Kebetulan

1108 Kata
Razan menatap selembar cek dengan jumlah nominal yang fantastis, yang telah ditanda tangani oleh Abimanyu beberapa saat sebelumnya. Setelah dua pria itu beradu argumen dan hampir saja terlibat baku hantam jika saja salah seorang pengawalnya tak mengenali Abimanyu sebagai putra tunggal dari pemilik Falcon Corporation, sekaligus orang kedua di perusahaan tersebut. Yang memiliki pengaruh cukup besar di seluruh negri karena kerajaan bisnisnya yang menggurita ke segala lini. "Katakan jika jumlah yang aku berikan kurang, maka aku akan menambahnya sesuai dengan keinginanmu. Dengan satu syarat, kau tidak lagi mengganggu gadis ini." Abimayu dengan tegasnya. Razan terkekeh seraya meraih lembaran cek tersebut dan kembali menatapnya untuk beberapa detik. Namun kemudian dia tiba-tiba saja merobeknya menjadi beberapa bagian, lalu melemparnya ke udara hingga serpihan benda tersebut berhamburan. "Aku hanya menagih sejumlah dengan yang aku pinjamkan kau tahu? lagi pula aku bukan anjing yang suka berebut daging busuk dengan anjing lainnya." pria berjas hitam itu bangkit. "Ambil saja jika kau suka w************n seperti dia. Aku tidak butuh." kemudian Razan pergi. *** Restoran itu terasa hening, terutama karena pria di depannya tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak Razan meninggalkan mereka berdua disana. Reva menundukan kepala, dia tak berani menatap wajah tegas itu, yang juga tengah menatapnya. Bahkan hanya melirikpun nyalinya langsung menciut. "Apa yang kau lakukan?" pria itu mulai bersuara, dengan nada pelan namun mampu membuat Reva gemetaran. "Tu-tuan... "Kau berhutang lagi tapi tidak mampu untuk membayarnya? dimana pikiranmu? lalu apa yang akan kau lakukan setelah itu? menjual dirimu lagi?" Abimanyu meninggikan suaranya. "Ti-tidak tuan." Reva mencoba membalas. "Lalu yang terjadi tadi itu apa?" "Dia hanya ... "Pria itu menagih hutang kepadamu, lalu apa? kau tak mampu membayarnya?" "Saya tidak tahu,... dia tiba-tiba saja ada dirumah sepulangnya saya dari rumah... "Heh, ... penjebakan? alasan klise!" pria itu menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi, kemudian bersedekap. "Dia tidak akan berada disitu jika memang kau tak ada urusan dengannya. Jelas sekali bukan?" "Benar." "Dan kau memang ada urusan dengannya?" "Tidak." "Lalu?" "Maksudnya mungkin iya." "Sudah aku duga." "Maksud saya, bukan secara langsung tapi mungkin dengan ayah saya." "Ayahmu? lagi?" Reva menganggukan kepala. "Mm... maaf, tidak seharusnya anda terlibat masalah ini. Tapi terimakasih sudah menyelamatkan saya. Saya tidak akan pernah melupakannya." Reva bangkit. "Sekali lagi terimakasih. Saya pamit." ucapnya, kemudian melangkahkan kakinya melewati pria itu untuk mencapai pintu keluar. Namun langkahnya terhenti ketika Abimanyu meraih tangannya, dan dia sedikit menariknya untuk kembali. "Aku antar." ucap pria itu yang kemudian bangkit dan berjalan mendahuluinya. *** "Katakan dimana kamu tinggal?" dia melajukan mobilnya di jalanan yang muali lengang pada hampir tengah malam itu. "Di ... jaimuh dari sini tuan, dan sepertinya mobil anda tidak bisa mencapai ke daerah itu." jelasnya, dan dia berpikir dengan keras. "Lagi pula sepertinya saya tidak akan pulang dulu kerumah sekarang ini." lanjutnya. "Kenapa?" "Saya yakin Razan tidak akan berhenti hanya sampai disini. Jika hari ini dia gagal membawa saya, mungkin hari berikutnya, atau hari lainnya lagi dia akan datang lagi. Dan mungkin pada saat itu dia akan berhasil membawa saya." "Lantas?" Abimanyu mengerutkan dahi. "Mungkin saya harus pergi ke tempat lain." "Kemana aku harus mengantarmu?" Reva terdiam. "Saya ... turun disini saja." katanya setelah berpikir cukup lama. "Disini?" pria itu mengulang perkataan. "Kamu akan pergi kemana?" lanjutnya. "Tidak tahu, mungkin kerumah teman saya, atau kemanapun asalkan saya jauh dari rumah, dan memungkinkan saya untuk