Skalla-18

2358 Kata
Sekitar pukul empat sore hari, ruang tamu milik keluarga Skalla itu dipenuhi oleh gelak tawa, makanan ringan dan botol minuman berserakan di lantai dan meja. Sang tuan rumah tidak peduli, toh setelah teman-temannya pulang nanti dia akan membersihkannya. Andini belum pulang, wanita itu bilang akan lembur karena pekerjaannya menumpuk. Gevit juga belum pulang, mungkin dia latihan basket dulu seperti biasanya. Tadinya Letta hampir mati kebosanan dirumah sendiri seharian, dia sudah melakukan banyak hal seperti membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencuci piring dan menonton netflix. Lalu pukul dua siang, teman-temannya datang dan membuat keramaian di rumah keluarga Skalla. “Hahahaha” “Serius Lisa mikirin cowok?”  Yah, entah sudah berapa banyak topik yang mereka comot sejak dua jam yang lalu. Mulai dari makanan kantin, kakak kelas yang keren seperti oppa oppa Korea, lalu pacar Sasha yang sudah berganti lagi, dilanjut Letta yang tiba-tiba mencomot topik mengenai Lisa. Tadi mulut petasan banting Sasha tidak sengaja menyeret nama Lisa yang menerima makanan dari seorang cowok. “Serius. Gue makin penasaran siapa cowok yang akhirnya bisa buat si hati batu ini tersipu malu” jawab Sasha dengan semangat, karena dia paling suka kalau disuruh mengejek orang lain. “Anjir lah hati batu, lo kira gue apaan njir” Lisa menimpuk bahu Sasha menggunakan bantal sofa yang ada di dekatnya karena geram dikatai hati batu. Selama ini dia tidak tertarik dengan cowok bukan berarti dia menutup hati. Lisa hanya belum menemukan sosok yang menurutnya cocok, lagipula dia juga malas pacaran. Tapi sekarang sepertinya keadaan berubah, sejak Lisa menaruh ketertarikan pada sosok Vero Orlando. “Tapi bener deh kata Sasha, Lis. Hati lo kan batu banget kalo soal cowok, terus tiba-tiba lo jadi kayak bunga dini hari alias mulai mekar indah" kali ini Angel yang menyumbangkan pendapatnya seraya memperagakan bunga yang tengah mekar menggunakan kelima jarinya.  Lisa hanya mendengus, andaikan dia bisa mengatakan pada teman-temannya bahwa cowok itu adalah Vero Orlando, mungkin masalahnya tidak akan serumit ini. Tapi situasinya tidak mendukung, Lisa tau kalau Vero menyukai Letta dan dia tidak ingin ada masalah diantara mereka berdua. Pertemanan masih di atas segalanya, prinsip Lisa untuk saat ini, gak tau kalau besok berubah lagi seiring dengan bertambahnya rasa sayang dia pada cowok yang punya wajah tampan seperti anime jepang itu. Letta membuka bungkus keripik kentang, kedua netra nya menatap Lisa. "Kasih tau lah ke kita, Lis, siapa cowoknya. Kita kan bestie nih" goda gadis itu, Lisa hanya merotasikan bola matanya. Disini, yang mungkin sangat Lisa syukurkan adalah kenyataan bahwa Aletta tidak pernah tertarik sedikitpun pada Vero.  “Kalian kok jadi kepo banget gini sih. Orang gue cuma naksir--" "Tuuuh, kaaan!! Lisa bisa naksir cowok juga ternyata!" Sialan si mulut petasan banting itu! Lisa menggeram, ingin sekali dia menyumpal mulut rombeng Sasha yang kadang lupa diberi filter. "Yaa.. ya apalah itu. Intinya gue belum ada apa-apa sama dia, titik" "Belum bukan berarti nggak mungkin, kan, kalo kalian jadian?" Angel tersenyum dengan wajah watadosnya, ya tuhan! Ingin sekali Lisa menimpuk wajah-wajah teman-temannya saat ini. Mana tengil banget membuat Lisa jadi salah tingkah sendiri sekarang. "Kalian tuh rese banget ya? Udah ah, lupain aja. Ganti topik" “Mana bisa!” seru Sasha membuat penghuni rumah itu kaget berjamaah. Tiga pasang tatapan tajam menghujam pada gadis cantik berbola mata seperti kucing itu. “Sori, sori" ringisnya malu. "Lagipula, seorang Lisa bisa suka sama cowok tuh aneh banget, kek bisa masuk salah satu keajaiban dunia nggak sih guys?" “BENERRR!!” seru Angel dan Letta kompak “s****n kalian” maki Lisa kesal. "Lo ngomong gitu seakan-akan gue gak doyan batangan--" "Batangan banget gak tuh bahasanya" sela Letta yang langsung disambut gelak tawa ketiganya. Wajah Lisa semakin merah padam menahan rasa malu, baru kali ini dia jadi bahan ejekan karena cowok. Suara deru motor di depan rumah terdengar sampai ke telinga mereka. Menghentikan tawa ketiganya sekaligus menyelamatkan Lisa dari ejekan teman-teman laknatnya. "Bang Ge udah pulang kayaknya" gumam Letta.  “Kak Gevit, kak Gevit, gue harus feminim nih siapa tau di pertimbangkan buat jadi kakak iparnya Letta” Sasha memperbaiki posisi duduknya, dia menegakan punggung lantas menekuk lututnya dengan anggun seraya memasang wajah semanis mungkin. Letta yang jengah melempar bantal yang sedari tadi ada di pangkuannya ke arah Sasha. "Pencitraan, cih" "Bodo amat, wlee" Benar saja, itu adalah Gevit. Dengan seragam basket lengan buntung dan celana diatas lutut, lalu tas yang tersampir di bahu kirinya, Gevit nampak seperti pangeran yang kotor setelah berperang. Cowok itu masih terlihat begitu tampan meski seharian berkeringat dan yang pasti asem banget. Gak percaya? Tanya Letta, dia pernah mencium bahkan merasakan keringat Gevit dulu saat cowok itu menjahilinya. "Abang ganteng pulaang!!" Sasha terkikik geli mendengar sapaan abang ganteng yang dilontarkan oleh Gevit. “Waalaikumsalam, Abang” Gevit nyengir saat mendengar sindiran keras adiknya. Cowok itu mendaratkan sebuah usapan di puncak kepala Letta, lalu menumpukan kedua tangannya pada sandaran sofa. "Wih, rame nih." sapa Gevit seraya menatap satu persatu teman-teman Letta. "Sha, duduk lo udah kayak miss indonesia aja" Gevit terkekeh, sementara Sasha yang di notice tersipu malu membuat ketiga temannya lagi-lagi ingin menenggelamkan Sasha ke sungai sss. "Hehehe, kan cewek duduknya harus anggun, kak." "Hm, benar sekali" Atensi mereka kembali tercuri saat terdengar suara deru motor lagi, Gevit dan Letta sama-sama menatap ke arah pintu, menunggu datangnya seseorang yang belum diketahui batang hidungnya, kan belum masuk. Tak lama, dari pintu itu muncul lah sosok yang bahkan tak sempat terlintas di otak mereka.  "Assalamualaikum" "Waalaikumsalam" kompak sekali mereka menjawab. "Kak Vero" sapa Letta, Vero tersenyum manis sekali. Sementara di tempatnya, Lisa diam membatu. Vero duduk di samping Letta, dia meletakkan box berisi pizza di atas meja. "Gimana keadaan lo? Udah sembuh?" "Eh? Kak Vero tau dari mana kalo gue sakit?" tanya Letta penasaran, gadis itu menatap ke arah Gevit. "Abang ya?" Vero menggelengkan kepalanya, "Dari Lisa. Tadi siang gue ketemu sama dia, niatnya mau nitip makanan ke elo, tapi dia bilang lo nggak masuk karena sakit. Yaudah sekarang gue kesini, sebagai gantinya gue bawain lo pizza" panjang sekali ucapan Vero, tapi cara bicaranya yang santai membuat kalimat itu jadi enak di dengar oleh siapapun. Semua mata langsung tertuju pada Lisa. Tatapan mata Angel, Sasha dan Letta tak terdefinisikan. Mereka sekarang paham, darimana Lisa mendapatkan makanan itu, sekaligus siapa cowok yang berhasil membuat gadis berhati batu itu tersipu malu. “Oh, gue udah sembuh kok. Thanks ya udah mau jenguk kesini dan bawain makanan" "Sama-sama" Vero lagi-lagi tersenyum menenangkan, tangannya mengusap kepala Letta. Gevit  menepuk pundak Vero, cowok itu langsung beranjak ke kamar. “Gue ke atas duluan ya, bye.. jangan lupa dimakan” kata Vero seraya menunjuk sekotak pizza. Tak lama dia berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamar Gevit. Letta hanya mengangguk mengiyakan.  Gadis itu menatap teman-temannya yang menatapnya dalam diam. “Kalian cosplay jadi patung apa gimana? Masa gak ada suaranya, masih napas kan?” Angel mengangguk kaku. “Ta, lo yakin mau lewatin kak Vero gitu aja? Mukanya di atas SNI, masuk kelas unggulan, tajir melintir, perhatian pula” kalau sudah Angel yang memujinya, berarti itu adalah fakta yang sesungguhnya. Tidak di lebih-lebihkan dan sesuai realita. Letta hanya mengangkat bahu, selama ini dia hanya menganggap Vero seperti kakak, tidak lebih.  “Dia tuh udah kayak kakak buat gue” “Jiakh, brother zone nih ceritanya” sela Sasha menggoda. "Lagipula, kayaknya ada yang naksir kak Vero deh" Letta sengaja menekankan kata naksir, dia sengaja menyindir Lisa yang kembali salah tingkah, bahkan beberapa kali gadis itu meneguk minumannya. "Jadi, cowok yang bikin lo salah tingkah kayak gini itu... kak Vero?" tanya Sasha memastikan. Lisa menatap ketiga temannya, lantas menghela nafas. "Iya." -Tahubulat- Bandung-Jakarta, mungkin bagi sebagian orang jaraknya tidak terlalu jauh, begitu juga dengan dia. Cowok yang mengendarai motor hitamnya terus melaju menuju ibu kota negara Indonesia, dia merindukan tempat dimana dia bisa bercerita segalanya. Tentang peliknya kehidupan, tentang susahnya mata pelajaran di sekolah, dan tentang seberapa kesalnya dia saat macet Jakarta menghambat perjalanan nya. Semua tentang Jakarta tidak bisa dia lupakan begitu saja. Karena dia lahir dan tumbuh besar disini, lalu tiga bulan yang lalu Dewi--mamanya-- meninggal. Mungkin karena melihat Alfa yang selalu murung, akhirnya papa mengajak Alfa pindah ke Bandung supaya mendapatkan suasana baru dan kehidupan baru.  Tapi obat dari segala lara yang dipikul seorang diri oleh Alfa ada disini, di Jakarta. Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam, motor hitam yang dikendarai oleh Alfa berhenti di sebuah pemakaman. Seperti biasa, disana ada seorang bapak-bapak yang berjualan bunga. Entah sudah berapa lama bapak-bapak itu berjualan disana sendirian. Bahkan sekarang sudah pukul lima lebih lima belas menit, dimana sang pusat tata surya sebentar lagi akan tenggelam, bergantian menerangi belahan bumi lain. “Assalamualaikum, pak” “Eh, mas Alfa.” Bapak-bapak disana mengingat sosok Alfa, karena setelah Dewi meninggal, Alfa rutin berkunjung seminggu sekali. Dan keduanya menyempatkan diri mengobrol barang satu dua menit. Percakapan ringan antara pembeli dan penjual.  "Udah lama mas Alfa nggak dateng kesini" "Sekarang udah pindah ke Bandung, pak" "Oh begitu" Alfa merogoh saku celananya, dia mengeluarkan selembar seratus ribuan. “Waduh mas, nggak ada kembalian” kata bapak-bapak itu, wajah kecoklatan dengan kerutan di bawah mata dan keningnya, menatap Alfa dengan bingung. Hasil dia menjual bunga aja tidak sebanyak itu. “Kasih lima aja pak, nggak usah kembalian” Alfa menerima lima bungkus bunga dari bapak-bapak itu, “Makasih ya, Mas” “Sama-sama, pak” Rejeki bapak-bapak itu, setiap Alfa datang pendapatannya pasti bertambah. Karena Alfa selalu memberikan uang seratus ribu tanpa meminta kembalian. "Alhamdulillah" ucap syukur bapak penjual bunga dengan seutas senyum tulus. Membawa lima bungkus bunga itu, Alfa memasuki area pemakaman. Nisan Dewi masih berdiri kokoh, bahkan tanahnya masih basah karena meninggalnya baru beberapa bulan yang lalu. Alfa jongkok di samping makam Dewi. “Ma,” Alfa mengelus nisan itu. “Alfa dateng” Rumput di sekeliling pemakaman Dewi mulai tumbuh satu dua, tidak banyak memang. Menarik lengan jaketnya, Alfa mulai mencabuti rumput itu. “Alfa kalut, Ma. Nggak tau kenapa.” cowok itu menghela nafas, bahkan dia tidak bisa mengutarakan isi hatinya langsung lewat kata-kata. Tangannya masih terus mencabuti rumput, seraya bibirnya menggumam. “Baru beberapa minggu aku pindah ke Bandung, Ma. Tapi sekarang udah kena kasus pembullyan. Padahal aku nggak pernah bully siapapun. Yang lucu, ternyata yang sebar rumor pembullyan itu temen deket ku sendiri, Ma" Dia terkekeh miris. "Salah aku apa sih, Ma? Kalo ditanya marah apa nggak? Jujur aku enggak marah, karena dengan begitu aku jadi tau siapa dia, dan kepribadiannya. Jadi sekarang, kalo mau berteman harus hati-hati, nggak usah terlalu terbuka sama orang lain" Tangan Alfa membuka bungkusan bunga itu, lantas menaburnya diatas makam Dewi. “Mama baik-baik aja kan disana? Papa makin sibuk, Ma. Tiap hari lembur, pulang malem, berangkat pagi-pagi. Bahkan jarang nemenin Alfa sarapan” Kalau sudah duduk di sini, Alfa bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Dia tidak takut dengan suasana sepi, yang terdengar hanyalah angin dan dedaunan kering yang jatuh. Karena kesempatan Alfa untuk mengunjungi mama nya tidak banyak, dia tidak bisa sesering dulu. "Aku kangen sama keluarga kecil kita, Ma" Alfa mengulas senyum tipis, ditatapnya gundukan tanah itu dengan mata basah, Alfa menangis, terisak dalam diam. Gegap gempita hatinya tidak tau harus dibagi dengan siapa, Alfa hampir mati oleh kebingungan yang ia ciptakan sendiri. Kenapa manusia datang dan pergi? Dan kenapa harus Dewi yang pergi duluan dari dunia ini? Alfa lemah tanpa adanya Dewi disampingnya. Dia tidak punya tempat pulang lagi sekarang. Rumah di Bandung tidak pernah bisa senyaman rumah yang ada di Jakarta. Hiks.. Hiks... Hiks.. Terdengar