Prang… braak… prassh… plak!
Pecahan kaca, lemparan barang-barang, pukulan, tamparan terus mereka lakukan akibat tagihan pinjaman judi yang korban janjikan belum bisa dibayar. Hari masih siang dan rumah itu berada diantara rumah-rumah sederhana, namun tak satupun dari mereka berniat untuk membantu melerai. Bagi para tetangga, siapa si korban siapa pelaku dan siapa mereka. Pelaku tidak akan melakukan hal-hal tak wajar jika korban tak berulah atau berbuat sesuatu. Apalagi si korban seorang penjudi dan wanita malam, bukan salah si pelaku yang hanya menginginkan milik nya di kembalikan.
"Harus nya samakan saat kau datang meminta pada uang pada Ketua, bukannya lari bersembunyi layak nya tikus busuk." Ujar Boss Gangster yang dikirim oleh salah satu tempat perjudian di seoul.
Drap drap drap
Lorong-lorong daerah perumahan kecil seoul, seorang pemuda berlari cepat tak peduli rasa sakit di seluruh tubuh nya akibat pekerjaan dilakukan untuk mendapat uang.
Dalam benaknya hanya satu, ia harus sampai ke rumah sebelum semua nya kembali di hancurkan si penagih hutang.
Deruan nafas seakan mencekik nya karena terus berlari hingga d**a nya terengah-engah, sampai mata nya menangkap siluet beberapa orang di dalam rumah."Sial!" Umpat nya segera berlari menapakan kaki nya di ujung pintu.
Disisi lain, "Harus nya kau berfikir sebelum menerima uang itu, jalang. Kau ini hanya w************n tak laku," cengkraman nya semakin keras, membuat si korban memejamkan mata menahan sakit. "Sudah busuk saja sok-sok'an meminjam uang untuk berjudi, ingin membayarnya dengan apa, tubuhmu? Yang benar saja. Kalaupun ada, hutang 75 juta won… "
"Bo-boss, bukankah pinjamanku hanya… "
PLAK… BUGH… ugh…!
Tamparan di pipi dan bogeman mentah di perut kembali ia dapatkan, wanita itu terbatuk-batuk meringkuk kesakitan memegangi perut nya.
Wanita tersebut menjerit tertahan akibat kerasnya tarikan dibagian leher, seakan rambutnya akan lepas dari kulit kepalanya.
"Bo-boss sakit! An-anakku akan segera kembali membawa uang, kau bisa mengambil… " ringisan kembali ia keluarkan sampai gigi nya menggeletuk. "Lihat, anak itu pasti membawa uang nya." Menunjuk sang anak yang baru tiba yang ditahan anggota Gangster itu dengan dagu.
Sang Boss Gangster berbalik lalu berdiri, dengan tangan masih menarik rambut panjang wanita tersebut, memandang seorang pemuda dari kepala sampai ujung kaki kemudian tersenyum remeh.
Sedangkan yang mendapat tatapan itu terdiam mengepalkan tangan dengan kondisi sang ibu, tatapan nanar dan bersalah ia berikan melihat wajah wanita yang dia sayang dipenuhi luka-luka.
Dia pun segera melepaskan diri dari tahanan anggota Gangster tersebut dan berlari mendorong sang boss berbadan besar, yang tengah menarik rambut sang ibu.
Berniat membantu ibunya, dia malah mendapat penolakan. "Berikan mereka uang nya, kumohon tidak bisakah kau Benar-benar berguna sebagai anak, HAH!" Teriak sang ibu menendang anaknya hingga berada di kaki para rentenir itu.
Dia mendongak menatap tajam Boss Gangster yang tengah berjongkok tersenyum menyeringai ke arah nya. "Aku akan membayar semua nya, lepaskan ibuku." Ujarnya terdengar dingin.
"Bayar, benarkah?" Ia meringis ketika tangan besar dan kokoh itu menarik rambut nya keras. "Mari kita lihat berapa yang kau hasilkan, apa sepadan dengan hutang wanita jalang itu. Kalau saja kau seorang gadis, mungkin semuanya akan selesai dengan membawamu. Tapi sangat di sayangkan, Cih. " Ujar sang Boss Gangster menekan-nekan kening nya menggunakan telunjuk, hingga membuat kepala nya mengangguk-angguk ke belakang.
"Boss, hanya 250 ratus won." Celetuk salah satu anggota mereka.
Cuh… ia memejamkan mata ketika boss gangster meludahi nya. Ingin melawan pun, dia akan kalah dalam sekejap dan mungkin mati di hari itu juga.
"Kau mengejek kami ya, sialan! Habisi dia!" Boss Gangster mendorong tubuh nya, membiarkan anggota nya melakukan tugas mereka.
Selagi sang anak mendapat tendangan demi tendangan, sang ibu berdiri tergopoh-gopoh meraih gelas dan menyediakan air untuk Boss Gangster yang tengah menonton pertunjukan anggota nya.
Sang ibu tetap santai memunguti barang-barang nya, tak peduli dengan teriakan kesakitan sang anak.
Satu jam kepergian para Gangster, wanita yang tengah menyesap rokoknya, "Sudah saat nya kau benar-benar menghasilkan uang untukku." Ucap nya membuang puntung rokok nya, menarik sang anak untuk segera mengikuti nya.
Ting…!
Ketika dentingan terdengar, beberapa orang mulai berkumpul melihat plang bertuliskan, 'Dijual, umur 19th.' jika hanya barang seperti benda mati atau makanan sih tak apa. Tapi bagaimana jika yang dijual berupa sesuatu bernafas yang hanya pasrah dijadikan dagang, mungkin saja yang melakukan itu keluarga nya sendiri.
Pasrah, tentu hanya itu yang bisa dilakukan pemuda yang tengah diam menunduk bak patung menutup kepala dengan hoodie nya.
"Kalau bisa melakukan apapun, kenapa di jual? Tidak kasihan padanya, aku yakin dia anakmu."
Pertanyaan mendapat jawaban remeh, "Karena dia tidak berguna bagiku, lagipula kalian benar dia anakku. Jadi apapun yang kulakukan terserah aku mau diapakan," tak peduli dengan celaan orang-orang, "Mau dibeli tidak, kalau mau ambil saja." Kesal nya sedikit menaikkan nada suara nya.
"Dibeli pun tak ada guna nya, kalau dia saja tak berguna bagimu."
"Benar, menghamburkan uang saja. Lebih untuk anakku saja, untuk apa membeli beban."
"Jahat sekali!" Cecar mereka merasa kasihan dengan pemuda itu.
"I-ibu jangan seperti ini, Leo janji akan bekerja lebih keras lagi. Aku mohon jangan menjualku." Pinta nya tak tahan dengan situasi sekarang.
Siapa tak sakit jika orang yang melahirkan kita, orang yang menjadi alasan kita hidup, walau sedari kecil tidak pernah mendapat kasih sayang nya, Leo tetap tidak ingin meninggalkan ibunya.
Seburuk apapun perlakuan sang ibu, bagi pemuda bernama Leonardo Christopher Lee 19th itu, ia sangat menyayangi ibunya.
Leo berjanji akan bekerja lebih keras lagi agar bisa mencukupi kebutuhan mereka, dan membayar hutang, jika sang ibu mengurungkan niatnya untuk menjualnya.
Bukan malu ataupun harga diri yang Leo fikirkan, ia hanya ingin bersama ibunya tidak ada yang lain. Sesayang itukah Leo walaupun tidak dianggap, jawaban adalah iya. Sangat sayang.
Wanita berumur 42th itu menyepak tangan Leo yang tengah bersimpuh di kakinya, tak peduli pandangan orang lain atau pemuda yang tengah meringis merasakan sesak.
