Sudah lewat tiga hari, semenjak kejadian Gevit yang bertengkar dengan Gala di lapangan saat hujan deras mengguyur. Untung saja, Andini dan Freya tidak sempat dipanggil oleh pihak sekolah lantaran anak mereka terlibat perkelahian. Dan sejak saat itu, hubungan Alena dan Gevit semakin merenggang. Mereka merasa, mereka butuh waktu untuk berdamai dengan diri mereka sendiri.
Hukuman dari Vero masih berlaku sampai satu bulan kedepan, dan keduanya juga memutuskan untuk menjalani hukuman itu dengan lapang d**a, toh ini cuma hukuman dan hanya sebulan.
Hari ini, tepat pukul dua siang hari, dimana terik sinar matahari seakan bisa membakar kulit siapapun yang tidak menggunakan sunblock spf 50+. Siswa-siswi berhamburan keluar dari gerbang, tapi tidak semua karena masih ada yang tinggal di sana untuk pelatihan skill sesuai jadwal masing-masing. Dari banyaknya siswa yang keluar dari gerbang itu, tak ada yang berminat untuk mampir ke cafe yang ada di depan sekolah mereka hanya untuk sekedar menuntaskan dahaga.
Cafe Cemara yang ada di depan SMA Bintang Mulia tampak lenggang, dulu Cafe ini sangat ramai oleh pengunjung apalagi siswa siswi Bintang Mulia yang sukanya nongkrong setelah pulang sekolah pasti memilih untuk datang ke CC alias Cafe Cemara. Tapi sekarang, Cafe itu sepi pengunjung karena mungkin suasana cafe nya jadul banget. Banyak orang yang mulai pindah tempat untuk nongkrong, tempat yang lebih instagramable kalo kata anak jaman sekarang.
Di antara banyaknya orang yang malas datang ke CC, dia berjalan sendirian menyebrang menuju cafe tersebut. Dengan seragam abu-abu dan tas yang menyangkut di salah satu bahunya, dia berjalan dengan penuh percaya diri, bahkan sempat menyapa satu dua orang teman yang tak sengaja dia lewati.
Meski hanya anak pertukaran pelajar, eksistensinya disini cukup menjanjikan. Jadi, bisa dikatakan sebagian anak BMB kenal dengan cowok satu ini.
Di depan Cafe Camara ada sebuah papan menu dengan tulisan diskon 50%, cowok berahang lancip itu tersenyum tipis. Lumayan, kan. Kapan lagi ada promo sebesar ini? Langkah kakinya memasuki Cafe tersebut. Dia celingukan mencari seseorang yang ternyata ada di sudut ruangan dekat jendela.
“Hei!” sosok itu memanggilnya, dia melanjutkan langkahnya kesana.
“Sori telat, udah nunggu lama ya?" Daniel tersenyum, dia berjabat tangan ala anak muda, lantas meletakan tas nya di lantai sebelum akhirnya mendaratkan p****t di kursi Cafe tersebut.
“Pesan minum aja dulu, gue yang bayar, soalnya gue yang ajakin lo ketemuan”
Cowok tampan idaman para ciwi-ciwi itu terkekeh mendengar tawaran barusan, oh ayolah, Daniel tidak semiskin itu kok. “Thanks buat tawaran nya, gue bisa bayar sendiri. Lagi ada diskon lima puluh persen, lumayan" dia tergelak sendirian.
Daniel berjalan ke arah bar, dia menyebutkan pesanan nya pada barista yang langsung paham. Setelah menunggu selama beberapa saat, Daniel mendapatkan secangkir Macchiato. Cowok itu kembali ke bangku nya dan memperbaiki duduk nya sebelum akhirnya bertanya pada seorang yang mengajaknya bertemu siang ini.
“Jadi, lo mau ngomong soal apa?” Tanya Daniel to the point.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, Daniel mendapatkan telepon dari Alfa. Dia tukeran nomor telepon saat hangout kemarin bersama Aletta juga. Dari sana, mereka berdua jadi kenal. Sebenarnya, Alfa sudah mengenal Daniel sebelum pindah ke sini, karena di Bina, siapa sih yang tidak mengenal Daniel Dirgantara?
Alfa menggeser ponselnya di depan Daniel, cowok tampan bak anime hidup itu melihat sejenak isi ponsel Alfa, dimana disana terpampang sebuah berita pembullyan. “Gue kenal siapa lo bahkan sebelum gue pindah ke sini. Mungkin sebelumnya lo nggak kenal sama gue atau lo nggak peduli sama apa yang gue lakuin di sekolah lama” kata Alfa, dia begitu yakin kalau dulu di Bina, Daniel tidak peduli dengan urusannya karena mereka tidak mengenal secara langsung.
Setahu Alfa, Daniel itu playboy berat, tapi akhirnya dia takluk oleh seorang gadis bernama Tiara Maharani. Kabar terbarunya, mereka putus. Alfa juga akhirnya tau, kalau ternyata Daniel adalah adik dari ketua Osis Bina. Tanpa perlu dia cari tau, semua orang membicarakan segala tentang Daniel.
Rasa-rasanya, seluruh siswa-siswi, guru bahkan sampai tukang kebun pun tau cerita tentang Daniel Dirgantara.
"Gue nggak pernah denger nama lo jadi pelaku pembullyan di Bina, kalo emang berita ini bener, gue pasti tau siapa lo. Tapi nyata nya gue nggak tau, gue cuma tau nama lo doang, Alfarel Benjamin."
“Karena gue bukan pembully, kalo gue pembully nama gue pasti udah ada di daftar hitam, dan dibicarakan banyak orang."
Keduanya saling diam. Daniel menatap manik mata Alfa, dia menemukan kegelisahan yang teramat sangat disana. "Jujur aja, gue emang pernah terlibat pembullyan, tapi itu udah lama banget pas usia gue 13 tahun. Baru masuk SMP, dan berita pembullyan itu pernah menyebar di Bina. Tapi karena bantuan papa, akhirnya nama gue bersih lagi"
"Terus apa bedanya sama sekarang? Berita itu muncul lagi, kenapa lo nggak minta bokap lo aja buat menyelesaikan semuanya?"
"Gue udah janji kalo nggak bakal bikin ulah lagi"
Daniel membaca sekali lagi berita itu, dia menghela nafas pendek. "Dan ya, itu nomor w******p lo. Untuk itu gue pengen ketemuan langsung sama lo buat memastikan"
"Terserah sih lo mau percaya atau enggak sama gue, Al. Tapi beneran bukan gue yang kirim tuh berita"
Alfa menyugar rambutnya, dia menatap ke arah lain.
“Seandainya gue tau tentang kasus lo pun, buat apa gue sebar-sebar berita sampah kayak gitu? Kita nggak ada urusan secara personal. Kita juga nggak saling kenal yang deket banget kayak gitu”
“Oh ya? Gue denger lo putus sama Tiara, dan gue lihat-lihat lo cukup dekat sama Aletta, bisa jadi kan lo lakuin ini semua karena takut gue ambil Letta dari lo?"
Tawa Daniel mengudara, sumpah. Cowok di depannya ini sangat konyol. “Astaga, Al. Jadi maksud lo, gara-gara Letta gue menyebar berita itu? Chill, gue nggak ada perasaan apapun sama Letta. Gue murni cuma temenan sama dia." wajah Daniel yang tadi tertawa kini berubah datar. "Gue peringatkan sama lo, jangan bawa nama Tiara dalam masalah ini. Karena dia nggak tau apa-apa"
Alfa tidak menjawab, cowok itu meneguk minumannya. "Kalo gue niat deketin Letta udah dari dulu, lagian sebelum lo dateng banyak kok yang suka sama dia, salah satunya Vero. Cuma orang buta yang gak tau kalo dia suka sama Letta"
Vero.
Dibanding Daniel, Alfa memang lebih percaya jika Vero lah yang melakukan ini semua. Ditambah dengan adegan p*********n secara tiba-tiba malam hari itu.
"Ini kayaknya hape gue di hack" Daniel memeriksa ponselnya. Dari beberapa hari yang lalu, dia tidak membuka chat grup w******p nya sampai 5000 pesan. Tapi sekarang lihatlah, hanya ada 1000 pesan, itu artinya, memang ada yang meretas ponselnya. Tapi siapa? Hari ini, dia tidak kemana-mana, paling cuma di kelas dan main game.
“Lo nggak lagi alasan kan?”
Daniel menatap Alfa dengan intens, “Intinya ya, Al, bukan gue yang kirim itu semua. Dan seperti kata lo, gue nggak kenal dan nggak peduli sama apa yang lo lakuin di Bina. Juga soal Aletta, gue tegaskan sekali lagi kalo gue cuma temenan sama dia”
Daniel bangkit dari tempat duduknya, “Lo tau, orang yang deket sama lo itu, punya peluang nusuk lo lebih dalem. Hati-hati aja” dan setelah itu Daniel pergi.
Alfa hanya bisa menatap punggung Daniel yang menghilang di balik pintu. Bukan Daniel pelakunya, entah kenapa Alfa begitu yakin. Sekarang kata-kata cowok itu malah berputar dibenaknya, orang yang paling dekat dengannya? Akhir-akhir ini, Alfa hanya dekat dengan Gevit, Vero dan Leo.
Pertanyaannya sekarang, kalau ponsel Daniel di hack, siapa pelakunya?
Suasana semakin sepi dan tenang, berbanding terbalik dengan pikiran dan hati Alfa. Sekarang namanya sudah tercemar, dan dia tidak punya bukti apapun untuk membersihkan namanya tersebut. Kalut bagai benang kusut, wajah Alfa tenggelam dalam lipatan tangan.
-Tahubulat-
Merusuh di rumah teman sepertinya sudah menjadi kebiasaan keempat gadis cantik itu. Letta yang sibuk menata tumpukan pancake dibantu Angel, Lisa yang tengah menyiapkan es buah di teras dan Sasha yang tengah makan kripik di depan TV.
"Ini udah mateng belum sih? Kok gue jadi ragu sama adonan pancake nya Sasha" Angel berkomentar, dia parno kalau Sasha mengerjainya, dengan menaruh sesuatu di dalam adonan itu, misalnya.
Letta menggeser tubuh Angel, dia menatap tumpukan pancake yang ada di atas piring yang telah ia susun. “Dari tampilannya sih udah oke” komentar Letta, dia juga sebenarnya ragu.
"Shaaa!!" Teriak Letta memanggil Sasha, kalau ada Andini pasti wanita itu akan langsung membungkam mulut anak gadis nya yang suka teriak-teriak di dalam rumah. Sasha yang mendengar panggilan itu meletakan keripik kentang nya, lantas ngacir menuju dapur dengan wajah sumringah.
“Kenapa? Bantet ya?”
Lisa datang dengan wadah kotor dan kulit buah. "Bantet, kayak tubuh lo."
"Ish, body shimming mulu lo, Lis" Sasha tak mengindahkan ejekan Lisa, dia tidak bantet dan dia tau Lisa hanya berniat menggodanya. Angel memotongkan pancake yang belum disusun, lantas mengulurkan nya ke arah Sasha. "Kenapa nggak kalian aja yang cobain? Harus banget panggil tuan putri dulu?"
Ketiganya kompak merotasikan bola mata. "Jangan banyak bacot deh, tinggal makan doang ribet amat." lagi-lagi sarkas Lisa yang menjawab ucapan Sasha.
"Takut banget kalo gue kasih racun ke adonan nya ya?" tanya Sasha, menatap ketiga sahabatnya.
"IYAA!!" Jawab mereka serempak.
Sasha menarik sudut bibirnya, "Anak setan!"
Ketiganya tergelak, mereka memang suka ketika melihat Sasha kesal. Karena wajahnya yang imut itu akan semakin terlihat menggemaskan. Dengan gerakan kasar Sasha melahap pancake itu. Tidak ada yang aneh, kematangan pas, tidak bantet juga kok, dia sudah ahli dalam membuat adonan pancake karena di rumah dia suka membuatnya. Tapi demi mengerjai teman-teman setannya, Sasha pura-pura terbatuk.
“Uhuk, uhuk!”
“Waduh, keracunan beneran nih anak” Angel berseru seraya menepuk-nepuk punggung Sasha. “Ta, ambilin minum”
Letta yang bingung langsung mengambil gelas dan diisi dengan air. Sasha menerimanya, “Ah, nggak mau air putih, mau s’bucks! Cepetan sebelum gue mati keracunan beneran!”
Angel spontan melepaskan tangannya yang sedari tadi masih memegangi punggung Sasha, muka ketiga temannya mendatar. “Musnah aja lah kau, Sha!!”
Mereka bertiga melenggang pergi seraya membawa setumpuk pancake meninggalkan Sasha yang malah terbahak sendirian di dapur. Gadis itu menandaskan air putih yang ada di gelas, lantas menyusul teman-temannya ke teras rumah, disana sudah ada es buah yang menunggu.
“Panggil kak Gevit juga, Ta. Sekalian makan bareng”
“Halah, itu mah lo aja yang mau kecentilan, pake acara sekalian makan bareng” Lisa yang memang punya mulut setajam pisau dapur tanpa saringan pun langsung ceplas ceplos tak peduli jika lawan bicaranya akan tersinggung, apalagi hanya Sasha, jelas Lisa tidak peduli.
Bukan nya apa-apa, tapi karena Lisa percaya mereka tidak akan tersinggung karena sudah tau tabiat nya ketika berbicara. “Bentar deh, gue ke atas dulu” Letta mengalah, akhirnya dia melangkah pergi untuk memanggil Gevit.
Letta berjalan dengan ringan, menaiki satu persatu anak tangga, sampai akhirnya tiba di depan kamar sang kakak. Tangan Letta terangkat, siap untuk mengetuk pintu, tapi suara Gevit membuat kegiatan gadis itu jadi terhenti. Dengan hati yang mencelos, Letta mendengarkan suara Gevit yang entah melakukan panggilan telepon dengan siapa.
“Sejak kapan lo jadi sebrengsek ini sih, bang?” gumam gadis itu, miris. Letta menurunkan tangannya, batal mengetuk.
Tiba-tiba pintu terbuka, Gevit kaget dan mundur selangkah seraya memegangi dadanya. "Ngagetin aja. Ngapain berdiri disini?" tanya cowok itu bingung, Letta tak menjawab, dia hanya menunduk menatap jemari kakinya seakan jemari itu lebih menarik dibanding dengan wajah tampan sang kakak.
“Ta?”
Saat Gevit hendak menyentuhnya, Letta langsung menipisnya. “Kenapa sih?”
Letta mendongak, demi menatap sepasang netra milik Gevit yang juga tengah menatapnya. “Abang yang kenapa?! Gue kira abang nggak akan ngelakuin sesuatu hal sampai sejauh ini, tapi gue salah, dan gue kecewa sama abang”
“Ta--”
“Lepasin, bang!”
Gevit melepaskan adiknya, Letta tidak turun ke bawah, dia justru langsung masuk kamar. Perasaannya campur aduk, masih tidak menyangka kalau Gevit yang selama ini menjadi panutannya, secara tidak langsung menggantikan posisi ayah untuknya kala Letta membutuhkan dekap hangat, sanggup menusuknya sampai sedalam ini.
Dia masih saja tidak menyangka. "Abang jahat..." dia terisak sendirian di kamar.
Angel, Sasha dan Lisa yang mendengar teriakan Letta hanya mampu diam di tempat mereka. "Samperin nggak?"
"Jangan dulu deh, lagi pada panas" jawab Angel yang memang lebih paham situasi.
Gevit turun, dia berhenti saat mendapati ketiga teman Letta ada di teras. "Wih, lagi pada makan-makan" sapa cowok itu seakan barusan tidak terjadi apa-apa.
"Eh, i-iya kak." Sasha yang biasanya langsung bersikap sok manis kini hanya bisa duduk dengan gusar, dia merasa canggung saat bersitatap dengan Gevit.
"Gue mau pergi bentar, nitip Letta ya"
"Iya, kak"
"Daahh"
Dan setelah kepergian Gevit, ketiganya langsung berlari masuk untuk melihat keadaan Letta.