Hujan deras akhirnya mengguyur kota Bandung pada pukul dua siang hari, bertepatan dengan seblak ala Letta dan Alfa yang baru saja diangkat dari atas kompor. Uap panas mengepul, aroma lezat tercium oleh hidung keduanya. Senyum lebar menghiasi bibir kedua orang itu, jelas karena seblak yang mereka buat tidak gagal. Berkat resep Andini yang dibocorkan ke Letta membuat gadis itu tau bagaimana membuat seblak yang endul (enak).
"Kak Alfa mau minum teh atau kopi?"
Cieilah, udah kayak istri yang bertanya pada suami aja. "Teh aja, thanks ya" Tangan besar Alfa bergerak mengusap rambut gadis yang ada di depannya. Sebenarnya, Letta itu tidak mungil. Tingginya aja 167 cm, tapi karena tinggi Alfa 180 cm, jadi Letta terlihat mungil dan menggemaskan.
“Gue panggil papa dulu ke atas” kata Alfa seraya mematikan keran air setelah dia selesai mencuci tangan. Cowok itu melepaskan celemeknya, dan menaruhnya sembarangan di atas pantry membuat Letta menggelengkan kepala. Sepertinya, Alfa ini tipe manusia yang sering meletakan handuk sembarangan juga setelah selesai dipakai, seperti yang sedang membaca tulisan ini misalnya.
Setelah Alfa berjalan pergi, Letta meraih celemek itu dan melipatnya, lantas diletakan di tempat tadi. Jemari lentiknya menyiapkan tiga gelas dan teh bandul sari harum, lalu Letta menuang air panas ke dalamnya. Setelah meletakan gelas berisi teh tersebut, gadis itu menyiapkan tiga mangkuk untuk makan seblak bersama.
Entah kenapa, dia jadi gugup sendiri saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Wajar kan kalau dia gugup, apalagi ini first time Letta akan bertemu dengan papa Alfa atau kerap disapa, Anggoro.
“Oh, hai” pria berusia 53 tahun itu masuk ke ruang makan, lantas menyapa Letta dengan suara bass khas bapak-bapak seraya tersenyum.
“Om,” demi menjaga sopan santunnya, Letta mencium punggung tangan Anggoro. “Letta, Om”
“Panggil aja om Anggoro, salam kenal ya”
Mereka bertiga duduk, Letta duduk di di samping Alfa, sementara Anggoro duduk di seberang mereka. Hujan masih mengguyur, langit sudah tidak mendung digantikan dengan awan putih yang justru membuat hujan itu awet. “Ini yang buat Alfa atau kamu?” Anggoro mencicipi kuah seblak panas itu dengan hati-hati.
“Saya, om. Kak Alfa bantu doa”
Hanya mendengar hal itu, Anggoro tertawa. Rasa seblak ini... benar-benar enak. Dia merasa pernah makan seblak dengan rasa yang hampir mirip dengan ini. Tapi itu sudah lama sekali, dan Anggoro lupa kapan dan dimana dia menemukan seblak dengan citra rasa seenak ini.
“Enak aja, gue juga bantu tau. Bantu cicipin seblak lo”
“Iyain aja biar fast” gumam gadis itu, lantas tersenyum canggung. “Kalo nggak enak maafin ya, Om. Namanya juga pemula”
“Enak kok, malahan lebih enak dari yang biasa saya beli dipinggir jalan” Anggoro tidak berbohong demi menyenangkan hati Letta, dia jujur kalau seblak ini memang enak.
“Wah, terima kasih, Om”
Derasnya hujan semakin menambah kenikmatan makan siang kala itu. Letta dan Anggoro cepat sekali akrab meski baru berkenalan beberapa menit yang lalu. Alfa pun turut senang karena awalnya dia takut Letta akan canggung saat bertemu dengan papa-nya. Tapi semua ketakutannya lenyap saat melihat keduanya sama-sama tertawa dan melempar lelucon aneh.
“Sebenernya Letta nggak terlalu suka tinggal disana, Om. Tapi yah mau gimana lagi, yang beli rumah kan Mama bukan Letta”
“Emang kalau gak mau tinggal disana kamu mau tinggal dimana?”
“Disini boleh nggak?”
Melihat raut wajah tegang kedua laki-laki yang saat ini ada bersamanya, Letta buru-buru menambahi. “Haha, bercanda kok.”
Alfa tak bisa menahan senyumnya, melihat gadis yang ada disamping saat ini. Mendekati Letta ternyata tidak sesulit kabar burung yang selama ini dia dengar. Katanya Letta itu cuek kalo ke cowok, tidak ingin didekati oleh cowok, selain itu Letta juga punya abang se-protektif Gevit. Sampai dia juga mendengar haters Letta bilang bahwa gadis itu lesbi.
“Makan yang banyak”
Ingin sekali Letta menjawab, nanti mencret. Tapi rasanya tidak etis karena mereka tengah makan. Acara makan seblak siang itu dengan irama tetesan air hujan selesai, Anggoro berpamitan untuk naik ke atas lagi sementara Letta dan Alfa duduk di ruang tengah sembari menunggu hujan reda.
“Kak Alfa suka main game juga ternyata”
“Cuma buat isi waktu luang kok, Ta”
“Ooohh..”
Alfa meletakan ponselnya dia meja, cowok itu menyangga kepalanya, sementara sikunya bertumpu pada sandaran sofa, kedua netranya menatap wajah Letta yang sepertinya bosan, kepala gadis itu terkulai pada sandaran sofa dengan bibir yang cemberut lucu. Boleh tidak sih Alfa memeluk Letta sekali aja? Dia ingin mendekap gadis itu saking gemesnya.
“Ta, main truth or dare yuk”
“Hm?” Letta menoleh dengan malas. Menatap wajah Alfa yang hanya berjarak beberapa meter darinya. “Males” jawab gadis itu cuek. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Alfa sibuk bermain game dan membiarkannya mati kebosanan. Mana hape nya sepi lagi, biasanya teman-temannya akan bacot di grup chat, tapi hari sepi membuat Letta jadi ngenes sendiri.
“Ayo dong, gue juga gabut nih”
“Apaan orang tadi seru banget mainnya”
Letta ini kalau disuruh nyindir orang kenapa pinter banget sih? “Yaudah deh gue minta maaf, sekarang kan udah gak main lagi. Yuk!”
Mengalah, akhirnya Letta menyetujui permainan itu. Dia mengangkat kepalanya dan mengubah posisinya menghadap ke arah Alfa. “Awas ya, jangan aneh-aneh kasih pertanyaan atau dare nya” peringat Letta yang langsung di angguki oleh Alfa. Jujur saja, dia lemah kalau harus main suit. Perasaannya juga mengatakan kalau dia akan kalah, pasti. Mereka melakukan suit berdua.
“Gunting batu kertas!”
“Gunting batu kertas!”
“Yaaah..” Letta mengeluh karena dia kalah, Alfa nyengir. “Truth deh” kata gadis itu kemudian.
Alfa menggosok dagunya, memikirkan kira-kira pertanyaan apa yang akan dilontarkan pada Letta. Sementara gadis itu menunggu dengan perasaan cemas. “Oke, sebutin satu rahasia yang sampai sekarang lo tutupin dari tante Andini”
“Waah, mana boleh kayak gitu. Kalo gue bilang nanti udah bukan rahasia lagi dong namanya” protes Letta, dia melipat kedua tangannya di depan d**a. Ah s**l! Wajahnya kenapa semakin imut?! Alfa benar-benar tak bisa menahan nya lagi, kedua tangannya sigap menangkup pipi yang sedang mengembang itu, lalu menguyel-uyel pipi Letta layaknya squishy.
“Harus sportif dong, janji deh gak akan cepu”
"Ih, lepasin dulu. Iya-iya, sportif. Gue jawab"
Barulah Alfa melepaskan pipi Letta.
Gadis itu menimbang sejenak, selama ini dia jarang menyimpan rahasia dari Andini. Dulu, Andini pernah bilang ke dia dan Gevit seperti ini. “Mama nggak akan membatasi sesuatu yang kalian suka asal tidak mengarah ke hal yang negatif, tapi, kalian harus jujur tentang apapun ke Mama”
Dan ya, kesepakatan itu disetujui oleh mereka bertiga. Tapi sepertinya Letta melanggar satu hal. “Gue.. pernah pacaran pas SMP. Dan sampai sekarang mama nggak tau tentang hal itu.”
Kok rasanya ada yang aneh, semacam perasaan cemburu? Tapi lucu banget kalau dibilang cemburu, memangnya Alfa siapa? Dia kan bukan siapa-siapa, atau lebih tepatnya belum. Karena saat mendengar Letta mengatakan hal itu, Alfa tidak akan membuang-buang waktu lagi.
“Siapa nama pacar lo--ah, maksud gue mantan lo”
“Kok kepo sih”
“Jawab dulu dong”
“Males ah, ayo main lagi”
“Nggak, jawab dulu”
Entah kenapa, Letta selalu lemah kalau berhadapan langsung dengan Alfa, dia gampang mengalah. “Jendra.”
Oke, siapapun yang namanya Jendra, dimanapun kamu berada, jangan pernah berani-beraninya muncul di hadapan gadis bernama Gea Skalleta, oke? Paham kan? Atau kamu akan berhadapan langsung dengan sosok Alfarel Benjamin yang mukanya imut tapi punya sisi yang kejam juga kalau melihat miliknya disentuh orang lain.
Hah? Apa? Miliknya??
Permainan kembali di mulai, dan lagi-lagi Letta yang kalah. Karena tadi dia sudah memilih truth, maka sekarang dia harus memilih Dare. Yah, memang nasib sih. Dia juga sering kalah bermain suit dengan Gevit. Untuk itu Letta tidak pernah suka kalau di rumah apa-apa harus di tentukan dengan suit. Karena 80% Gevit yang akan menang.
Alfa mengajak Letta pergi keluar rumah, hujan masih deras, tapi tidak ada angin atau petir. “Dare nya,... lo harus bilang 'Kak Alfa, aku sayang kakak!' di tengah hujan.”
WHAT?!
Aletta melongo di tempatnya, tapi tak lama gadis itu mendongak agar bisa melihat wajah Alfa yang tidak berdosa setelah mengucapkan dare itu. Bagaimana mungkin Letta akan hujan-hujanan sementara dia tidak membawa baju ganti. Belum lagi kemungkinan besar dia akan sakit besok karena masuk angin. Dan endingnya Andini akan mengomel.
“Kakak bercanda apa gimana nih?”
“Emang muka gue keliatan bercanda?”
“Kak--”
“Katanya harus sportif…”
Tebakan kalian benar, Letta lagi dan lagi dan lagi langsung mengalah, gadis itu mulai melangkah ke halaman rerumputan, hujan masih mengguyur dengan begitu derasnya. Perlahan dia merasakan tetesan air hujan itu mengenai kepalanya lantas saat Letta benar-benar ada di halaman, dalam sekejap tubuhnya basah kuyup.
“Ka-kaaak Alfaaa!! Aku…” Letta mengusap wajahnya, dia menatap Alfa yang memasukan kedua tangannya di saku celana training yang saat itu ia kenakan, bahkan senyum tipis Alfa mengembang kala itu. Gadis itu menggigil kedinginan, s****n!
“Aku… aku sayang… aku sayang kakak!!!” mungkin karena dia kedinginan jadi tidak ada waktu untuk malu-malu kucing atau salting atau tersipu malu. Yang ada justru gadis itu semakin menggigil kedinginan.
Kedutan di bibir Alfa muncul mendengar hal itu, Letta terkejut saat Alfa malah melangkah mendekat ke arahnya, ikut turun ke halaman rumah dan berdiri didepan nya seraya menunduk. Wajah Letta yang basah karena air hujan di usap dengan lembut, tangannya turun bahu gadis itu, Alfa mencondongkan wajahnya sampai di telinga Letta, lantas berbisik disana.
“I love you too”
Tubuh Letta yang tadinya menggigil kedinginan kini langsung mematung di tempat. Apa-apaan tadi?
“Ma.. maksud kakak?”
Alfa tak menjawab, dia menegakan kembali tubuhnya lantas menuntun Letta untuk berteduh. Sementara gadis itu terdiam oleh kebingungan. Otaknya mendadak blenk, apa yang barusan itu serius atau hanya bercandaan? Banyak hal yang berseliweran di otak Letta, sampai-sampai dia tak lagi memikirkan rasanya kedinginan. Karena seluruh pikirannya tersita pada bayangan Alfa yang mengatakan "I love you too"
Karena baju Letta basah, alhasil Alfa harus meminjamkan kaos dan celana trainingnya. Sementara baju Letta yang basah langsung dimasukan ke dalam mesin cuci. Sekaligus di keringkan, nanti akan disetrika sebelum dikenakan oleh gadis itu lagi agar Andini tidak curiga.
Keduanya kembali ke ruang tv seakan tidak terjadi apa-apa, Letta dengan segelas teh hangatnya hanya bisa diam memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Dia tak tau harus berbuat apa, atau mengawali berbicara apa.
“Tante Andini belum minta lo buat pulang kan?” Alfa mencomot asal pertanyaan.
Letta menggeleng, “Belum.” jawabnya pendek.
“Kak” gadis itu akhirnya memberanikan diri untuk menoleh ke arah Alfa.
“Hm?”
“Yang tadi… yang tadi itu…”
“Kita jadian, kan?”
Buseeettt, dengan kata lain dia yang nembak Alfa begitu? Anti mainstream sekali pemirsa!
“Serius?”
Alfa hanya membalasnya dengan senyum geli membuat Letta jadi gemas sendiri. Sedari tadi dia merasa digantungkan, kalaupun mereka harus jadian ya dengan senang hati Letta akan menyetujuinya, tapi kalau hanya permainan, Letta juga tidak mempermasalahkan hal itu. Meski dia akan merasa sedikit kecewa.
“Iya iya, gue serius. Kita jadian hari ini, gue sayang sama lo. Dan gue nggak mau kecolongan apalagi sama si Jendra, Jendra tadi”
-Tahubulat-
Menjelang maghrib Letta baru sampai rumah, Alfa tidak mampir karena seharian dia sudah bersama Letta yang akhirnya resmi jadi gadisnya. Perihal Vero? Siapa peduli, salah siapa dia gerak lambat? Salah siapa dia tidak berjuang meski dihalangi oleh Gevit. Jendra? Bodo amat, dia kan hanya masa lalu yang tak akan pernah terulang kembali. "Makasih ya, Ta, untuk seharian ini"
"Sama-sama, kak. Lagipula, gue juga seneng bisa main ke rumah lo"
"Besok gue jemput?"
"Nggak usah deh, bareng bang Ge aja"
"Oh gitu, yaudah. Gue duluan ya"
"Hati-hati"
"Daaahh"
Motor Alfa kembali melaju, Letta masuk ke dalam rumah dengan hati yang berbunga-bunga. Dia tidak menyangka kalau akhirnya bisa menjadi pacar Alfa. Dan untunglah, dia tak perlu terjebak friendzone atau brotherzone dengan Alfa.
Andini yang saat itu menyiapkan makan malam menoleh karena kehadiran anak gadisnya. "Udah pulang? Mana Alfa?"
"Langsung pulang, Ma" Letta memeluk Andini dari belakang, dia menyandarkan dagunya di pundak wanita itu. "Ma"
"Apa sayang??"
"Em... Letta pacaran."
Tangan Andini yang semula memotong brokoli terhenti. Tatapan wanita itu kosong seketika, "Sama Alfa?" tanya dia lagi. Letta mengangguk, kali ini dia melepaskan pelukannya, Andini membalikan tubuh dan menatap Letta dengan intens. "Mama percaya sama kamu, kalau kamu udah siap, ya silahkan. Lagipula, mama lihat Alfa anaknya baik"
"Jadi, mama nggak larang aku?"
"Enggak sayang, asal kamu bisa jaga diri dan bisa membagi waktu antara kesibukan sekolah, keluarga, juga Alfa"
"Yes! Makasih, Mama"
"Sama-sama sayang.."
Dan mulai hari ini, Andini harus siap jika sewaktu-waktu melihat anak gadisnya menangis karena patah hati. Andini juga harus siap menjadi teman sandaran sekaligus memberikan pelukan pengertian jika Letta membutuhkan. Karena apapun yang anak-anak inginkan, sebisa mungkin dia akan berikan. Karena Andini sendiri sadar, kalau yang lebih tau perihal kebahagiaan adalah diri sendiri.
Percuma dia menyiapkan jalan, kalau Letta dan Gevit tidak menyukainya, mereka hanya akan berjalan dengan setengah hati.