"Leo dengar ini, ibu sudah lelah menampung mu. Kau harus nya mengerti bagaimana kondisiku saat ini. Aku lelah harus berlarian kesana-kemari karena dikejar depkolektor karena hutang. Sekarang jika orang membeli mu dengan harga tinggi, kau dan aku akan bebas. Jadi ku mohon… "
"Leo bisa bekerja bu, aku janji." Leo menangkupkan kedua tangan memohon pada sang ibu yang menggeleng keras, "Kerja serabutan dengan umurmu tidak akan bisa mencukupi kebutuhan… "
"2 milyar?"
Kerumunan itu perlahan membentuk sebuah jalan, memberikan akses seseorang untuk melewati mereka.
Bisikan mulai terdengar begitu melihat siapa yang menyerukan nilai angka uang sebanyak itu, hanya untuk membeli seorang anak dari wanita penjudi seperti Grace Piper Lee.
Hanya wanita biasa, pikir mereka.
"3 milyar? 4, 5, ah… atau 10 milyar untuk membeli anak anda?"
Semua mata terbelalak, "Sekaya itu kah dia." Bisik mereka.
"Kau yakin Nona," Grace berjalan mendatangi wanita yang tengah menatap nya tersenyum. Tak peduli pada Leo yang meneteskan air mata karena rasa sakit hatinya.
Wanita di hadapan Grace mengangguk, "Dengan syarat… "
"Apapun syarat nya selama ada uang, kenapa tidak?"
"IBU JAHAT!"
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi kanan Leo, pipi putih itu memerah dan terasa perih membekas. Tapi baginya bukan tamparan itu yang ia pikirkan, melainkan semua rasa sayang untuk sang ibu telah lenyap digantikan oleh rasa benci yang mendalam.
"Harusnya kau bersyukur Nona ini membelimu. Hidupmu akan terjamin dengan nya, Nona ini orang kaya yang bisa menghidupimu dan memberikan apapun padamu. Saat kepergian ayahmu aku sempat berpikir, kenapa kau tak mengikutinya saja. Itu akan lebih baik lagi kan, aku tidak harus mengurus anak bodoh sepertimu. "
"Kau bukan manusia bu, kau sangat rendah!"
"Anak sialan!" Grace kembali melayangkan tamparan nya, namun wanita itu lebih dulu menahan nya dan melempar tatapan tajam.
"Nyonyaku tidak suka, barang kesukaan nya terlihat lecet." Walau sekarang ia tahu, wajah pemuda di hadapan nya sudah babak belur.
Deg!
Wanita itu menghempaskan tangan Grace, beralih meraih lengan Leo tak peduli tatapan dari anak itu.
"Menginginkan uang bukan, ikut denganku. Semua ini harus ada bukti hitam diatas putih dan merah diatas putih untuk menghindari sesuatu yang terjadi nantinya." wanita itu berbalik menatap kerumunan, "Yang merekam kejadian ini dimohon mengikuti kami, kalian akan dapat bayaran dengan menyerahkan bukti tersebut." Setelah nya, ia pun melangkah pergi menyeret Leo diikuti oleh Grace dan orang-orang yang mulai berterima kasih.
Berterima kasih dalam artian, sudah melelang anak nya untuk mendapatkan uang, dan mereka pun ikut mendapatkan hasil.
Semua ucapan masih terdengar oleh Leo, dasarnya manusia munafik tak punya hati, tak peduli dengan perasaan pemuda itu ataupun orang lain.
***
Di sisi lain, perempuan cantik berwajah mungil tersenyum tipis, "Paman Maxi, bagaimana?" Tanya nya.
Leki-laki paruh baya yang tengah merapikan sesuatu menoleh, "Semua nya sudah berada di luar, Nona." Ia menegakkan tubuhnya berjalan ke arah sang Nona yang tengah memejamkan matanya.
"Nona yakin ingin membelinya? Tapi untuk apa?" Tanya Maxi
Layla Margaretha Lincoln 35th seorang Presdir dari perusahaan Diamond Secret, berkecimpung di industri Perhotelan dan Resort terbesar di negara AS kota New York.
Berwajah boneka layak nya anak belasan tahun, jangan lupakan tubuh ramping dan tinggi bak model tanpa lecet sedikitpun.
Layla membuka mata mengedip-ngedip menatap Maxi, meraih selembar cek dari tangan laki-laki itu.
Sekali coretan tanda tangan Layla diatas kertas kosong, ia kembali meraih berkas diatas meja nya.
Layla memberikan cek itu beserta berkas nya pada Maxi, "Lay yakin, dia akan berguna suatu saat nanti." Ucap nya di balas anggukan dari Maxi.
Tok tok tok
Kedua nya menoleh melihat gadis yang mereka kenal.
"Maria,"
Maria Scarlett 28th sedikit menunduk kemudian memandang Layla dan Maxi. "Semua menunggu di luar termasuk pemuda itu." Layla mengangguk mengalihkan tatapan nya pada Maxi yang juga menatap nya.
"Kuserahkan pada kalian berdua. Jangan lupa siapkan semua nya untuk kembali, aku sudah bosan disini."
"Baik, Nona."
Maxi dan Maria menunduk lalu berbalik meninggalkan Layla yang tengah memeriksa berkas untuk kembali ke negara nya.
Ia memang bukan berasal dari kota dimana dia melihat seorang ibu rela menjual darah daging nya sendiri, itu pun hanya untuk bermain di meja judi dan juga hutang? Wah… bagaimana orang-orang di kota dengan skala berkelas seperti seoul korea, bisa memiliki warga seperti nya. Mana resort nya berada tak jauh dari sini lagi. Ish… Layla tak menyukai nya.
Tapi, pemuda itu… "Mainan baru." bisiknya tersenyum miring menyeringai.
Sementara itu Leo duduk di samping Maxi melihat apa saja yang mereka lakukan.
Ia seperti barang yang tengah di perjual belikan layak nya transaksi besar, terlihat ada dua kertas di atas meja yang salah satunya harus ditandatangani dengan cairan darah.
Perasaan hancur sehancur-hancurnya, melihat raut wajah dari orang-orang yang menerima uang sebagai pengganti dari video yang mereka rekam tak akan hilang dari ingatan Leo.
Ringisan kemudian disusul senyum kemenangan, melihat cek sudah berada ditangan seorang Grace.
Leo menepis tangan Grace ketika ingin mengusap kepala nya, dan wanita itu pun masa bodoh mengangkat bahunya mencium cek tersebut.
"Ingat, jika suatu saat nanti anda melihat milik Nyonya kami, jangan menegur atau pun bertanya apapun karena dia bukan lagi putra mu." Perkataan Maxi mengalihkan tatapan Grace begitu juga Leo.
"Tapi… kemana Nyonya anda? Kukira dia akan keluar melihat barang miliknya." Leo mengepalkan tangan nya mendengar perkataan ibu nya. Ibu? Apa wanita seperti nya masih dianggap sebagai seorang ibu? Sepertinya tidak lagi. Bagi Leo, ibunya telah mati.
Maxi menggeleng, "Siapapun dimanapun dia, itu bukan urusan anda. Sekarang silahkan keluar dan ingat, jika melanggar persyaratan anda tidak akan selamat." Grace mengangguk tidak peduli dan segera berdiri.
"Baiklah, terima kasih atas kebaikan hati Nyonya anda. Sampaikan salamku pada… "
"Kenapa dia membeliku?" kini mata tertuju pada Leo yang berdiri menatap tajam mereka satu persatu. "Katakan, kenapa dia membeliku? Aku manusia bukan barang yang bisa kalian transaksikan. KENAPA!"
"Karena dia butuh mainan."
Leo termangu dalam hati mengumpat. Mainan ya, jadi dia hanya di anggap mainan. Benar juga. Toh hidupnya memang sudah seperti mainan yang bisa di lempar sana sini, bahkan ibu nya kandungnya sendiri pun menganggapnya seperti itu jadi apa salahnya jika orang lain pun menjadikannya mainan.
Menyedihkan, benar-benar menyedihkan. Dilahirkan hanya untuk dijadikan mainan bagi orang dewasa seperti mereka.
Kalau dia boleh memilih, akan lebih baik tidak lahir saja di dunia ini daripada harus merasakan sakit yang seperti ini.