tidak bertemu lagi dengan Razan." ucapnya, dan tekadnya sudah bulat. Dia sudah lelah dan tak ingin memikirkan hal lain lagi selain dirinya. Tapi bagaimana dengan ayah? batinnya. Namun dia kemudian menggelengkan kepala. Rasanya Reva sudah tak ingin lagi memikirkan orang lain kali ini. Percuma saja, orang yang selalu dia pikirkan malah tak pernah memikirkannya. Dia sudah cukup banyak berkorban, bahkan hingga menggadaikan harga dirinya agar bisa terbebas dari hutang sekalipun, namun hal tersebut tampak tak berpengaruh bagi sang ayah. Kali ini Reva merasa sudah cukup, dia tidak akan lagi memikirkan orang lain. Apalagi sekarang, dirinya tengah mengandung. Mengandung. Tiba-tiba Reva menyentuh perutnya sendiri. "Stop!!" ucapnya. "Saya berhenti disini." dia menoleh keluar. "Rumah temanmu di sekitar sini?" Abimanyu memelankan laju kendaraannya, kemudian menepi dan berhenti tepat di depan sebuah gang kecil. Reva menggelengkan kepala. "Lalu?" "Di daerah ini banyak kontrakan kecil, mungkin salah satunya cocok untuk saya." dia berujar. Kini Abimanyu yang terdiam, lalu dia melihat sekitar. Sebuah gang kecil yang tampaknya menuju ke satu pemukiman padat penduduk yang tak pernah ada dalam bayangannya. "Kamu yakin?" "Ya, tidak ada piliha lain, setidaknya disini dia bisa bersembunyi dan menenangkan diri sambil memikirkan cara lain." Abimanyu kembali terdiam. Entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa khawatir kepada gadis itu. "Ikutlah denganku." tiba-tiba dia berucap. Reva memalingkan waja kearahnya dengan kening berkerut. "Ikutlah, dan kamu akan aman bersamaku." ulang pria itu. "Tapi saya ... "Tidak ada tapi. Kamu akan ikut denganku dan hidupmu akan aman." katanya lagi, dan dia segera menghidupkan mesin mobilnya, kemudian melaju membelah jalanan ibu kota pada hampir tengah malam itu. * * Dan sampailah mereka di depan sebuah gedung megah di tengah kota. Bangunan tinggi menjulang dengan segala keindahannya. Reva menatap takjub pemandangan di depan matanya. Dan dia setengah tak percaya dengan penglihatannya. Bahkan bermimpipun dia tak berani. "Turunlah." Abimanyu berucap, dan kini mereka telah tiba di pelataran parkir. Gadis itu menurut, dan dia mengikutinya ke arah lift di sisi lainnya. Yang segera membawa keduanya ke lantai paling atas gedung tersebut. Reva kembali dibuat takjub oleh pemandangan di dalam unit apartemen tersebut. Bagaimana sebuah ruangan besar yang tampak seperti hotel bintang lima, dengan furnitur dan fasilitas berkelas. "Tinggallah disini untuk sementara waktu, dan aku akan memikirkan cara lain untukmu." "Tuan sendiri?" "Aku tidak tinggal disini, aku punya rumah dengan is ... maksudku, aku punya rumah. Ini hanya tempat sesekali menghabiskan waktu jika aku merasa bosan. tapi ... "Terimakasih. Saya tidak akan lama. Saya janji, begitu saya mampu saya akan keuar sendiri dari tempat ini." "Jangan pikirkan itu." Abimanyu menggelengkan kepala. "Tidak, saya janji saya tidak akan lama." "Baiklah, terserah padamu saja." "Baik." "Sebaiknya ... aku pergi." ucap pria itu setelah mereka terdiam cukup lama. "Iya." Abimanya mundur beberapa langkah kemudian memutar tubuh bermaksud keluar dari tempat itu. "Sekali lagi terimakasih. Saya tidak akan lupa." namun ucapan itu membuat langkahnya tehenti,dan dia berbalik. "Itu bukan apa-apa, kamu tahu aku hanya sedang lewat dan kebetulan melihatmu disana. Aku pikir kamu sedang dalam kesulitan, jadi ... "Tetap saja saya berterimakasih." dan sebuah senyuman terbit di sudut bibir gadis itu, membuat Abimanyu terdiam untuk beberapa saat. "Sebaiknya, ... anda cepat pulang. Mungkin ada yang sedang menunggu anda dirumah." suara Reva membuyarkan lamunannya. "Ah, ... iya. Benar, aku harus ... pulang. Ya, ... aku akan pulang sekarang juga." pria itu berbalik lagi, dan dengan segera dia keluar dari tempat itu. * * * Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN