masih begitu-begitu saja, seolah tak berguna. Salah satu bentuk dari ketidak-bergunaan tersebut, ialah penyamaran yang terkesan sangat payah. Sampai-sampai anak kecil yang sedang menjilati es krim contong di depan butik, spontan menarik rok ibunya. Si kecil berpita merah tampak ngeri melihat seonggok manusia aneh yang berjalan jingkat-jingkat, menciptakan polusi mata. Bentukan tersebut tidak lain, ialah pemuda bernama Anton yang kini sedang menjalankan misi ter-mubazir seantero negeri, parahnya merasa mirip Elvis Presley. Ia mengenakan kacamata hitam keramat hasil mengutil tanpa izin -milik pak Yosan-, dari laci mobil. Matanya awas melirik ke kanan dan ke kiri sambil menurunkan sepasang bulatan hitam dari garis hidungnya. Jangan tanya bagaimana dia melengkapi gaya Elvis Presley nya, tentu saja disertai jaket Levis biru dongker dengan kerah dinaikkan ke atas. Sejujurnya, hal tersebut membuatnya lebih mirip the king of vampire daripada the king of rock n roll. Dan semua itu belum seberapa dibandingkan bau-bau menyengat yang menguar dari dirinya. Ini bukan sengatan bau wangi, akan tetapi bebauan ampuh yang mendorong orang lain mencari-cari asal muasalnya. Orang tersebut ialah bapak-bapak berkumis lebat. Ujung kumisnya menukik, berputar-putar mirip seorang ksatria yang bisa terbang akan tetapi kalah oleh panah Kunta. Sayangnya, Anton bukan Karna dalam pewayangan legenda seni tradisional dataran Jawa. Dia hanya lah anak muda yang sedang menjalankan penyamaran. Penyamaran yang berujung tatapan tajam. Saking tajamnya tatapan mata Bapak berseragam putih dengan celana biru dongker kebesaran tersebut , seperti dapat menciptakan sorot mata mirip sinar laser yang mampu menembus d**a Anton dan membuatnya merinding seketika. Anton bukan hanya gagal menjalankan misi penyamaran, dia bahkan diusir sebelum menyentuh handle pintu butik tempat Arumi yang kini tengah berbalut baju cantik hasil perdebatan sengit antara gadis berkacamata tebal Vs Mr. CEO Rolland Bramantyo. *** “Tunggu!,” kali ini bukan Sofia yang berdiri untuk memeriksa Mimi. CEO dengan garis dagu tegas tersebut langsung berdiri, membuat pengamatan. Mimi yang mendapatkan tatapan, mengerut, menunduk dan mengerjapkan matanya berulang -tanda dia tidak nyaman-. Hal tersebut dikarenakan tinggi ujung kepalanya setara dengan bahu CEO tampan yang sedang mengamatinya. Dan bau harum tubuhnya merasuk, merusak konsentrasinya. “Cukup oke,” ungkap Bram selepas sekian detik ia terdiam. Selangkah berikutnya meraih sepatu yang berjajar cantik pada etalase. “Saya tidak suka,” gadis ini mengajukan protes tapi suaranya pelan sekali, seolah bergumam. Tanpa menghiraukan protes dari gadis lugu tersebut, Bram menyodorkan sepasang sepatu begitu saja. Bahkan tanpa melihat, bagaimana Mimi menangkapnya. Pria dengan keturunan darah Jerman tersebut tidak meletakkan sepasang sepatu cantik itu di lantai, atau mengharapkan gadis itu memakainya secara anggun. Yang demikian, bukan -lah seorang Bram. Bram memilih menyerahkan sepatu itu langsung pada telapak tangan Mimi, supaya gadis tersebut dapat memakainya sendiri. Ini bukan adegan pria terpesona dengan Cinderella, -si pembantu rumah tangga yang berubah cantik dalam semalam-. Sama sekali bukan! Tidak ada ibu peri yang mempunyai sihir di sini. “Saya nggak mau,” suaranya masih seperti gumam -an. Menunduk, merapikan seutas tali di bahunya. “Kau harus memakainya!” titah Bram, menatap gadis yang meringkus dadanya dengan menjerat kain yang jatuh pada belahan d**a. “Uuuh, kau sangat seksi,” serak-serak basah, suara Sofia dibuat menggoda. Sofia mendekat, melihat lekukan bentuk tubuh yang sebelumnya tersembunyi di dalam hem kedodoran dan celana kain yang tidak sesuai dengan ukuran pemakainya. Perubahan penampilan Mimi, terutama pada pemilihan baju ala Bram, benar-benar menarik. “Ayo, aku sudah bosan di sini,” suara berat Bram membangunkan kedua perempuan tersebut. Suara yang biasanya terdengar