suara isak tangis, tapi itu bukan dari suara Alfa. Ternyata dia tidak sendirian di tempat ini, di belakangnya, ada seorang wanita berkerudung hitam yang juga tengah bersimpuh seraya menangis di samping gundukan tanah. Tangisnya terdengar begitu memilukan membuat d**a Alfa jadi ikut sesak. Cowok itu mengusap air matanya, dia menghela nafas. Berdiri, Alfa menghampiri wanita yang ada di sana. "Tante?" Wanita itu bahkan tak mendongak sama sekali. "Maafin mama, Nak, maafin mama..." seraya memeluk nisan bertuliskan Bima Aga Dirgantara, wanita itu terus menangis tanpa henti. Matanya memerah dan bengkak. Alfa duduk, dia mengenal siapa Bima Aga, dia adalah ketua Osis SMA Bina Jakarta, tempat nya menuntut ilmu sebelum pindah ke Bandung, Bima juga kakak Daniel Dirgantara. "Kadang manusia itu aneh. Saat masih hidup, kita mengabaikan seseorang itu. Tapi ketika seseorang itu pergi, barulah kita sadar bahwa keberadaannya begitu berarti. Kita meminta maaf, seolah dia akan kembali dalam pelukan kita, tapi pada kenyataannya, yang pergi akan tetap pergi" Tatapan Alfa turun, wanita itu mengusap air matanya seraya menoleh ke arah Alfa. "Kamu siapa?" "Alfa, tante." Alfa tersenyum tipis sekali. "Aku kenal siapa Bima, dia ketua Osis kesayangan anak Bina." Alfa terkekeh. "Kamu.. kamu kenal sama Aga?" Alfa mengangguk. "Selama di sekolah, Bima itu kelihatannya kuat banget, dia nggak pernah nunjukin masalah hidupnya. Bahkan aku pernah sekali mikir, apa orang kayak Bima pernah punya masalah. Dia pinter nutupin keadaannya dari semua orang" "Sepertinya kamu lebih mengenal Aga dibanding saya" wanita itu tersenyum kecut, hatinya semakin teriris. "Selama ini, saya membiarkan Aga dan Daniel tumbuh sendirian di tempat yang berbeda. Sementara saya dan suami justru tinggal di Luar Negeri dan sibuk bekerja. Lalu saya pulang, dan disambut oleh kematian Aga" "Saya ini ibu yang buruk" lanjutnya mengakhiri. Alfa menggeleng lemah, "Nggak ada yang namanya Ibu yang buruk, Tan. Mungkin karena rasa bersalah itu tante jadi terpuruk dalam penyesalan, sampai tante melupakan satu sosok lagi. Daniel. Dia tumbuh jadi anak yang berprestasi dan dewasa, dia bisa mengatasi masalahnya sendiri. Juga Bima, meskipun tidak mendapatkan kasih sayang yang selayaknya mereka dapatkan, mereka tetap menjadi  versi terbaik dari masing-masing." Cowok itu menjeda kalimatnya. "Banyak anak-anak yang mutusin buat ambil jalan yang salah, main judi, n*****a, s**s bebas dan lain-lain. Tapi selama ini, dari yang aku lihat, Bima dan Daniel menjauhi semua itu. Coba bayangkan kalau tante ada di sisi mereka, belum tentu mereka akan jadi seperti ini, kan?" "Terima kasih ya" ucap wanita itu singkat, mengelus rambut Alfa dengan sayang. "Kamu disini lagi jengukin siapa?" "Mama" "Em.. Maaf" "Nggak apa-apa, Tan" "Mama kamu pasti bangga punya anak yang punya pemikiran dewasa kayak kamu gini" "Semoga" Di hangatnya sore hari menjelang malam, keduanya sama-sama menerbitkan seulas senyum manis.  Sometimes, being abandoned by someone because of death teaches us that what is in this world, we can't keep forever.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN