Abimanyu menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi, seraya memijit pangkal hidungnya yang terasa nyeri. Pikirannya tentu saja dipenuhi dengan berbagai masalah pekerjaan yang tak ada habisnya. Dan dia merasa bosan akan hal itu. Namun tanggung jawabnya sebagai pewaris tunggal di dalam keluarga membuatnya tak bisa mengelak walau sejenak. Tanggung jawabnya sebagai penerus dari Saputra Corp tentu sangatlah besar.
Beraktifitas dari pagi hari, hingga berakhir pada malam hari, yang kadang tak selesai dan harus dia lanjutkan di esok harinya. Menyelesaikan pekerjaan yang sama, dan aktifitas yang sama setiap hari.
Abimanyu menghembuskan napasnya pelan-pelan sambil memejamkan mata. Lalu bayangan wajah seorang perempuan berkelebat di kepalanya. Membuat dia terhenyak kemudian membuka mata.
"Reva?" gumamnya. Dan pikirannya tertuju pada gadis yang menemaninya pada malam itu.
*
*
Abimanyu tiba dirumahnya saat malam telah larut. Mendapati bangunan besar bertingkat dua tersebut dalam keadaan sepi. Selain asisten rumah tangga yang hanya muncul membukakan pintu untuknya.
Dia segera menuju ke kamarnya, dan hal sama pula dia dapati, ketika ruangan pribadinya itu dalam keadaan kosong. Tentu saja, istrinya tidak ada dirumah karena pekerjaannya yang memang sangat menyita waktu.
Vivi Shavina, seorang mantan model dan designer yang baru kembali pada dunia kerjanya yang sempat dia tinggalkan karena pernikahan, namun kembali dia geluti untuk sekedar menghilangkan kejenuhan yang mulai melanda hubungannya dengan sang suami, yang selau sibuk dengan pekerjaannya. Memperluas jaringan bisnis keluarga hingga ke manca negara. Membuat pria itu tak lagi memiliki waktu untuknya. Ditambah, anak yang diharapkan tak kunjung hadir melengkapi kehidupan rumah tangga mereka. Membuat keduanya tak memiliki banyak alasan untuk bersama.
"Maaf pak?" suara asisten rumah tangganya tedengar setelah ketukan di pintu.
"Ya?"
"Bapak mau makan? saya akan hangatkan makannya sekarang." tanya sang ART, walaupun dia tahu jawaban sama seperti hari-hari sebelumnya akan dilontarkan majikannya tersebut.
"Tidak usah, saya tidak lapar." Abimanyu menjawab.
"Baik pak." kemudian terdengar suara langkah menjauh.
Abimanyu mendengus kasar, dia melepaskan jas dan meletakannya sembarang. Kemudian segera menghambur kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
*
*
Ponsel berdering membuyarkan lamunan Abimanyu. Tampak nama dan gambar Vivi tertera di layar.
"Mas?" terdengar panggilan dari seberang sana.
"Ya?" Abimanyu menjawab.
"Mas masih kerja?"
"Tidak. Aku sudah pulang."
"Benarkah?"
"Ya."
"Mas sudah tidur?"
"Belum. Kamu malam ini pulang?" Abimanyu bertanya.
"Tidak mas."
"Tapi kemungkinan aku pulang besok, aku pakai penerbangan pagi dari Paris." ucap Vivi.
"Oke."
"Baiklah Mas, aku harus segera pergi. Para model sedang menungguku." lanjut perempuan di seberang itu.
"Baik." dan panggilanpun diakhiri.
Kini dia termenung sendirian dalam sepi, tanpa teman bicara, tanpa teman berbagi cerita. Hanya dirinya sendiri. Merasa kesepin, dengan kehampaan yang bersamaan melanda.
Abimanyu kemudian menarik laci nakas disisi ranjangnya, mengambil selembar kertas hasil pemeriksaan kesehatan dari rumah sakit yang dia dan Vivi lakukan beberapa tahun yang lalu, tepat dua hari setelah usia pernikahan mereka yang kedua.
Sebuah hasil yang menyatakan bahwa dirinya tak bisa memiliki keturunan, dan tidak ada yang bisa dia lakukan untuk itu. Mereka berdua memilih untuk merahasiakannya dari dua keluarga, yang pastinya sudah sangat mengharapkan keturunan untuk meneruskan kelangsungan keluarga mereka. Tapi apa boleh buat, semuanya tidak bisa bisa kendalikan.
Abimanyu menyapu wajahnya perlahan, dan bayangan wajah perempuan itu kembali hadir di pelupuk mata. Wajahnya yang polos ketika dia menyentuhnya, dan suaranya yang lembut ketika dia berbicara. Pria itu bahkan teringat dengan aroma tubuhnya saat dia menghirupnya.
Terasa seperti baru saja terjadi.
Pria itu kemudian terkekeh sendiri, rasanya dia melakukan hal konyol kali ini. Mengingat seorang perempuan murahan yang menjual harga dirinya untuk sejumlah uang yang tidak seberapa untuknya.
Benarkah?
Baginya, uang sebanyak itu tak ada artinya. Dia bahkan bisa mendapatkannya dengan sekejap mata, secepat dirinya menjentikan jari, dan itu sangatlah mudah. Tapi tidak dengan berbuat hal hina, semua yang dia dapatkam dan miliki berasal dari usaha keluarga yang memang sudah sebesar itu sejak dirinya masih kecil.
Dia memiliki segalanya.
Tapi tidak dengan hidupnya.
Dia tidak bisa menentukan takdirnya sendiri, namun segalanya sudah diatur oleh kedua orang tuanya. Sekolah, pergaulan, bahkan untuk kehidupan pribadinya. Segalanya sudah di tentukan sejak dia lahir ke dunia.
Namun dia menerimanya dengan senang hati, karena merasa itu memang yang seharusnya terjadi. Dan yang terbaik dari yang dia miliki.
Usaha keluarga yang luar biasa besar, kesuksesan yang dia dapatkan, dan kehidupan sempurna yang dia jalani.
Bagaimana tidak sempurna? dia memiliki segala hal yang tidak dimiliki orang lain. Kehidupan yang mudah, dengan harta berlimpah, istri yang cantik dan sukses dalam bisnis seperti dirinya.
Hanya saja satu hal yang dia rasakan. Hidupnya hampa.
*
*
*
Reva dalam perjalanan pulang pada hampir larut itu ketika seseorang menghentikan langkahnya yang hanya tinggal beberapa blok lagi dari rumah.
Sebuah mobil terparkir di bahu jalan, dan seoramg pria dengan kemeja hitam yang selalu dia lihat berdiri menyandarkan tubuhnya di body mobil, dengan rokok menyala di tangannya yang kemudian dia sesap dan meniupkan asapnya di udara. Tidak lupa juga dua pengawal yang selalu siaga di sampingnya.
"Hai nona, ..." Razan menyapa.
"Ayahku membuat masalah lagi dengan kalian?"
"Oh, ... tidak. Tapi aku punya masalah denganmu."
"Apa?"
"Aku menginginkanmu." jawab Razan dengan tidak tahu malunya.
"Kau gila tuan!"
"Lebih gila lagi jika kau tidak menuruti kemauanku."
"Dalam mimpimu!" Reva melewatinya begitu saja.
"Hey!" pria itu meraih tangannya, dan dia mencoba untuk menariknya.
"Jangan sentuh aku!" Reva menepisnya dan dia berusaha menjauh.
"Tidak usah malu, aku tahu keadaanmu. Hidupmu susah, tapi akan berubah jika ikut denganku, dan kau tidak usah bekerja seperti ini lagi, apalagi harus menjual diri di pinggir jalan."
PLAKK!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi pria itu tanpa di duga, membuat kedua pengawalnya merangsek untuk bertindak.
Tapi Razan mengangkat tangannya untuk menghentikan mereka.
"Tahu apa kamu soal hidupku? kita sudah tidak ada urusan lagi setelah hari itu, dan tidak seharusnya juga kamu terus mengganggu aku."
Razan tertawa dengan keras.
"Tidak ada yang bisa lepas dariku, Nona. Terutama seorang gadis sepertimu. Aku akan selalu ada di sekitarmu."
"Kenapa? apa untungnya untukmu?"
"Tidak ada, aku hanya ingin."
"Aku peringatkan tuan, jangan mendekat lagi. Atau aku akan lapor polisi." Reva mengancam.
Razan kembali tertawa.
"Laporkalah, tapi tidak akan ada yang mempercayai pel*cur sepertimu."
"Terserah apa katamu." geram Reva yang kemudian bergegas pergi meninggalkan pria itu yang kembali tertawa dengan nada mengejek.