menyenangkan dalam benak Mimi, kini tidak ada bedanya dengan para senior yang suka membully gadis tersebut. Mimi mematung tak berkutik, diam membeku di tempat yang sama. Bram mendekat, bersedekap tangan. Dia, secara tidak langsung mengintimidasi melalui gerak geriknya. Rasa takut dan tertekan merasuki d**a Mimi. Dengan amat terpaksa, bersama raut muka tak bahagia, gadis lugu tersebut memaksa -kan dirinya. Lambat dan hati-hati menekan -kan kakinya, masuk ke dalam sepatu yang haknya terlalu tinggi. Tubuhnya sempat bergoyang beberapa saat. Bahkan dia tertangkap menahan nafas, mengais keseimbangan semampunya, berusaha berdiri tegak. “Lihat, bagus kan?!” Sofia membuat kalimat dukungan, bertepuk tangan ringan. “Karena aku yang memilihkannya baju dan sepatu,” celetukan Bram, mengabaikan polah tingkah Sofia. Sejalan kemudian lelaki yang langkahnya mirip model di atas catwalk menyampaikan pesan kepada pramuniaga, lalu gerakan menggesek kartu terlihat. Sedangkan Mimi yang masih setia berdiri , berinisiatif, perlahan-lahan melepaskan dirinya dari sepatu berbahaya. Sayangnya bos bermarga Dichter tersebut menatapnya, kembali mengintimidasi. Dia yang sedang membayar tagihan di kasir sempat teralihkan. Disaat kembali menatap Mimi, dahi Bram mengernyit, seolah tanda perintah untuk memakai lagi high heels yang ditanggalkan. . . Di luar butik sempat terdengar percekcokan, tak lama kemudian pemuda bernama Anton diseret oleh satpam yang berjaga. Dia sudah mirip dengan anak kucing yang ditenteng induknya, kemudian dibuang di pinggir jalan raya. Mengenaskan. Memang hal tersebut yang terlihat ketika satpam berkumis lebat menggertak pemuda bernama Anton sampai ia membeku di tepian jalan, tidak berani mendekati butik. Di ujung jalan, di dalam mobil pak Yosan, sekelompok anak muda memakinya. "Ngapain, lo? malah di situ?" "Ya, elah. Segitu doang nyali lo?!" Sahut-menyahut lambang kegabutan tim talk show For You cukup keras, mampu membelah lalu-lalang kendaraan yang melintasi jalan raya, si penghalang antara mobil pak Yosan dan Anton. "Kalau gitu gantian!" Anton berusaha menyeberangi jalan ketika ia pada akhirnya memutuskan menyerah menghadapi Si kumis lebat. Belum sampai dia berhasil menyeberangi jalan, mobil pak Yosan yang berisikan teman-temannya, secara mengejutkan melesat begitu saja. Meninggalkan dirinya. "Wooe, sial!! Gue ditinggal!!" Tidak ada yang peduli pada teriakan Anton, mobil melesat kian cepat. "Argh!" Suaranya memekik jengkel, menyadari mobil CEO BestTv lah penyebab teman-teman yang tidak berakhlak meninggalkan dirinya. Dalam suasana kesal, pesan Sultan menyusup di layar handphonenya [Bro, pesan ojek online, buntuti kami!] Ingin rasanya Anton mengumpat, tapi buat apa? Dirinya sudah tertinggal sendirian. *** Mobil Bram kembali menepi, kali ini kendaraan tersebut berhenti di sebuah tempat bertuliskan Roger’s salon. Tempat yang berhubungan dengan kosmetika, perawatan wajah dan rambut, baik untuk laki-laki maupun perempuan yang terkenal di kalangan sosialita, publik figur, dan tentu saja, salon ini ialah pilihan Sofia. Bagi Bram, tentu saja Sofia, keluar masuk salon semacam makanan sehari-hari mereka. CEO tampan ini, bahkan sering kali memarkir mobilnya diam-diam di depan salon tersebut demi menjemput Renata. Datang, dan ikut membuntuti dua perempuan di depannya. Dimana yang satu nampak sangat canggung dan satunya begitu happy, membuat kepala Bram berdenyut, sebab waktu terasa sangat lama. Yang tidak diketahui oleh Bram, ialah sekelompok anak muda masih setia mengendap-endap di luar salon. Mobil mereka ada di tempat parkir, dimana salah satu dari mereka baru datang dengan emosi meletup-letup, mengetuk kaca mobil dengan ritme cepat. Suara benturan tangannya pada kaca jendela mobil, mengagetkan sekelompok penghuni yang tertidur dan bersantai nyaman. “Hah!! huuuuh” mengambil nafas penuh, “BANGUN KALEAAAAAN!! Anton kesetaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN